Zayn’s POV
Louis.
“Aku yakin, sepertinya pesan ini dari Louis.” Ucap Liam yang disambut anggukan setuju dari kami berenam.
“Apa dia sedang dalam bahaya? Dan apa yang dimaksud dengan kode-kode didalam pesan itu?” Tanya Trixie yang terlihat berpikir keras.
Aku menghela napas. “Aku tidak tahu pasti, tapi menurutku dia memanfaatkan suatu kesempatan untuk mengirimkan pesan ini kepadaku. Aku juga belum mengerti apa yang dimaksud dengan kode-kode yang tertera dipesan ini. Apa Louis sengaja mengirimkan kode-kode ini untuk mengetahui keberadaannya sekarang?” Kulihat Harry yang mengangkat bahunya, pertanda tidak tahu.
“Aku juga masih sangat bingung dan belum mengerti, tapi aku yakin kode ini bersangkutan dengan Louis. Mungkin keberadaannya, atau apapun.” Jelas Niall yang duduk disebelahku.
“Kita lihat saja nanti. Seiring berjalannya waktu, kita pasti akan mengetahui semuanya dengan data-data yang akan kita dapatkan nantinya saat menyamar.” Ucap Zee yang duduk disebelahku.
Niall menepuk bahuku. “Kapan kalian akan mendatangi gedung kedutaan Korsel?”
“Lusa, dan hari itu hanya akan digunakan untuk menjalani pengenalan dan pengarahan untuk bekerja disana.” Jawabku kepada Niall. Kata Mr. Hendrick, memang kami sudah harus mendatangi gedung kedutaan Korsel satu malam setelah kami tiba disini.
Harry berdeham. “Berarti kita sudah harus mulai membiasakan diri dengan nama-nama samaran kita, ya?”
Aku menatap Harry, kemudian tertawa kecil akibat mengingat nama samaran Harry yang terdengar kuno. “Ya, lebih baik mulai hari ini kita berkomunikasi menggunakan nama samaran agar terbiasa. Mengerti, Harold?” Ucapku sengaja meledek Harry. Sementara Harry memutar bola matanya, kami berenam tertawa akibat nama kunonya itu.
Harry mendengus. “Ya, aku mengerti Davin. Sungguh, namamu sangat jauh dari aslinya.” Harry terkekeh, seakan membalas perbuatanku.
Liam bangkit dari duduknya. “Sudah, kita lanjutkan nanti. Ini sudah pukul setengah dua belas lewat lima belas menit malam, dan aku yakin kalian sangat kelelahan, kan? Jadi lebih baik kalian istirahat dulu. Pilih kamar yang menurut kalian nyaman.” Liam berjalan sambil membawa kopernya ke kamar di urutan ketiga dari kiri.
Pun Harry, Niall, Trixie, dan Ray ikut melangkah membawa koper mereka masing-masing, dan memasuki kamar yang mereka pilih. Tersisa aku dan Zee disini yang sedang bungkam, tidak ada satupun dari kami yang mencoba untuk berbicara.
Aku mengelus rambut Zee sambil menatap wajahnya. “Kau ingin tidur dikamar yang mana?” Tanyaku.
Zee mulai membalikan tubuhnya kearah kiri, dan menatapku. “Dimana saja, yang penting aku tetap bisa tidur.” Ia terkekeh, “Kau dimana?” Tanyanya balik.
Aku mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu. Tapi aku ingin kamar kita bersebelahan.” Ucapku mengukir senyum yang dibalas oleh Zee.
Aku menarik tangannya, dan membawa koper-koper kami ke arah kamar yang berjejer disini. Setelah kuperhatikan lagi, memang ruangan ini sangatlah luas dan didominasi oleh warna cream. Pantas saja jika mampu memuat sepuluh kamar dan ruangan lain didalamnya. Selain ruang TV sekaligus ruang tamu yang baru saja kami tinggalkan tadi, terdapat dapur yang berada dipojok kanan ruangan besar ini, yang jika melewati pintu masuk, akan terlihat dengan jelas disisi kanan. Sementara ruang makannya masih menyatu dengan dapur, dan berada tepat didepannya.
Zee melangkah mendahuluiku menuju kamar yang berada tepat di paling ujung kiri.
“Aku pilih kamar ini ya, Davin! Dan kau bisa menempati kamar disebelahnya.” Ucapnya sambil menyenderkan sikunya ke pintu kamar yang ia pilih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl Who Can't Cry [Completed]
Fanfiction[COMPLETED] Siapa sangka, seseorang menjalani kurang lebih sepuluh tahun terakhir dalam hidupnya tanpa menitikkan sedikit pun air mata? Zeenadey adalah seorang gadis ramah yang selalu menampilkan senyuman hangatnya kepada setiap orang. Kematian ibu...