BIRU Part 11

101 8 0
                                    


Sepercik api melayangkan bingkisan kenangan

Lalu membakar jiwa-jiwa membisu yang menjadi saksi

Mengukir tahun demi tahun yang penuh angan-angan

Tetapi terpadam cahayanya tertutup seribu fiksi

Aku berlari lincah mengejar bayang-bayang masa depan

Lalu menatap kau yang mundur jauh terkunci di balik terali waktu

Berusaha aku membuka pintu itu dan memeluk bayangan

Angin menghalangi dan berbisik "Biarkan sepi dan rindu menjadi satu"

Aku berjalan sendirian di sini, sekali lagi. Hanya hangatnya matahari menyapaku mesra. Sejauh mata memandang, sejauh kakiku berjalan dan sejauh hatiku mengenang, hanya lautan pasir yang menghiasi pandanganku.

Langit biru masih di situ. Warnanya tidak pernah berubah sedikit pun. Hadirnya melatari matahari yang bersinar angkuh, mengaku sebagai sang penguasa di sini. Aku tertunduk diam. Sekali lagi dan lagi aku di sini.

Tuhan, apa arti semua ini? Keluarkan aku dari tempat sial ini! Tuhan... Jika kau mendengarkanku, keluarkan aku... Tuhan...

Desiran angin yang membawa debu-debu menjawab teriakan batinku. Aku melangkah terseok-seok, berusaha untuk mencari seseorang, siapa pun itu.

Ayah!

Ibu!

Senja!

Senja... Aku teringat akan sesuatu. Bando itu. Jika bando itu ada di sini, maka pasti Senja juga...

Aku membangkitkan semangatku dan kekuatanku. Dia ada di sini! Dia ada di sini! Aku berlari kesana kemari mencari sosoknya. Napasku putus-putus. Keringatku membasahi seluruh tubuhku. Aku tidak berputus asa. Senja pasti ada di sini!

Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebatang pohon, tumbuh di sana, sendirian. Aku berlari menuju ke arah pohon itu. Beberapa meter sebelum sampai langkahku terhenti. Pohon itu seperti pernah aku lihat sebelumnya. Aku mendekati dan menatapnya. Dedaunan kering berguguran dari tangkainya. Semua daunnya kering! Semuanya! Pohon itu telah lama mati.

Aku mengitarinya dan menyelidik. Mataku menatap ke salah satu bagian dari pohon itu. Tulisan itu: 01 Oktober 1993

ooOoo

Mataku menatap dalam-dalam tulisan di pohon itu. Ukiran itu masih ada meskipun sudah hampir terhapus di makan waktu. Lima tahun yang lalu, Senja memanggilku kemari dan memperlihatkan aku tulisan ini. Rasa penasaranku kemudian mengendap dalam hatiku selama itu juga. Ketika aku menanyakan tentang pohon ini, tentang tahun 1993, dia hanya tersenyum. Senyuman yang manis seperti biasanya.

Beberapa hari yang lalu, dia memberikan aku sebuah kaset. Kaset yang pernah kami gunakan untuk merekam suara kami. Kaset itu ternyata masih tersimpan baik. Beberapa kali aku tertawa mendengarkan rekaman suara kami, celoteh dan candaan yang sebenarnya telah hilang gemanya bertahun-tahun lalu.

"Kalau kamu mendengarkan rekaman ini, ingat janjiku dulu. Lima tahun yang lalu. Beberapa hari ke depan janjiku akan aku lunasi. Tanggal 01 Oktober 1993, kamu harus berada di bawah pohon itu, sendirian, tidak ditemani oleh siapa pun dan kamu tidak bisa menjemputku di rumah"

Begitu suara rekamannya di kaset itu dan aku terkejut seketika. Ternyata dia masih mengingat janjinya dulu.

Aku berdiri sendirian di bawah pohon ini. Danau yang indah menemani sepiku. Danau yang sedang menari di teater alam, seninya tinggi, musiknya merdu sekali tetapi hanya aku penontonnya, sendiri di sini.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang