Sandra

62 0 0
                                    


Dari parkiran Yuki berlari memasuki gedung kuliahnya. Rambutnya bergoyang kesana-kemari, kakinya berderap-derap menyusuri lorong. Pasti teman-temannya sudah ada di dalam laboratorium praktek, begitu juga dengan Bayu yang bisa langsung memarahinya. Rasanya ia ingin sekali mengutuki dirinya sendiri. Andai saja tadi Maya tidak membangunkannya mungkin saja saat ini juga ia masih tidur nyenyak di rumah sakit. Rasanya ia mengerti kenapa Remi sangat betah tidur di sana, suara alat-alat yang terhubung dengan tubuhnya itu sangat membosankan dan mengundang kantuk. Ditambah ruangan yang ber-AC dan selimut tebal yang nyaman, rasanya ia pun akan betah berlama-lama tidur di ranjang rumah sakit seperti itu.

Pukul tujuh lebih tiga puluh tujuh menit ketika Yuki membuka pintu laboratorium. Seorang dosen laki-laki bertubuh kurus dengan rambut nyaris botak menatapnya tanpa berkedip. Mata Yuki berputar mencari bangku kosong diantara teman-temannya yang sudah membentuk kelompok. Bayu melambaikan tangannya lalu menunjuk bangku kosong di sebelahnya yang sengaja ia siapkan untuk perempuan yang entah kenapa sekarang suka kabur-kaburan. Yuki menundukan kepala pada dosen dan langsung berjalan cepat menghampiri Bayu. Seisi laboratorium memperhatikan, membuatnya gugup seperti sedang berjalan di karpet merah yang dikelilingi reporter.

"Kamu dari mana aja?" tanya Bayu sedikit berbisik, geregetan.

Yuki masih mengatur nafasnya. "Rumah sakit."

"Ngapain?"

"Kemarin..aku..nengok mas Remi, terus.. ketiduran disana." jelas Yuki tersenggal-senggal.

Bayu menarik wajahnya, heran dengan jawaban dari perempuan yang pagi ini terlihat sangat berantakan.

"Ya nengok, mas Remi kan udah jadi temen kita kan?" Yuki menyeka keringat di bawah pipinya.

"Wajarnya orang nengok itu paling enggak dua kali, kamu udah berkali-kali lho Ki."

"Berarti waktu kamu sakit seminggu terus aku ke rumah kamu terus itu?"

"Itu beda Ki, lagian itu kan kamu yang mau."

"Ini mas Remi juga enggak minta, Bay. Mungkin mas Remi pinginnya mbak Reta yang dateng, tapi kamu harus tahu Bay," Yuki mengambil nafas panjang. "Mbak Reta udah ninggalin mas Remi sejak awal." lanjutnya.

Bayu menarik wajahnya, matanya membulat.

"Kamu ingetkan waktu mbak Reta dijemput sama cowok waktu itu?"

"Aku enggak peduli sama mbak Reta. Urusan mereka apa hubungannya sama kita? Sama kamu? Jujur aku cemburu Ki." Ucap Bayu.

Yuki diam.

"Kamu punya banyak waktu untuk mas Remi, seakan-akan kamu itu pacrannya sama mas Remi, terus aku kayak transparan gitu di mata kamu." Jelas Bayu sedikit terkikik hambar.

"Bay."

"Ki!"

SSSSSTT!!!. Seisi laboratorium menjatuhkan tatapannya ke arah mereka berdua. Bayu memalingkan wajahnya, meninggalkan wajah Yuki yang masih mengamatinya. Yuki memainkan gunting bedah di mejanya. Rasanya Bayu benar-benar sedang marah.

"Bay? Mungkin aku salah, maaf ya" ucap Yuki tanpa berani mengangkat kepalanya.

Bayu diam, ia sibuk mngikuti petunjuk dari dosen dalam praktikum bedah ini.

"Ah, iya iya Bay aku emang salah, maaf." ucap Yuki sekali lagi sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Yaudah, nanti temenin aku ke sana ya? Aku mau nengok mas Remi." jawab Remi sambil menggoyang kepala Yuki.

