Dua Hadiah

37 0 0
                                    

            Lampu warna-warni terpasang di berbagai sudut halaman FKH, bahkan banyak yang melintang beberapa jengkal di atas kepala. Beberapa orang sibuk menata sound system di panggung kecil sederhana yang terlihat elegan. Remi berjalan kesana-kemari dengan bantuan satu tongkat, mengkoordinir tim Ampar EO-nya. Yuki sibuk menjamu beberapa tamu undangan yang ternyata datang lebih awal. Sedangkan Bayu sedang berimprovisasi karena MC belum juga datang.

Lima belas menit kemudian acara sudah dimulai dan berjalan dengan baik. Yuki duduk di bangku nomer dua bersama Bayu. Tiba-tiba seseorang mengantar Remi untuk duduk di sebelah Yuki, senyum tipis terbit dibawah Yuki dan Remi bersamaan. Acara berjalan menyenangkan, dari pengisi acara, game, sampai hiburan semua berjalan dengan sangat baik. Yuki menggeleng, bagaimana bisa dengan bantuan EO gratisan bisa selancar ini. Semua hadirin terlihat bahagia, tawa mereka terdengar jelas setiap kali pengisi acara melempar guyonan. Canda tawa terdengar dari setiap sudut halaman fakultas kedokteran hewan, bayaran yang pas untuk panitia yang telah bekerja keras untuk acara ini.

"Makasih ya." Bisik Bayu di samping telinga Yuki.

"Untuk apa?" Yuki menoleh.

"Kamu udah berusaha untuk ini, dan sekarang acara ini sukses." Bayu mengusap kepala Yuki. Remi mengintip melalui ekor matanya.

"Enggaklah, kamu yang paling berusaha. Pak ketua panitia galak yang hobinya marah-marah setiap rapat." Yuki memasang ekspresi meledek.

"Galak tapi keren kan." Bayu mengayun tubuhnya ke arah Yuki.

"Masa?" Lagi-lagi Yuki memasang ekspresi meledek.

"Iyalah." Bayu yang gemas langsung mengacak rambut Yuki, entah mengapa rambut Yuki adalah bagian paling menggemaskan bagi Bayu.

Langit semakin gelap membuat lampu warna-warni semakin cantik ketika berpadu dengan cahaya bulan purnama. Angin malam sangat tenang, hanya sesekali berhembus dan membiarkan daun-daun menari sesuka hati. Bintang tidak terlalu banyak tetapi cukup untuk memeriahkan acara sederhana yang elegan ala Remi yang sepertinya akan menjadi pemilik EO terbesar sekota Jogja.

"Yaaaak, ini adalah suguhan terakhir dari kami, suatu band yang enggak ada hitz-hitznya karena udah lama enggak naik panggung, sebuah band yang manggung kayaknya hanya untuk reuni. MELANKONEOOOOON!"

Empat orang pria masuk ke panggung dan langsung menempatkan diri di posisinya masing-masing. Remi tercengang, tidak percaya dengan matanya sendiri. Entah mimpi apa yang ia dapat semalam hingga bisa melihat teman-temannya lagi, padahal rasanya semalam ia tidak mendapat mimpi apapun.

"Ya, pertama-tama kami berterimakasih kepada panitia yang telah mengundang kami. Kami ini udah kayak mumi sebenarnya karena sudah lama sekali ya kami enggak mencicipi panggung." si vokalis membuka obrolan. "Dan sekarang kami bahagia, bukan hanya karena bisa manggung di sini tapi karena manggung ini itu kayak reuni. Tapi ini kami belum lengkap nih, wah gimana sih, lihat gitarnya aja masih nganggur." ia menunjuk ke arah gitar di sebelahya. "Kita panggil dulu ya gitaris kita." ia menarik nafas dalam. "REMI! REMI! REMI!" serunya diikuti teman-temannya kemudian hampir semua yang ada di acara itu meneriakan nama yang sama.

Remi terkesima, ia menoleh ke arah Yuki seperti bertanya-tanya.

"This is your second best night sir." Yuki tersenyum.

Remi mengangguk berterima kasih. Remi bangkit dari duduknya dan berjalan ke panggung menemui teman-temannya. Dua temannya membantu Remi naik ke atas panggung. Wajah Remi seolah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Remi menangis, tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa bahagia yang tiba-tiba mengalir bersama oksigen di dalam darahnya.

"Terima kasih FKH, karena kalian saya bisa ketemu keluarga saya, keluarga yang saya rindu. Terutama terima kasih untuk Yuki, saya tahu ini salah satu dari hadiah-hadian yang kamu kasih ke saya selama ini. You are my best best best best friend, girl!" Remi tersenyum sambil menatap lekat Yuki yang tiba-tiba ranum.

Remi duduk di kursi kemudian memangku gitarnya, tangannya yang sudah lama tidak memetik senar gitar tidak terlihat kaku. Vokalis bertubuh tinggi di atas panggung itu mulai bernyanyi, suara merdunya serasi dengan musik menjadi suatu kolaborasi indah yang sudah lama hilang. Senyuman tulus terbit dari bibir merah muda Yuki. Jemarinya mengetuk-ngetuk lutut, menikmati pemandangan indah yang sedang terang-terangnya. Orang-orang melambaikan tangannya ke udara seirama dengan musik yang memanjakan telinga. Sebagian orang yang asli Jogja terlihat sangat antusias, sudah lama mereka tidak melihat penampilan band yang sempat tenar pada masanya. Meski tidak hafal dengan lagu-lagu ciptaan Melankoneon, Yuki tetap mengangkat tangannya tinggi-tinggi tidak mau ketinggalan dari yang lain.

Setelah membawakah beberapa lagu, Melankoneon meletakan semua alat musiknya. Mereka berkumpul di tegah panggung dan berpelukan. Semua penonton bertepuk tangan, MC berteriak girang. Satu persatu dari Melankoneon meninggalkan panggung. Mereka melajutkan obrolannya di balik panggung, reuni tidak boleh hanya sebentar, terlalu banyak rindu yang harus dilepaskan.

Seorang perempuan tinggi berambut panjang menghampiri Remi yang masih berdiri di dekat panggung. Mata Yuki menyipit, mencoba mengenali sosok itu dan juga ekspresi Remi yang terlihat tidak senang. Bayu meraih bahu Yuki, mengusapnya, kemudian merangkulnya kuat seperti hendak membawanya pergi dari bangku penonton, Yuki menurut.

Lidah Remi kelu. Terlalu senang untuk apa yang baru saja terjadi, juga terlalu marah melihat orang yang sedang bicara di hadapannya. Reta si perempuan berambut indah. Gadis kesayangannya yang telah meninggalkannya kini datang menemuinya.

"Kamu apa kabar Rem? Udah lama ya kita enggak ketemu, aku kangen, kangen banget sama kamu."

Remi diam.

"Kamu marah sama aku? Enggak apa-apa Rem, itu hak kamu karena selama kamu sakit aku terlalu sibuk sampai lupa."

"Lupa siapa aku di hidup kamu?" Remi membuang wajahnya.

"Enggak gitu Rem, sebenernya aku mau nemuin kamu tapi kamu sibuk sama pengobatan kamu dan aku sibuk skripsi, aku wisuda tahun ini Rem."

"Halah, aku hubungin kamu aja enggak pernah bisa."

"Aku ganti nomer Rem, dan aku enggak berhasil ngehubungin kamu."

Remi diam, ingat kalau dia juga ganti nomer karena nomer lamanya mati.

"Rem, aku kangen banget sama kamu." Reta mendorong tubuhnya ke arah Remi, memeluk pria yang sudah setahun tidak ia temui.

Remi diam, tidak menolak tetapi juga tidak begitu setuju dengan apa yang dilakukan perempuan itu. Sudah lama ia hidup tanpa peredaran Reta, ia sudah sangat terbiasa tetapi tetap saja tidak bisa menolak tubuhnya didekap perempuan itu. Remi memejamkan mata, membiarkan Reta mencuri aroma tubuhnya. Ia sendiri juga merasa rindu, sangat rindu.

"Maaf Rem, maaf."

"Jangan pergi lagi. Tolong."

"Never. I'm yours."

Dengan satu tangannya Remi membalas pelukan Reta. Terlalu munafik bila ia bilang tidak menginginkan Reta kembali. Perempuan yang selalu ia tunggu kembalinya. Senyum puas Reta terbit. Usahanya mengendap-endap demi menemui Remi tidak sia-sia. 

Unconditional Love Is...Where stories live. Discover now