Pergi

91 4 2
                                    

            Kotak-kotak makanan dengan sisa-sisa kecap asin, mayonais, dan wasabi berserakan di atas meja. Makan siang kali ini adalah ritual makan paling mahal untuk Yuki setelah Remi memesan banyak menu dari restoran Jepang terbaik di Jogja. Entah berapa uang yang dikeluarkan Remi, yang penting Yuki puas. Sesekali Yuki menyendok es krim strawberi pesanannya, sedangkan Remi meneguk es kopi hitam buatan Yuki.

"Awas Ki! Ah menuh-menuhin jalan nih!"

"Mas Remi lah yang curang nabrak-nabrak, mobilku penyok."

"Yee kamu enggak pinter mainnya."

"Apaan, mas Remi yang brutal mainnya."

Suara ribut memenuhi ruang tengah. Remi dan Yuki menghabiskan hari minggunya bersama beberapa kaset game yang baru mereka beli dan seperangkat PS dengan stick nyaris pensiun karena terlalu sering dimainkan dengan semangat di atas rata-rata. Segunung camilan buatan Maya nyaris habis, hanya tersisa beberapa biji piring yang tergeletak di atas meja.

"YEAAY!" Yuki melejit ketika mobilnya berhasil mendahului Remi di garis finish.

"Kebetulan itu mah." remeh Remi.

"Kebetulan apanya, jelas-jelas dari tadi aku yang mimpin." Yuki menyenggol siku Remi dengan sikunya.

"Preet!"

"Pecundang itu enggak pernah mau ngaku kalah." Yuki menyipitkan matanya. "Tapi aku punya sesuatu buat yang kalah." Yuki terkikik kemudian meraih tasnya. Remi melirik gadis dengan kaos bola kebesaran di sebelahnya. "TARAA!" Seru Yuki setelah menepis rasa malunya.

Sebuah buku bersampul putih menutupi wajah Yuki. Sifyunok?. Remi merenggut buku itu sebelum Yuki menyerahkannya, membuat wajah Yuki berubah kesal. Remi membuka halaman demi halaman tanpa ekspresi, tanpa membaca tulisan-tulisan tangan Yuki, tanpa terlihat menikmati, tanpa berterima kasih. Pura-pura tidak penasaran dengan buku yang sebenarnya sangat membuatnya tertarik. Kura-kura ninja bikin apaan sih? Ah cuekin dulu aja.

"Enggak mau dibuka dulu?" wajah Yuki meredup.

"Halah, paling juga isinya tulisan-tulisan kamu."

"Emang kenapa kalau tulisan aku?"

"Engga bisa dimakan."

"Remiiii." tiba-tiba Reta datang dan langsung melingkarkan lengannya pada leher Remi, mesra. Mbak Reta?, bibir Yuki terbuka sendiri. "Aku bawain Sashimi buat kamu." Reta menyerahkan sebuah kantung plastik pada Remi.

"Mbak Reta ngapain kesini?"

"Lhoh Yuki? Kamu ngapain disini?" Reta menarik wajahnya.

"Yuki tiap hari disini." jawab Remi.

"Ouh." wajah Reta berubah masam.

"Mbak Reta bukannya udah punya pac.." tanya Yuki terputus.

"Yuki aku mau berdua sama Remi." jelas Reta berusaha mencegah Yuki melanjutkan kalimatnya.

"Biarin aja sih Yuki disini, kenapa diusir?" Remi menarik Reta hingga duduk di sebelahnya.

Yuki diam, memperhatikan Reta yang tampak sepeti berusaha mencari perhatian pria di sebelahnya. Reta menyuapi Remi dengan makanan yang ia bawa tanpa sedikit pun bertanya apa Yuki mau. Padahal sashimi itu terlihat sangat enak dan Yuki sangat mau. Tiba-tiba Yuki merasa dirinya adalah bom yang siap meledak, melesat meninggalkan rumah ini, menjadi abu di langit dan lenyap dibawa angin. Kenapa Reta datang lagi? Untuk apa? Menyebalkan sekali.

