Jarum jam menunjukan pukul setengah delapan pagi ketika Maya mengaduk secangkir kopi susu jahe. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melakukan kegiatan yang dulu pernah menjadi rutinitas paginya. Dua sendok kopi ditambah satu sendok susu kemudian disiram dengan seratus tujuh puluh mili liter air jahe mendidih dan tiga puluh mili liter air bening bersuhu normal, Maya masih ingat betul perpaduan minuman itu.
Perempuan bernama lengkap Sri Mayang Wulan itu berjalan ke halaman belakang rumahnya sambil membawa secangkir kopi panas dengan hati-hati. Pria yang sedang duduk di kursi teras masih saja tidak beranjak dari tempatnya sejak bangun tidur. Matanya berulang kali menyapu setiap sudut halaman belakang rumah.
"Jhony." sapa Maya yang kemudian menyodorokan secangkir kopi kepada Jhony.
Jhony menerima secangkir kopi dari mantan istrinya. "Terimakasih Maya."
"Sejak kapan kamu duduk disini?"
"Sejak matahari belum selesai memanjat timur."
"Nanti aku mau ke rumah sakit jam sembilan, kamu mau ikut atau.."
"Maya." ucap Jhony memutus kalimat Maya. "Saya selalu rindu Indonesia, saya rindu anak-anak, dan saya rindu rumah ini. Saya selalu ingin kembali kesini, dan sekarang saya ada disini. Tetapi kenapa Tuhan membawa saya kembali kesini dengan cara melukai anak saya?"
"Kamu menyalahkan Tuhan?" Maya heran.
"Kamu tahu seberapa besar penghormatan saya kepada Tuhan, tidak mungkin saya berani menyalahkan-Nya. Saya seperti sedang berada di taman air tetapi saya tidak bisa berenang, saya senang berada disini tapi saya tidak bisa menikmati itu semua. Kalau saya bisa minta Tuhan untuk menukar posisi Remi dengan saya pasti sudah saya lakukan semenjak kamu telepon saya. I'm so sad Maya."
"Remi pasti senang kalau dia tahu papanya ada disini." Maya mengusap punggung tangan Pria yang sedang menahan air matanya.
Maya bangkit dari tempatnya. Rasanya lebih baik ia membiarkan Jhony menikmati kopinya dulu. Maya berjalan cepat, ada rasa canggung yang mengejarnya dari belakang.
"Maya." panggil Jhony.
Maya menoleh.
"Kopimu masih seenak dulu, sepertinya saya juga merindukan minuman ini. Terimakasih." lanjut Jhony yang langsung tersenyum.
Maya mengangguk kemudian kembali berjalan cepat menuju kamarnya.
Maya membuka laci yang telah bertahun-tahun ia kunci. Ia keluarkan sebuah foto yang telah lama ia sembunyikan, terlalu takut untuk membiarkan foto itu menjadi mudah terlihat. Tangan putih langsat khas perempuan Jawa mengusap lembut foto pernikahannya dengan Jhony. Memorinya terlontar, membuat ia mengingat dengan detail tubuh gagah Jhony yang berbalut beskap hitam datang menghampirinya di hari pernikahan mereka di rumah orang tuanya. Senyum Maya bergetar, ada bahagia yang diam-diam menyendup ke dalam kumpulan awan hitam yang sedang senang menaunginya.
***
Jhony baru saja selesai mengikat tali sepatunya di teras bagian depan rumah, kemudian ia menyandarkan punggungnya pada kursi. Di matanya, kota ini sudah banyak berubah. Tidak ada lagi teriakan pengemudi becak yang saling menyapa di depan rumah ini, tidak ada lagi ibu-ibu yang menggendong bakul beris jajanan pasar yang sering memanggilnya dari balik gerbang, dan tidak ada lagi koloni burung yang bersama-sama membentuk pola untuk menembus udara.
"Jhony, aku atau kamu yang nyetir" Maya muncul dari dalam rumah.
"Maya saya mau tanya." ucap Jhony. "Kemana perginya becak, burung, dan penjual makanan yang biasanya lewat?" lanjutnya.
"Sekarang Jogja sudah berubah Jhon." mata sayu Maya menyapu lingkungannya. "Kalau kamu mau cari becak dan penjual makanan seperti itu, kamu harus pergi ke tempat vital atau ke desa. Kalau burung-burung yang biasa kamu potret itu mungkin masih bisa kamu lihat kalau kita ada di rumah orang tuaku." jelas Maya.
"Rumah ibuk sama bapak? Maya apa kamu mau temani saya kesana?"
Maya terkejut dengan pertanyaan Jhony, apa yang akan dipikirkan keluarganya bila mantan suaminya datang?. "Tapi kan sekarang keadaan Remi masih.."
"Benar juga, ya sudah." jawab Jhony memutus penjelasan Maya. "Hmm, Maya dimana suami kamu? Saya belum melihatnya dari kemarin."
Gemuruh seolah mengusik hati perempuan berbaju merah itu. "Semenjak kita berpisah aku belum menikah lagi."
"Why? Kamu cantik dan mandiri."
"Tidak apa-apa. Ayo berangkat Jhon, aku sudah kangen Remi." ajak Maya.
Tak lama kemudian sedan hitam itu masuk ke Jalan Kaliurang untuk menuju ke rumah sakit. Untuk ukuran kota besar, lalu lintas di Jogja tidak terlalu padat. Sesekali Jhony menanyakan perubahan-perubahan kota yang dilihatnya. Jogja memang sudah sangat bebeda dengan kali terakhir ia berada di kota ini beberapa tahun lalu. Tiba-tiba Maya seperti berubah menjadi pemandu wisata pribadi tanpa upah.
"Carla sama Yura pulang jam berapa?" tanya Jhony ketika di perjalanan.
"Sekitar jam dua, kenapa?"
"Mereka sudah besar ya. Saya ingat waktu dulu mereka baru lahir, dua bayi cantik yang lahir dari rahim wanita hebat."
"Mereka kangen banget sama kamu."
"Di California, setiap hari saya berharap bisa ketemu mereka. Disana saya seperti kesepian, padahal teman saya banyak." Jhony mengingat hari-harinya Di California.
"Keluarga kamu?"
"Daddy and mommy sekarang tinggal dengan Nancy di NY."
"Maksud aku istri dan anak kamu."
Jhony tertawa. "Tidak ada."
Jawaban Jhony membuat Maya diam, tidak tahu lagi harus berkata apa.
***
"Hey boy, I'll tell you something. Ibu kamu makin cantik aja, kamu ajarin apa aja soal teknologi kecantikan modern?" Jhony tersenyum pada Remi yang masih diam seperti arca. "Nanti waktu kamu bangun, papa mau ajarin kamu cara cari perempuan yang baik luar-dalam seperti ibu kamu itu. Papamu ini pernah beruntung dapetin ibu kamu . Dulu banyak saingannya, ibu kamu kayak sembako subsidi terbatas, banyak yang nyari tapi susah dapetnya." lanjutnya.
"Jhony, aku mau beli jus, kamu mau?" tanya Maya yang tiba-tiba muncul.
Jhony mengerjab-ngerjab, tidak yakin kalau Maya tidak mendengar perkataannya.
"Mau?"
"Mau! Kapan?"
"Kapan apanya?"
"Mi rebus di pantai kayak dulu waktu saya sama kamu masih pacaran-kan?"
Maya mengernyitkan dahinya. "Jus, kamu mau jus?"
"Oh ya maksud saya itu. Avocado please." Jawabnya gugup.
"Ok." jawab Maya sambil berjalan meninggalkan kamar.
Tubuh Maya hilang di balik pintu. Jhony tertawa kecil sambil memandangi wajah putranya. Tiba-tiba tawanya luntur, melumpuhkan senyum yang baru saja hinggap di wajahnya. Pria berusia lima puluhan itu mengusap lembut kepala anaknya, rasanya sangat ingin bertukar posisi. Bukankah remuknya hati orang tua bukan karena anaknya gagal dalam ujian, tetapi ketika anaknya berada dalam posisi paling lemah dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berdo'a.
"Wake up son, this is papa." Jhony menempelkan dahinya pada dahi anaknya.
***
-font-siz<3���X
YOU ARE READING
Unconditional Love Is...
Ficción GeneralTentang cinta pertama yang diam-diam. Tidak hanya mengisahkan lika-liku asmara anak kuliahan tetapi juga orang dewasa. Di dalamnya ada cerita tentang penderita Guillain Barre Syndrome, apa itu Guillain barre syndrome?. Ini juga mengisahkan tentang a...