BIRU Part 9

148 9 0
                                    



Cuaca dingin menerkam tubuhku tanpa ampun. Aku terbangun dari tidurku ketika kedinginan itu menusuk-nusuk kulitku seperti tikaman seribu jarum kecil. Dengan cepat aku menarik selimutku untuk menahan hawanya yang membuatku menggigil. Mataku mengintip dari balik selimut, menatap jam wekerku di atas meja. Pukul 09:00 pagi.

Pandanganku beralih ke arah kalender di dinding kamar. Foto pemandangan terpampang di atasnya. Akhir bulan September 1993. Satu hari lagi, Ya... Satu hari lagi akan terjawab rasa penasaranku yang membuncah dalam hatiku, gara-gara gadis berbando biru itu. Rasa penasaran yang telah aku simpan selama lima tahun.

Kepalaku masih agak pusing. Mataku sedikit berkunang-kunang tetapi panas tubuhku sudah kembali normal. Aku menggerakan tubuhku, mencari posisi yang nyaman.

Di luar sana, hujan gerimis masih setia membasahi desa. Awan mendung juga masih menemani langit, seperti pasangan kekasih, menghapus warna cerah matahari yang sesekali mengintip ragu. Beberapa ekor ayam tepekur di bawah lindungan dedaunan pohon rambutan yang rimbun. Nyanyian burung yang biasanya riang di pagi hari hilang tanpa kabar berita. Aku memejamkan mataku, menikmati simfoni pilu yang dibawakan oleh alam.

Suara gemercik air terdengar di ruang dapur. Bunyi piring dan sendok berlaga turut menimpali. Sesekali terdengar suara orang-orang berbicara dan tertawa, mesra sekali. Aku mencoba untuk menguping. Suara ayahku, jelas terdengar dengan batuknya yang khas, dia bercerita tentang kenakalanku pada masa kecil. Sesekali tawanya mengiringi. Ibuku pula bernostalgia lagi dan lagi, mengingat kembali peristiwa lima tahun silam, ketika aku, Senja dan Agus yang tidak pulang sehari semalam dari kota provinsi.

Ada suara lain yang turut ikut bercerita. Suaranya sangat aku kenal, sudah terbiasa di kuping telingaku. Aku tersenyum sendirian dan aku tidak tahu mengapa aku harus merasakan kebahagiaan itu.

"Hmm.. kamu sudah bangun?" Seseorang yang membuatku tersenyum itu sedang berdiri di muka pintu sambil membawa sepiring bubur dan segelas air.

"Tidak, aku lagi bermimpi sekarang" Jawabku sambil menutup mata. Terdengar derap langkahnya mendekat dan...

"Ahhh...!" Teriakku. Gadis itu mencubitku.

"Bagaimana? Sakit? Masih mau?" Ketusnya sambil terus mencubit perutku.

"Tidak! Tidak! Ampun!" Rintihku sambil berusaha melepaskan cubitannya.

"Kamu suka sekali bercanda seperti itu. Aku tidak suka!" Wajahnya cemberut. Aku menyengir kemudian memasang aba-aba untuk mempertahankan diri.

"Memang iya aku sedang bermimpi. Aku bermimpi didatangi oleh seorang bidadari" Aku siap menunggu serangannya, tetapi anehnya, senyumnya merekah.

"Menurut kamu, bidadari dalam mimpi kamu itu, cantik?" Ucapnya sambil menyentuh dahiku dengan telapak tangannya. "Sepertinya kesehatan kamu semakin membaik. Suhu badanmu juga tidak sepanas kemarin"

Aku berpeluk tubuh kemudian berpura-pura menggigil. Dia menatapku curiga.

"Senja, aku kedinginan, aku... aku maunya dipeluk..." Baru saja aku mengucapkan kata itu tiba-tiba jarinya siap menerkam sekali lagi. Aku cepat-cepat menghindar, bersembunyi dibalik bantal gulingku. Tawaku lepas.

"Kamu ya, kalau sakit, membuat orang lain khawatir tapi kalau sehat, suka sekali membuat jengkel" Ketusnya.

"Sepertinya aku harus sakit ya untuk membuat seseorang itu khawatir" Balasku. Dia melempar pandangannya ke arah poster Nike Ardilla di dinding. Bibirnya monyong.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang