Maya berjalan cepat melewati setiap koridor rumah sakit. Seorang perawat memberi tahunya kalau dokter memintanya datang ke ruang dokter untuk membicarakan sesuatu. Dari ICU yang ada di lantai tiga sampai ke ruang dokter yang ada di lantai satu, Maya tidak berhenti sedikit pun. Jarum jam menunjukan pukul dua ketika ia memasuki ruangan dokter. Maya duduk di depan meja dokter, menatap sang dokter di balik meja dengan penuh harap.
"Guillain barre syndrome." ucap dokter tanpa diminta.
"Apa itu dok?" Maya meletakan siku kanannya di atas meja dokter.
"GBS adalah radang akut yang menyerang syaraf tepi, itu membuat pasien kehilangan sensasi pada syarafnya dan ototnya kehilangan kekuatan. Bisa dibilang hampir mirip HIV karena sama-sama menyerang sistem imun, tapi tidak sama dengan HIV." jelasnya singkat.
"Mirip HIV? Impossible! Pergaulan anak saya enggak neko-neko, dia anak baik."
"Oh, tidak seperti itu. Penyebab GBS sangat berbeda dengan HIV, sulit untuk memutuskan apa akar penyebab GBS tetapi kebanyakan karena serangan virus." jelas dokter.
Maya menelan ludah. "Anak saya akan baik-baik saja kan dok?"
"Setahu saya dalam kasus GBS di Indonesia paling cepat penyembuhannya satu minggu, dan paling lama hampir dua tahun. Ada pasien yang menderita GBS selama satu tahun, dia di ICU selama tiga bulan dan lumpuh selama tujuh bulan. Sekarang Remi sudah satu minggu di ICU tapi belum ada perubahan, mungkin karena kami baru berhasil mendiagnosa hari ini." jelas dokter lagi.
"Anak saya akan sembuh kan dok?"
"GBS itu penyakit serius yang mahal bu. Remi harus terus mendapat imunoglobulin, imunoglobulin yang paling murah Gammaraas itu harganya sekitar empat juta atau bisa pakai Gammimune. Kita juga bisa ambil tindakan virus-cleansing, itu semacam cuci darah. Ketika pasien sudah bisa minum, kita bisa memberinya susu kolostrum." lanjut dokter.
"Lakukan apa saja dok" pinta Maya yakin.
Dokter mengangguk, mengerti apa yang harus dilakukannya.
Jari-jari Maya sedikit ragu mengetik satu nama di kontak teleponnya. "Hallo?"
***
Sepatu pantofel menciptakan suara khas di lorong rumah sakit. Bergerak cepat, sesekali berhenti untuk membaca petunjuk arah. Lebih sering berhenti untuk bertanya kepada pegawai rumah sakit. Dua gadis kembar berkulit putih berdiri di depan pintu ICU, tidak mau menemui pria yang sedang di rawat di dalamnya.
"Carla? Yura?"
"Papa Jhon?"
Gadis berambut sebahu itu berlari menghampiri pria botak yang berdiri tak jauh darinya. Ia memeluk papanya erat, sudah lama ia tidak bertemu dengan pria yang selalu memanjakannya itu. Rasa takut dan rindu memenuhi rongga dada, membuatnya merasa pengap dan menangis sesenggukan. Jhon menciumi kedua putrinya, bayi-bayi kecilnya sudah tumbuh menjadi gadis kelas satu SMA yang cantik.
"Ibu mana?" tanya Jhon dengan nada khas orang barat.
Carla menunjuk ke arah pintu ICU.
Jhony berjalan cepat memasuki ICU. Seorang perempuan duduk di sebelah ranjang, bibirnya bergerak-gerak seperti sedang berdoa. Perempuan itu tidak banyak berubah, masih secantik saat mereka berpisah. Rambut hitam tergerai yang pernah membuatnya jatuh cinta.
"Maya?"
Maya mengangkat wajahnya. "Jhony?" ia berdiri, memperhatikan pria yang perah menjadi suaminya. "After five years and now you are here. Thank you Jhon."
"I'm here for my son, my daughters and," Jhony memandangi perempuan bermata sayu di hadapannya. "How are you Maya?"
"Not good Jhon, very very not good." bahu Maya bergetar.
Ragu-ragu Jhony mendekati Maya dan memeluk perempuan Asia yang selalu membuatnya jatuh cinta bahkan setelah mereka memutuskan untuk berpisah karena menemukan banyak ketidak cocokan. "It's ok, it's ok Maya. He is my strong golden bird."
"I'm so scared."