***

Langkah kaki berderab-derab di lorong rumah sakit. Sepasang kaki berjalan statis menyusuri garis-garis lantai yang sudah akrab dengan alas kakinya. Sepasang kaki yaccccvng lain berjalan seirama di belakangnya, mengekor, mengejar, berusaha menyamai kaki kecil yang melangkah tanpa jeda di depannya.

"Mbak Yuki, pasti mau ketemu mas Remi."

Seakan sudah cukup akrab beberapa perawat menyapa Yuki yang sedang menggunakan disinfektan di depan pintu ICU. Bibir Yuki menyunggingkan senyum ramah. Bayu memandangi aneh, pastinya perawat-perawat itu bukan dengan tidak sengaja bertemu Yuki di warteg, di lampu merah, atau di kebun binatang sehingga bisa begitu akrab. Entah udah berapa kali Yuki kesini tanpa ngasih tahu aku.

Pintu ICU terbuka. Maya menoleh seperti biasa, seperti setiap kali suara pintu terbuka bisa didengarnya. Yuki. Maya bangkit dari duduknya, menyambut tangan-tangan Yuki yang langsung mencium tangannya. Bayu mematung dua langkah di belakang kekasihnya. Memandangi sosok yang terkulai di atas ranjang, seakan di sandera oleh alat-alat penunjang hidup. Otaknya tidak berhasil membayangkan bagaimana bila ia yang harus berada di ranjang yang begitu dekat dengan kematian itu.

"Ini Bayu, buk." jelas Yuki ketika Maya melirik ke arah pria di belakangnya.

Mata Maya terbuka lebar, teringat ketika Reta mengenalkan Yuki kepadanya. "Temennya Remi?" tanya Maya dengan senyum buru-buru mengusir Reta dari pikiranya.

"Iya tante, pacarnya Yuki." jawab Bayu seakan menegaskan.

Senyum yang Maya bangun satu-satu, lenyap seketika. Hanya ia dan Tuhan yang tahu kalau ia telah jatuh hati kepada Yuki sejak pertama kali melihatnya. Bahkan karena Yuki, Maya tidak terlalu mempermasalahkan Reta. ia justru merasa berterimakasih karena sudah mengantar Yuki kepadanya. Harapan menjodohkan Remi dengan Yuki hangus, hilang dibawa angin yang mengalir ke luar fentilasi.

"Remi udah lebih baik, tiga hari lagi udah bisa dikasih latihan fisioterapi. Besok kamu kesini kan Ki?"

"Past.." jawab Yuki terputus.

"Minggu ini banyak tugas tante, jadi kayaknya Yuki enggak bisa kesini dulu dalam beberapa waktu ke depan." Bayu menggeleng ke arah Yuki.

Maya mengangguk.

"Tante, boleh saya lihat mas Remi?" Bayu menganggukan kepalanya.

Maya mengangguk kemudian memberi jalan kepada Bayu agar bisa mendekati Remi.

Satu-satu Bayu mendekati Remi. Tangan kanannya berpegangan pada pembatas ranjang. Remi membuka matanya. Mata yang biasanya terlihat cukup tajam itu kini terlalu sayu. Menyedihkan.

"Mas Remi, get well soon ya mas." Bayu mengelus punggung tangan Remi. "Maaf baru bisa dateng sekarang." lanjutnya.

Bibir Remi bergerak-gerak. Matanya berputar, kemudian menatap Bayu tanpa cahaya. Secercah senyum payah muncul seakan berterimakasih.

Yuki tersenyum. Entah untuk pemandangan yang dibuat oleh Bayu yang terlihat seperti malaikat saat itu, oleh Bayu dan Remi, atau Remi saja. Dipandanginya wajah payah Remi. Mata yang dulu begitu mengagumkan ketika mengejar bola, sekarang tidak punya cahaya apa-apa. Kemudian ia merasa runtuh lagi. Hal yang ia rasakan setiap kali melihat Remi menampakan wajah lesunya. Seolah-olah tak ada lagi asa yang tersisa. Seakan kapanpun juga Yuki harus siap merelakan separuh dari dirinya pergi bersama Remi, seperti senar yang putus, dibawa layangan terbang jauh dan tidak mungkin kembali. Ia disandra perasaannya sendiri. Satu perasaan yang tumbuh diam-diam dan satu perasaan lain yang sengaja ditumbuhkan.

***

n>  

Unconditional Love Is...Where stories live. Discover now