"Ki." sapa Reta yang tiba-tiba masuk ke kamar Yuki tanpa permisi.
"Apa mbak?" tanya Yuki sambil membereskan tugasnya yang berceceran.
"Tolong anterin aku ke rumah sakit." Reta menarik tangan Yuki tergera-gesa.
Tanpa sempat berhenti, Yuki meraih jaket parka dan tas slempang jeansnya.
"Pokoknya dalam lima menit kita udah harus sampai rumah sakit." lanjut Reta.
Yuki menelan ludah. "Emang siapa yang sakit sih mbak?"
"Remi."
Loreng melaju di jalan kota Jogja yang tidak begitu ramai. Berulang kali Reta memeriksa ponselnya, barangkali ada kabar baru tentang kekasihnya. Sekitar delapan menit motor berwana jingga-hitam itu baru terparkir di parkiran rumah sakit.
Reta dan Yuki masuk tanpa perlu repot-repot membuka pintu lobi yang sudah canggih. Tidak ada aroma rumah sakit yang khas dengan obat dan disinfektan. Wangi kue hangat berselimut keju meleleh justru menggelitik syaraf penciuman Yuki yang belum sempat makan. Sepertinya ini rumah sakit paling canggih yang pernah ia datangi. Reta berjalan cepat, membuat gaun selututnya bergerak-gerak dan terlihat cantik. Namun tidak bagi Yuki, ia terus berjalan di belakang Reta yang tidak bisa melambatkan langkahnya. Lorong-lorong rumah sakit cukup sepi, tidak banyak orang yang datang untuk menjenguk pasien, tetapi beberapa perawat tampak sibuk dan berseliweran.
"Maaf mbak, ini bukan jam besuk." jelas seorang satpam.
Reta tidak menghentikan langkahnya. Yuki mengucapkan maaf kepada satpam sebelum akhirnya kembali berusaha menyamai langkah Reta yang lebar. Reta terus berjalan, begitu juga dengan Yuki yang terus mengekorinya. Langkah Reta berhenti ketika sampai di sebuah ruangan bertuliskan ICU. Wanita paruh baya menghampiri Reta dan langsung memeluknya. Wanita itu menangis tetapi tidak bersuara. Kehitaman di sekitar matanya seolah bicara kalau malamnya diisi dengan kekhawatiran sampai ia tidak mungkin sempat tidur nyenyak. Setelah melepas pelukannya, wanita itu menunjukan tempat tidur Remi.
Pria penuh karisma itu tergeletak di ranjang. Matanya setengah terpejam dan alat-alat bantu terpasang dimana-mana. Reta menangis di pelukan wanita yang pertama kali ditemuinya tadi. Yuki membeku di balik tembok kaca. Rasanya ia tidak mau mempercayai matanya sendiri. Kedua tangannya mengepal kuat. Ada sesuatu yang sedang ia tahan. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi sesuatu seperti sedang dengan sangat tega mencabut akar-akar nadi di sekujur tubuhnya. Remi, bangun Remi, banguuun.
"Remi kenapa tan?" Reta masih menangis.
"Tante belum tahu Ta, udah tiga hari flu sama diare. Dia bilang kakinya kesemutan terus, tante pijit katanya sakit kayak ditusuk jarum. Yaudah dia di kamar terus kan tidur, nah semalem waktu tante nganter susu, Remi udah geletak di lantai terus kayak sesak nafas gitu. Tante teriak-teriak manggil anak-anak, terus kita bawa Remi ke rumah sakit" wanita itu menghapus air mata di pipi Reta. Kemudian matanya tercuri oleh seorang gadis asing yang terus melihat ke dalam ICU.
YOU ARE READING
Unconditional Love Is...
Fiksi UmumTentang cinta pertama yang diam-diam. Tidak hanya mengisahkan lika-liku asmara anak kuliahan tetapi juga orang dewasa. Di dalamnya ada cerita tentang penderita Guillain Barre Syndrome, apa itu Guillain barre syndrome?. Ini juga mengisahkan tentang a...