BIRU Part 6

202 13 3
                                    



Aku menengadahkan wajahku ke langit sambil memejamkan mata. Setiap tetesan hujan yang mencium wajahku seolah-olah membisikkan sebuah ketenangan dan kedamaian. Bulir-bulir air yang jatuh ke bumi menjadi musik yang bersenandung indah, sangat indah untuk dilewatkan. Musiknya tidak akan mampu ditandingi oleh seorang maestro terhebat sekalipun.

"Awas, di belakang!" Aku terkejut dari lamunanku. Ternyata Agus telah siap menyergapku. Aku segera menghindar dengan cepat. Lolos.

"Ayo, Gus! Cobalah tangkap kami. Jangan lembek begitu" Ejek kami sembari tertawa keras. Agus terlihat kalap. Sudah beberapa kali dia kalah dalam permainan ini.

"Gus! Gus! Sini Gus... Tadi sombong sekali Gus.. Katanya tadi jago" Senja memanas-manasinya. Aku, Tini, Hendra dan Bimo juga turut memancing emosi Agus.

"Sial! Kalian belum tau dengan siapa kalian bicara. Ini Bagus Purnama! Ingat baik-baik namaku" Serunya kemudian mengejar kami semua. Kami berhamburan menyelamatkan diri sambil tertawa. Pakaian kami dipenuhi lumpur. Hujan deras tidak menyurutkan semangat kami untuk bermain.

"Awas Senja!" Teriak Tini. Sekarang, Agus mengincar Senja yang sedari tadi selalu mengejeknya.

Senja dalam posisi sulit. Agus mengejarnya dengan lincah. Senja berusaha menghindar dari kejaran Agus.

"Hahaha! Lihat teman-teman, ada seekor kelinci dalam kesulitan sekarang" Agus terkekeh. Senja dalam posisi yang tidak menguntungkan. Tiba-tiba, Agus terpeleset. Dia tercebur ke dalam kubangan air.

"Hahaha! Rasakan itu Gus! Enak rasanya air kubangan sapi Gus?" Senja tertawa terbahak-bahak. Kami juga ketawa terpingkal-pingkal melihatnya sukses menjadi manusia lumpur. seluruh wajah dan tubuhnya dipenuhi selut.

"Agus!!! Pulang...!! Ooo!! Di sini kamu ya!"

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Kami terdiam. Dari jauh terlihat sosok yang selalu menjadi mimpi buruk kami, anak-anak kecil di desa.

"Gus, ayah kamu! Lari!!!" Teriak Senja. Tanpa harus menunggu lama, kami berhamburan ke semua arah.

Ayah Agus datang dengan membawa pelepah kelapa yang siap untuk menghukum anak-anak yang nakal. Agus tidak sempat meloloskan dirinya. Dia hanya mematung di kubangan air itu, menunggu pasrah hukuman yang bakal ditimpakan ke atasnya.

Aku dan Senja bersembunyi di belakang salah satu gubuk yang biasanya digunakan untuk menyimpan padi. Aku melihat Senja sedikit terkejut. Untungnya tadi aku sempat menariknya ke sini.

"Senja, kamu tidak apa-apa?" Tanyaku khawatir. Senja terlihat pucat, napasnya naik turun.

"Aku tidak apa-apa" Jawabnya. Dia berusaha menenangkan diri.

Aku mengintip ke lapangan, penasaran apa yang terjadi kepada Agus. Aku menelan ludahku. Aku melihat ayahnya memukul Agus dengan pelepah kelapa tadi kemudian menjewer telinganya. Agus berteriak kesakitan sehingga membuat hati kami ngilu.

Kami terdiam seribu bahasa.

Beberapa menit kami bersembunyi. Sekarang sudah tidak terdengar suara gaduh di sana. Mungkin mereka sudah pulang, bisikku. Aku sesekali mengintip.

"Lihat! Ada cermin" Senja menepuk-nepuk pundakku, sedikit keras dan membuatku terkejut. Dia menarik cermin itu dari gundukan tanah lalu membersihkannya itu dengan air hujan.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang