Si Kapten

392 4 0
                                    


"Rem!"

"Oper-oper."

"Maju dulu."

Sepasang tangan menangkap bola dengan kokoh kemudian menggiringnya dari ujung lapangan ke ujung yang lain. Sorak sorai penonton dan selisih skor yang tidak jauh berhasil memberi kesan genting pada pertandingan bola basket tingkat umum se-kota Jogja yang didakan oleh sebuah perusahaan swasta yang bergerak dibidang otomotif. Kaki kokoh dengan sedikit bulu berlari, lincah menghindari lawan yang nyaris sama lincahnya. Tubuhnya bergerak ke kiri, menghindari lawan yang nyaris merampas bolanya. Satu detik kemudian matanya menajam, keringat di pelipisnya jatuh ke lantai, ia melompat.

"POINT!"

Separuh penonton berdiri, mengangkat tangannya tinggi-tinggi tanpa peduli dengan ketiak mereka yang sudah seperti celemek basah. Bersorak sorai atas kemenangan tim basket dukungannya. Pertandingan berakhir dengan skor empat puluh dan empat puluh Sembilan. Tim basket yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa Universitas Gajah Mada itu berhasil membawa pulang sebuah piala dan uang senilai lima juta rupiah. Uang yang cukup untuk pesta kecil-kecilan selama satu minggu, tapi sepertinya mereka tidak akan melakukan itu.

Remiliem Arjuna Prasetya sang kapten menghampiri tim lawan yang menjadi runner up dan menyalami mereka sebagai tanda persahabatan. Teman-teman satu timnya mengikuti. Remi meninggalkan teman-temannya yang masih bercengkrama dengan tim lawan, membahas hal-hal yang berkaitan dengan basket, mungkin tentang bagaimana cara agar mereka bisa bergerak lebih gesit. Tangan kokohnya meraih tas merah marun yang ada di pos timnya, rasanya ia ingin cepat pulang dan tidur, atau mungkin bisa memesan jasa tukang pijat sebelumnya.

"Selamat ya.."

Sepasang tangan kecil melingkar di pinggang Remi. Perlahan mengusap daerah pusarnya sambil sedikit menggelitik dengan jari-jarinya yang ramping. Remi memutar tubuhnya kemudian tersenyum puas melihat perempuan berpostur tinggi dengan rambut sepanjang pinggang ada di hadapannya. Reta, si seksi yang telah ia kencani selama dua tahun terakhir.

"Kamu enggak lupa janji kamu kan?" Reta membuka sebuah botol minum dan ia sentuhkan pada dada Remi.

"Yang mana?" tanya Remi setelah meneguk minuman dari Reta.

"Kalau kamu menang, kamu bakal nemenin aku seharian." Reta mulai berjinjit agar bisa menyamai wajah pria setinggi seratus tujuh puluh sembilan senti itu. "Cuma aku dan kamu." uap mulutnya hangat beraroma mint menerpa wajah Remi.

"Oh yang itu, pasti. Tapi enggak minggu ini, ada rapat-rapat penting, terus acara milad FH kan pakai EO aku, jadi aku harus urus bener-bener. Tapi nanti aku hubungin kamu lagi ya sayang?" Remi merapikan anak-anak rambutnya yang jatuh ke wajah.

"Tiba-tiba aku mau jadi event kampus aja, biar bisa jadi prioritasmu." Reta mengangkat tangannya dari kulit Remi yang basah karena keringat. Bibirnya mengerut.

Remi terkikik. "Enggak gitu Reta. Itukan kerjaan aku, bisnis aku."

"Aku enggak mau tahu."

"Ya udah, nanti aku atur lagi ya?" Remi menyapu pipi halus Reta.

Reta tersenyum puas dengan jawaban kekasihnya. Manusia paling sibuk yang seandainya Reta tidak memaksa, mungkin Remi akan jarang datang ke kostnya. Mahasiswi hukum tingkat akhir itu memeluk hangat kekasihnya. Remi yang tidak terbiasa bersikap romantis tidak membalas perlakuan Reta, ia mengusap ubun-ubun Reta dengan lembut, baginya itu sudah sangat cukup untuk menyenangkan Reta. Reta merengut, berharap Remi melakukan yang lebih. Mungkin mengecupnya.

Unconditional Love Is...Where stories live. Discover now