Pertengahan Juni di ruang ICU yang sepi. Maya meletakan wajahnya di punggung tangan Remi yang masih belum siuman. Entah apa yang sedang dimimpikan Remi, sehingga ia tidak segera bangun. Pukul lima sore ketika Yuki membuka pintu ICU. Berjalan pelan, kemudian berhenti disebelah Maya.
"Ibuk?" Yuki mengusap bahu Maya lembut.
"Yuki?" Maya mengusap air matanya. "Ki, sudah dua setengah bulan tapi Remi belum bangun. Ibuk enggak tega, kalau gini terus mending Remi mati aja daripada dia kesakitan terus, ibuk ikhlas." lanjutnya.
Letusan Krakatau seakan jatuh tepat di jantung Yuki. "Ibuk enggak boleh ngomong gitu." Yuki menenggelamkan wajah Maya dalam dadanya. "Ibuk pasti capek, sekarang ibuk istirahat dulu ya? Biar aku gantiin."
"Iya, ibuk capek, ibuk mau pulang dulu ya, nanti papanya dateng. Tolong jagain Remi dulu ya?" ucap Maya yang langsung bangkit dan meninggalkan anaknya.
Yuki mengangguk. Matanya terus memperhatikan Maya yang berjalan kuyu, ia tahu beban apa yang sedang menindih bahu wanita paruh baya itu. Maya hilang di balik pintu. Yuki duduk di kursi yang baru saja diduduki Maya. Bantalan kursi yang hangat memberi isyarat bahwa Maya sudah lama tidak beranjak dari tempatnya.
Mata hitam bulat Yuki terus memandangi wajah Remi yang pucat. Tidak ada kharisma yang selalu membuatnya terkagum. Selang yang masuk melalui mulutnya sudah sejak bulan April tidak juga hilang, bahkan sudah ada sebuah alat yang melubangi lehernya.
Juni 2011
Pria ini payah, pemalas, sudah dua bulan lebih dia tidur.
Tuan Remiliem, aku tahu,
Aku tahu kamu akan membuka matamu lagi,
Dan saat itu terjadi,
Debu jalanan pun tidak akan berani membuatmu terpejam lama, kesakitan seperti ini.
Aku harap kamu tahu, aku ingin membagi sesuatu denganmu,
Sesuatu yang sangat rahasia.
Aku juga ingin membagi hari-hariku denganmu.
Dan di dunia ini tidak akan ada lagi yang bisa menikam senyum kita.
Tidak juga masa lalu, maupun diri kita sendiri.
Yuki memandangi tulisannya lesu. Entah kapan Remi bisa tahu apa saja yang ia tulis di dalam buku ini. Jam menunjukan pukul sembilan malam. Yuki memasukan buku leceknya dan mengeluarkan sebuah binder tebal. Sesekali ia mengutuk dirinya sendiri karena lupa dengan tugas yang harus selesai dua hari lagi. Dari saku jaketnya Yuki mengeluarkan earphone dan memasangnya di telinga, musik-musik Yiruma berputar di otaknya.
Ak.. Ak..
Yuki mengangkat kepalanya. Kayaknya ada suara. Kemudian mengangkat kedua bahunya.
Aak..
Yuki mengangkat kepalanya sekali lagi. Kemudian mendekatkan telinganya pada alat-alat penunjang hidup pria yang terbaring di hadapannya. Enggak ada suara, mungkin earphone ini mulai rusak.
Kih
Yuki mengangkat kepalanya. Matanya membulat. Perlahan ia melepas earphone yang tertanam di kedua telinganya.
Yukih
Yuki mendekatkan wajahnya pada wajah Remi yang masih tidak bergerak. Kelopak matanya berkedip pelan. Matanya menyipit.
Yukiih
Yuki menarik wajahnya jauh-jauh. Kedua matanya membulat, nyaris lompat dari tempatnya. Kedua tangannya mengatup bibir yang membentuk bulatan besar. Tangan kanannya meraih tombol gawat darurat. Enggak-enggak, Remi baru aja bangun, pria ini pasti lelah, dan aku enggak mungkin tega ngeganggu dia dengan cara membuat banyak orang datang kesini tiba-tiba sekarang. Tangannya yang sudah menyentuh tombol merah di dekat ranjang berangsur-angsur menjauh. This is our quality time.
"Mas Remi?" Yuki langsung mengusap kepala Remi.
Rambut berantakan Remi tidak terlalu diamatinya, bibir laki-laki itu tengah bergerak-gerak, tetapi tidak ada lagi suara yang keluar. Mata Remi yang masih setengah terbuka bergerak-gerak, melihat ke berbagai sudut yang ia bisa, sesekali terpejam kemudian kembali mengamati. Hingga tatapan sayu itu berhenti pada sesuatu di tangan kiri Yuki. Yuki mengerti apa maksud Remi. Segera ia pasang sebuah earphone di telinga kiri Remi, dan satunya ia pakai sendiri.
Musik-musik Yiruma mengisi telinga Remi kemudian menjalar, menyebar, melebar ke setiap inci tubuhnya yang nyaris habis digerogoti bosan. Mata Remi bergerak-gerak. Yuki menarik kedua ujung bibirnya dan terus mengamati pria di hadapannya. Ada rasa bahagia yang diam-diam menyelinap dalam sekujur nadinya, seperti ada energi lama yang muncul kembali setelah sekian lama hilang meninggalkannya.
***
"Yuki.."
Yuki mengerang.
"Nak Yuki."
Yuki mengangkat kepalanya cepat, ia terkejut.
"Kamu enggak kuliah?"
"Hah?" ia membenarkan rambutnya kemudian memeriksa jam di ponselnya. Yuki mengerjab-ngerjab. "HAH! Sepuluh menit lagi masuk buk, buk aku pergi dulu ya" Yuki meraih tasnya dan mencium tangan Maya tanpa menyadari penambahan garis-garis penuaan yang terlihat jelas disana.
Maya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya mengunci punggung mungil dengan rambut amburadul yang kemudian hilang di balik pintu.
Kepala Yuki melongok dari balik pintu. "Buk, tadi malem mas Remi bangun" jelas Yuki sedikit berbisik.
Mendengar penjelasan Yuki, Maya langsung melempar pandangannya pada putra sulungnya. Remi?. Matanya menyipit haru. Kerutan-kerutan di ujung matanya menjelaskan betapa belakangan ini ia telah cukup kewalahan oleh beban pikiran.
***
Remi membuka matanya. Biji mata itu bergerak-gerak. Samar terlihat dua orang yang sedang duduk di sebelah kanan dan kirinya. Sosok-sosok familiar yang seolah sudah lama tidak ia lihat.
"Hello son? Hey!"
"Pa..pa?" heran Remi tak ketara.
"Hey Maya, look at him, our golden bird is come back. Right Remi?!"
"Remiii." Maya mengusap rambut Remi yang semakin panjang.
Senyum samar lahir pelan-pelan di bibir Remi, menjadi hadiah terbaik untuk kembalinya Jhony. Juga hadiah untuk Remi, pria yang selalu menjadi inspirasinya kini benar-benar ada di hadapannya, bukan lagi hanya sekedar objek yang terkurung di dalam lensa yang terlalu maya untuk ia genggam.
"Mau main basket?" Jhony mendekatkan wajahnya pada wajah Remi.
Remi mengangguk lemah.
"Good boy. Cepat sembuh lalu kita main basket di rumah lagi ya?"
Remi mengangguk. Ia hanya bisa mengangguk, tidak tahu harus dengan cara apa untuk menggambarkan kebahagiaan yang tengah bersahabat dengannya. Sebutir air mata bahagia jatuh dari mata kanannya.
***
DAdv�2�s�^
YOU ARE READING
Unconditional Love Is...
General FictionTentang cinta pertama yang diam-diam. Tidak hanya mengisahkan lika-liku asmara anak kuliahan tetapi juga orang dewasa. Di dalamnya ada cerita tentang penderita Guillain Barre Syndrome, apa itu Guillain barre syndrome?. Ini juga mengisahkan tentang a...