Telunjuk Remi menekan-nekan tombol remot, memindah-mindah chanel tanpa tahu apa yang ia cari. Sesekali Reta mengusap rambut Remi, juga mengajaknya bicara tentang apa saja, hal-hal yang sebenarnya tidak menarik untuk dijadikan bahan obrolan. Yuki diam, bersandar pada sofa sambil memeluk lutut. Pandangannya ke arah televisi tetapi kosong sama seperti Remi. Tiba-tiba Yuki bangkit berdiri dan meninggalkan Reta bersama Remi.

Dari dapur Yuki bisa melihat bagaimana Reta terus berusaha mencari perhatian Remi. Remi juga mulai menanggapi tindakan Reta. Ada sesuatu yang tiba-tiba meledak di dadanya, sepertinya akan banyak tentara pertahanan di hatinya akan menjadi veteran mendadak atau lebih memilih pensiun dini saja. Yuki pergi ke kamar Remi. Mengumpulkan kertas-kertasnya yang berserakan di lantai, mengumpulkan serpihan hatinya yang tercecer di setiap sudut rumah ini, kamar ini. Ia memasukan semua miliknya ke dalam tas, juga tentang perasaannya. Remi masih menginginkan Reta di hidupnya, itu fakta yang tidak bisa asingkan. Terlalu egois jika ia mengikuti perasaannya.

***

Tok tok tok

Pintu kamar Yuki terbuka pelan-pelan. Yuki menoleh, sesosok perempuan berdiri di ambang pintu. Yuki menyipitkan matanya, berusaha melihat lebih jelas karena lampu kamarnya belum ia nyalakan. Sedetik kemudian kamarnya berubah menjadi terang, sosok di pintu itu yang menekan tombol lampu.

"Ki, kamu suka sama Remi?" perempuan itu mendekat.

Yuki diam, tidak percaya kalau Reta masuk ke kamarnya lagi setelah sekian lama mereka tidak lagi dekat.

"Aku lihat buku yag kamu kasih untuk Remi." Reta mengangguk. "Kamu suka sama Remi bahkan sebelum Remi kenal sama kamu, iya?"

Yuki menggeleng.

"Aku cewek Ki, setomboy-tomboynya kamu, kamu juga cewek, dan cewek bisa ngerti perasaan cewek lain." Reta semakin mendekat pada Yuki.

Yuki mundur satu langkah.

"Kamu suka sama Remi, tapi kamu punya Bayu, kamu sayang sama Remi, tapi Remi cinta aku." tegas Reta yakin. "Aku mungkin pernah salah, tapi aku cinta Remi Ki. Kamu harus ngerti posisi kita. Tolong hapus perasaan kamu ke Remi, apapun itu."

Yuki diam seakan nyaris mati tertikam jutaan duri.

Reta maju satu langkah. "Kamu enggak bakal ambil Remi dari aku kan Ki?" Reta memiringkan kepalanya. "Aku tahu kamu enggak bakal nyakitin Bayu, iyakan Ki? Kamu bukan cewek jahat yang tega nyakitin cowok kayak Bayu kan Ki? Tolong Ki."

Reta pergi, Yuki jatuh terduduk di tepi ranjang. Tentara mesir seakan bangkit dari kubur dan ramai-ramai melesatkan panah mereka ke arahnya. Reta benar, Bayu enggak pantes patah hati, bahu Yuki bergetar, seakan malaikat Izrail sedang bersiap mencabut hatinya tanpa ampun sampai ke akar yang tertanam di seluruh nadinya. Menyakiti Bayu memang keterlaluan, tapi membiarkan Reta kembali pada Remi tak kalah menyedihkan. Ternyata bukan jatuh cinta yang sulit untuk diungkapkan, patah hati juga. Rasanya tiba-tiba tak ada yang berpihak kepadanya, seakan semua menyalahkannya padahal sebenarnya tidak. Saat itu juga Yuki merasa sendirian, tidak tahu harus apa, tidak mau apa-apa.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 22, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Unconditional Love Is...Where stories live. Discover now