"No Maya, don't be scared. Don't you remember that he is my son, our son. You know that. Right?"
"So what? He is so sick now Jhony. How if he can't open his eyes anymore?"
Jhony melepas Maya dari pelukannya dan mulai mendekatkan wajahnya pada Remi. "I know that he can do this exam because he is my son. Dan anak dari penantang langit pasti hebat, betul kan Remi?" Jhony mengecup dahi putranya.
"Tapi Jhon.."
"Saya datang kesini bukan untuk bersedih-sedih sama kamu Maya, saya datang kesini untuk dia, demi dia."
"Dia akan baik-baik saja." Maya mengangguk mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Setetes air mata seorang pria dewasa jatuh. Ia terus membelai tubuh jagoan kecilnya, anak kecil yang dulu tidak pernah mau duduk diam. Jhony mencoba mengajak putranya bicara, sang ayah bercerita tentang betapa ia ingin bermain basket dengan anaknya lagi. Wake up please my golden bird, I'm here. Tetes demi tetes air suci jatuh dari mata Maya. Tentang ketakutannya, tetang cintanya yang kembali datang ke hadapannya. Tidak ada senyum di wajah Maya, terlalu sedih untuk bahagia.
Jhony, pria yang membuatnya menyibukan diri agar tidak teringat tentang pernikahannya. Maya ingat betapa ia sangat terpukul setelah Jhony meninggalkan Indonesia juga dirinya. Walau pun mereka sepakat untuk berpisah, tetapi tetap saja kepergian Jhony juga membawa hatinya yang turut pergi jauh dari tanah kelahirannya. Sekarang pria itu ada disini, begitu dekat, sangat dekat, tetapi ia tidak sepenuhnya bahagia..
***
Pukul tiga sore di ruang tengah perumahan dekat bandara Adi Sudjipto. Sudah hampir satu jam Yuki menemani Bayu di ruang tengah sambil menonton karton scoobydoo kesukaan Yuki. Sejak kejadian yang menimpa Bayu di lapangan futsal itu, Bayu tidak berangkat kuliah, membuat Yuki merasa sangat kesepian.
"Eh aku udah bisa mainin river flows in you-nya Yiruma dong." sombong Bayu.
Yuki berdiri, masuk ke kamar Bayu untuk mengambil gitar. "Coba." tantangnya.
Bayu memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. Tangannya yang sudah mulai kuat mulai memetik perkusi kesayangannya itu. Perlahan petikan Bayu mengisi ruang tengah yang cukup sepi. Yuki tertegun melihat Bayu yang tiba-tiba terlihat cerah seperti malaikat.
"Holding you holding you it's in you river flows in you. Slowy more slowy. There is a river flowing inside me. Holding you holding you it's in you river flows in you. Waiting the waiting.." Yuki menyanyikan lagu kesukaannya.
"Will I be there then?" sambung Bayu.
Yuki diam, mencerna sorot bata Bayu yang seperti mengatakan sesuatu.
"Ki, aku sayang kamu." ucap Bayu yang terus menatap mata Yuki. "Aku sayang kamu sampai bodoh Ki." lanjutnya dengan penekanan.
Yuki menelan ludah, kemudian mengangguk pelan. Tangannya menyentuh bagian bawah mata Bayu, bekas luka itu masih terlihat, samar tetapi Yuki tahu ada sesuatu disana. Tangannya megusap sebelah mata Bayu, berjalan hingga ke belakang telinga.
"Bay, aku dapet lirik baru dari YouTube, kamu mainin dari awal lagi ya."
Bayu mengangguk kemudian menuruti permintaan Yuki. Jari-jarinya yang semakin kuat kembali memetik senar-senar kesayangannya. Suara instrument kembali mengisi setiap sudut ruang tengah yang sepi.
"You are just too young to find the senses in your life, looking for something else like the dreams that you have. Filled your life with something else like teardrop in your eyes. Who does care what you are while, the river flows in you? You are not the fool, no, you are a beautiful one, you are like the sun, cause this one river flows in you. You are not the no one, you just look for more here, who does care because you are the one with it inside." Yuki menelan ludah, memikirkan apa yang baru saja keluar dari mulutnya.
***
YOU ARE READING
Unconditional Love Is...
General FictionTentang cinta pertama yang diam-diam. Tidak hanya mengisahkan lika-liku asmara anak kuliahan tetapi juga orang dewasa. Di dalamnya ada cerita tentang penderita Guillain Barre Syndrome, apa itu Guillain barre syndrome?. Ini juga mengisahkan tentang a...