BIRU Part 15

101 5 0
                                    


Matahari melemparkan senyumannya seperti mengerti tujuanku berada di sini. Air danau beriak tenang seperti biasanya, merefleksikan cahaya yang tumpah di atasnya menjadi karya seni yang tinggi. Aku menyandarkan tubuhku di sebatang pohon yang rindang, berhadapan langsung dengan danau. Sore ini, cuaca agak teduh. Suasana yang nyaman untuk menyerap inspirasi yang akan kutumpahkan dalam puisiku. Sebuah puisi yang akan aku berikan khusus untuk gadis si bando biru.

Aku mengeluarkan buku catatanku dan pulpen bertinta kuning keemasan yang sangat bermakna bagiku. Aku menatap pulpen itu dalam-dalam. Meskipun bentuk utuhnya hanyalah sebatang pulpen biasa tetapi batinku melihat perjalanan waktu lima tahun yang tidak mudah untuk gadis berbando biru itu dan itulah sebabnya pulpen ini menjadi barang yang paling berharga yang pernah aku miliki.

Aku membuka halaman terakhir di buku catatanku dan membaca perlahan rangkaian kata yang telah aku tuliskan sebelumnya. Sesekali aku mencoba untuk mencocokkan diksi dan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang aku temukan. Bulan depan, ya, bulan depan di hari ulang tahunnya, aku akan deklamasikan puisi ini untuknya dan danau ini akan menjadi saksi bisunya. Aku tersenyum.

Entah berapa lama aku menulis, rasa kantukku datang menyapaku. Aku berusaha untuk mengusir rasa kantuk itu dengan menggerak-gerakkan tubuhku. Awalnya berhasil tetapi tiupan angin yang lembut dan keindahan musik alam yang menemaniku di sini membuat rasa kantuk itu datang lagi dan semakin besar. Aku kemudian menyimpan pulpen dan buku catatanku di saku baju kemudian selonjoran. Mataku berkunang-kunang. Aku berusaha untuk melihat tetapi pandanganku semakin kabur. Tidak jelas. Suara alam juga timbul tenggelam dan seolah-olah berubah menjadi suara distorsi gangguan siaran radio yang biasa kudengar. Dunia perlahan-lahan menjadi gelap dan semakin gelap...

Aku seperti tersedot ke dunia lain. Tubuhku seperti kapas yang ditiup angin, melayang-layang tanpa arah. Hanya kesadaran yang terus membimbingku. Sekali lagi aku berada dalam mimpi aneh ini!

Di luar sana, aku mendengar suara-suara aneh yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Suara-suara aneh itu timbul tenggelam. Perlahan-lahan aku membuka mataku dan berusaha untuk melihat apa yang sedang terjadi. Aku hanya melihat bayangan-bayangan yang mengelilingiku. Mereka sedang melakukan sesuatu terhadap tubuhku. Ah, Tuhan! Aku di mana sebenarnya sekarang?

Tiba-tiba aku merasa seolah-olah ada gempa besar. Aku bisa melihat cahaya berpendar-pendar. Bayangan tadi seolah-olah menatapku dengan tajam meskipun aku tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Aku hanya bisa pasrah karena aku bahkan tidak bisa merasakan tubuhku sendiri, bukan berarti aku tidak berniat untuk melawan bayangan-bayangan itu.

Seketika aku kesulitan bernapas. Sesak sekali! Aku mencoba untuk meronta. Dadaku sesak sekali, sangat menyakitkan. Perlahan-lahan kesadaranku memudar dan semua kembali gelap.

"Senja, kamu tidak apa-apa?"

Aku mendengar suara seseorang. Aku terbangun dan melihat sekelilingku. Aku menggenggam pasir di tanganku. Aku di sini lagi, bisik batinku.

"Aku tidak apa-apa"

Aku mendengar suara seseorang. Suara yang aku kenal, sangat kukenal bertahun-tahun lamanya. Aku melihat sekelilingku. Kosong.

"Lihat, ada cermin!"

Aku terpinga-pinga. Mataku menyapu seluruh cakrawala tetapi aku hanya melihat lautan pasir yang sepi.

"Aduh Senja! Aku kira apa tadi..."

Aku mendengarkan suara yang asing, sangat asing tetapi jiwaku seolah-olah sangat dekat dengan suara itu. Sulit untuk dibahasakan perasaan ini.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang