BIRU Part 17

252 9 5
                                    

Aku mengayuh sepedaku perlahan. Tubuhku tidak sanggup menahan dinginnya sengatan pagi yang tidak sungkan memeluk mesra. Hari ini adalah hari minggu dan hari yang pas untukku untuk menikmati waktu liburku. Setelah selesai shalat subuh, aku mengayuh sepedaku untuk berkeliling, menikmati pagi dan sekalian membeli barang-barang dapur pesanan ibuku di pasar.

Hari masih sedikit gelap tetapi tanda-tanda fajar mulai terlihat di ufuk timur. Langit yang membentang mulai membiru setelah semalaman kehilangan warnanya. Sang ratu kelihatan lelah di sebelah barat, terseok-seok menuruni langit. Warnanya memudar. Kicauan burung-burung membangkitkan pagi dengan musik yang ceria, mereka melompat-lompat di sarangnya, menyanyi riang gembira kemudian terbang mengangkasa. Rumput-rumput ilalang bergoyang-goyang di tempat, gemulai, mengikuti irama angin pagi yang dingin.

Ketika melewati jembatan kayu yang menghubungkan desaku dan desa tetangga, aku berhenti sejenak. Aku memandang anak sungai yang mengalir lesu di bawah sana, jernih dan pastinya dingin. Beberapa ekor anak ikan berlomba-lomba melawan arus kecil, meliuk-liuk, sesekali melompat melewati batu-batu karang kecil yang hitam, licin dan berlumut. Di liang kecil di pinggir anak sungai itu, seekor ular air menyembulkan kepalanya, mengintipku dengan ragu. Lidahnya yang bercabang sesekali menjulur seperti mengejekku.

Dedaunan rimbun pohon Kiara Payung dan Asam Jawa masih dibasahi embun di permukaannya, menetes satu dua. Dedaunan hijau itu mengangguk-angguk ketika ditiup angin. Beberapa ekor burung murai bertengger di dahan pohon-pohon itu, mengoceh beberapa saat, saling bercengkerama kemudian terbang lagi.

Nun jauh di sebelah utara sana, aku bisa melihat puncak gunung tertinggi di provinsi ini, angkuh dan menyendiri. Kabut putih bertawaf mengelilinginya, menambah pesonanya. Gunung itu tidak terlihat dari beranda rumahku karena tertutupi bukit-bukit dan hutan gelap yang masih belum terjamah oleh tangan-tangan manusia. Pepohonan di hutan perawan itu tumbuh tinggi sehingga bisa mencapai beberapa puluh meter. Dari sini, mungkin karena perbedaan sudut pandang, aku bisa melihat puncak gunung itu dengan jelas.

Setelah hampir setengah jam aku menghabiskan waktu di sini, aku kembali mengayuh sepedaku kembali ke desa. Penghuni desa mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kaum ibu menenteng keranjang menuju kepasar, ada yang berjalan beriringan dan ada yang menyendiri. Ada yang bicaranya seperti orang berteriak, ada yang santai bahkan ada juga yang berbisik-bisik.

Para pedagang juga tidak kalah sibuk membawa jualan mereka, hasil panen sayur yang masih segar dan bersih, ditanam tanpa campur tangan bahan kimiawi karena tanah-tanah di sini sangat subur. Aku selalu terkagum-kagum melihat sayuran yang dipetik dari lereng gunung itu, hijau dan segar serta rasanya lebih enak dibandingkan sayuran yang dijual di pasar-pasar tradisional di kotaku dulu.

Dari kejauhan, aku melihat Pak Sudi, saudagar kambing di desa, petantang petenteng membawa kambing-kambingnya, memarahi makhluk bertanduk nan keras kepala itu. Kambing-kambing itu sesuka hatinya melenceng dari jalur, memamah rumput kecil bahkan tanaman tetangga sehingga menimbulkan kegaduhan kecil. Biasanya pembeli dari kota akan membeli kambing-kambing itu di pasar dan nasibnya akan berakhir di tempat jagal ternak jauh di kota sana. Mungkin kalian heran kenapa kambing-kambing itu tidak dijemput saja dari kandangnya. Jawabannya adalah kambing-kambing itu diternak di lereng-lereng gunung yang rumputnya hijau dan segar. Mustahil bisa diakses dengan mobil. Karena setiap hari meragut rumput di lereng-lereng gunung itu, tidak heran kalau kambing itu terlihat besar-besar dan sehat-sehat. Juga tidak mengherankan jika para pembeli kambing itu sanggup bersusah payah datang ke desa ini untuk membelinya karena harga yang ditawarkan lebih murah.

Tidak jauh dari lokasi Pak Sudi yang sedang berjuang bersama kambing-kambingnya, Pak Darwis, ketua RT sekaligus pengusaha semangka, sedang sibuk mengangkat buah-buah lonjong itu dari gubuk yang dijadikan gudang menuju pedati yang sedang menunggu di pinggir jalan. Dia nampaknya kelelahan. Aku segera mendekatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang