Derap langkah kaki menggema di setiap sudut lantai dua gedung fakultas kedokteran hewan. Rambut Yuki bergoyang, begitu pula dengan bagian bawah jaketnya. Di depan kelas terlihat Bayu sedang bersama tiga orang lain. Yuki membungkuk, kedua tangannya bertumpu pada lutut. Nafasnya ngos-ngosan, matanya menyapu lantai yang dipenuhi kertas, pena, ponsel, dan laptop.
"Kamu dari mana aja sih Ki?"
"Ada urusan, maaf aku lupa kalau.."
"Urusan apa lagi? Kok sekarang kamu kayak sibuk banget? Atau malah sengaja menyibukan diri?"
"Bay, aku enggak sengaja telat."
"Aku hubungin kamu berkali-kali tapi enggak ada respon. Besok kita presentasi dan kamu belum nyelesaiin bagian kamu Ki. Kamu mau kita kena marah dosen terus dipermalukan di depan kelas?"
Yuki diam, tidak tahu harus menjawab apa. Bayu terlihat benar-benar tidak suka dengan apa yang ia lakukan walau pun ia sudah mecoba menjelaskan. Bayu tidak salah, Yuki paham betul kalau kesalahan ada pada dirinya, hanya saja ia tidak bisa bila tidak melakukan apa yang menjadi alasan di balik kesalahannya itu. Yuki menurunkan ransel merah yang lebih besar dari tubuhnya. Tangannya merogoh ke dalam tas, matanya pura-pura mencari meski sebenarnya ia sedang menghindari tatapan marah Bayu. Yuki menyerahkan beberapa lembar kertas dan flashdisk pada Bayu tanpa melihat ke arahnya. Bayu menerimanya tanpa bicara satu kata pun, laki-laki itu terlihat cukup marah.
Bayu kembali bergabung dengan kelompok, tetapi Yuki memilih duduk di belakang mereka, sendirian. Rasanya kesal, entah pada Bayu yang tiba-tiba galak atau pada dirinya sendiri. Yuki mengeluarkan sebuah buku binder tebal. Rasanya lebih baik mengerjakan tugas yang lain daripada diam dan didiamkan seperti ini, seperti ada tetapi tidak dianggap.
Satu jam berlalu. Bayu dan teman-temannya merapikan peralatan mereka yang berserakan. Tiga orang itu pergi, hilang di ujung lorong. Bayu duduk di samping Yuki. Memperhatikan tangan kekasihnya yang terus menulis, tetapi lebih seperti orang kesal.
"Maaf Ki, aku enggak enak sama temen-temen. Dari tadi mereka nyariin kamu."
"Aku juga salah." Yuki menjatuhkan penanya.
"Ke rumah makan Jepang di Gejayan yuk-"
Yuki mengangguk, kemudian memunguti buku dan penanya.
Di dekat jendela rumah makan Jepang bergaya modern, Yuki dan Bayu memesan dua jenis makanan, Royal soft shell roll dan Kirishima. Yuki menggeser-geser sushi di hadapannya dengan sumpit, tidak begitu selera memakannya. Pikirannya terbang pada sushi sederhana yang ia buat bersama Maya di dapur, mencicipinya saja belum sempat padahal itu adalah sushi pertama buatannya.
"Kok enggak dimakan sih?"
Yuki mengatur posisi duduknya. "Inikan mahal banget, dapet uang dari mana? Kenapa enggak yang biasanya aja?"
"Aku kira ini bisa ngehibur kamu, abis kamu kayak anak kost kehabisan duit jajan. Kelihatan lesu terus, aku jadi jarang lihat kamu ketawa."
Yuki memasukan sebuah sushi ke dalam mulutnya. "Bayarnya?"
"Enggak usah kamu pikirin, yang penting sekarang kamu makan." Bayu mengusap kepala Yuki. "Ki, kamu kenapa sih beberapa bulan ini kok kayak sibuk terus? Aku nemuin kamu aja susah lhoh."
Yuki memandangi wajah Bayu yang sedang menunggu jawabannya. "Maaf, aku keasyikan ikutin kemauan aku, aku jadi sibuk banget, bukan hal penting buat kamu tapi buat aku itu sebuah kebutuhan yang rasanya sulit banget untuk diabaikan. Aku enggak tahu harus gimana ceritanya, aku takut kamu enggak paham. Maaf ya Bay."
YOU ARE READING
Unconditional Love Is...
Fiction généraleTentang cinta pertama yang diam-diam. Tidak hanya mengisahkan lika-liku asmara anak kuliahan tetapi juga orang dewasa. Di dalamnya ada cerita tentang penderita Guillain Barre Syndrome, apa itu Guillain barre syndrome?. Ini juga mengisahkan tentang a...