Tubuhku sakit. Sangat sakit lebih dari sekedar pilu. Rasanya seperti dihantam benda besar yang sukses membuat tulang remuk. Atau tubuh hancur berserakan.
Sesak. Begitu sesak seperti dadaku ditekan sampai hanya sekedar mengais satu atau dua tarikan napas saja sulit. Tubuh terasa lemas seakan terbang namun alih-alih naik malah jatuh semakin jauh.
Rasa sakitnya semakin menggila. Menggerogoti sisa-sisa pertahananku yang berusaha mengabaikan semuanya. Aku hanya ingin sakit ini berakhir. Hilang seluruhnya sekalian dengan diriku sendiri.
"Dia membuka mata! Akhirnya dia sadar! Ya Tuhan!"
Samar namun dipaksakan, netra ku mengamati beberapa orang yang berdiri menyiratkan raut lega bukan main. Empat orang pria muda dan satu orang wanita. Ingin berusaha mengeluarkan suara tapi terlalu sulit. Tak ada sedikitpun kata yang lolos dari bibirku.
Satu-satunya wanita yang menatapku itu, langsung berhambur memeluk. Pelukan yang begitu hangat dan menenangkan. Dia menangis, air matanya tumpah deras dengan isakan disertai ucapan-ucapan syukur dan betapa dia mencintaiku.
"Akhirnya kau sadar juga. Kenapa kau bisa sampai seperti ini? Ibu sangat khawatir. Jangan seperti ini lagi. Jangan pernah tinggalkan ibu."
Ibu?
Aku terdiam mendengar kalimat itu.
Belum selesai semua kebingunganku, salah satu dari empat pria itu juga memelukku. Sama lembutnya dengan wanita barusan.
"Kalau ada sesuatu kau harus mengatakannya pada kakak! Jangan gila seperti itu. Kau tahu aku hampir ingin menyusulmu." Ujar pria berambut dirty blondie itu.
Kakak?
Lagi-lagi aku terdiam.
Masih berusaha mencerna semua apa yang terjadi. Setidaknya yang bisa aku pastikan adalah aku berada di sebuah kamar dengan alat-alat yang membantu keadaan tubuhku. Sebuah rumah sakit.
"K—kalian si—apa?" Tanyaku dengan susah payah. Terlalu terbata-bata namun akhirnya terucap juga.
Semua yang ada di sana cukup terkejut. Termasuk aku sendiri. Namun aku tidak tahu mana yang membuat mereka terkejut. Karna aku yang akhirnya bisa berbicara atau karna pertanyaanku. Nyatanya daripada raut lega mereka lebih terlihat merasa aneh.
"K-kau tidak mengenal Ibu?"
Aku menggeleng frustasi. Tangis wanita itu pecah bersamaan dengan pria yang menyebut dirinya kakak, mengusap wajahnya sendiri dengan tangan begitu frustasi. Tiga pria lainnya masih hening, dan aku pun sama tidak mengenal mereka.
"Aku akan panggilkan dokter, bu." Pria dengan kaki panjang yang mengaku kakak ku itu segera keluar.
"Dia lupa ingatan?" Tanya salah seorang pria yang masih ada di sana.
Ibuku –atau lebih tepatnya orang yang mengatakan dia ibuku, dipeluk oleh salah seorang lainnya. Pria dengan wajah tampan, tinggi berkulit tan. Pria itu berusaha menenangkannya.
"Kau bahkan tidak mengenalku?" Tanya pria yang memeluk Ibu, atau wanita yang menyebut dirinya—kita sebut saja dia Ibuku. Lebih mudah.
Aku menggeleng. Mereka menghela napas begitu berat. Sekarang akulah yang merasa lebih bingung di sini.
"Dia benar-benar lupa ingatan," ujar pria berambut blondie lainnya.
Jadi aku amnesia?
Entahlah aku harus merespon apa. Karna aku sendiripun masih bingung dengan semua yang terjadi.
"Sial!' Ujar pria yang tadi memeluk ibuku. Sekarang ibuku sudah menyusul orang yang berkata dia adalah kakakku. Pria itu mengacak-acak rambut abu-abunya dengan begitu kacau. Dia mendekat dan menggenggam tanganku lembut.
"Kau benar-benar tidak mengingatku? Aku Taehyung, sayang."
Bahkan dia memanggilku sayang.
Tapi aku benar-benar tidak tahu siapa dia. Aku hanya menggeleng lemah. Mata pria itu sudah berkaca-kaca sekarang.
Beberapa saat kemudian, Ibuku, kakakku dan seorang dokter datang. Dia mengecek keadaanku sebentar dan menyarakan melakukan MRI untuk memastikan apa ada yang salah dengan kepalaku. Sejauh ini memang didiagnosis amnesia karna tidak mengingat apapun. Setidaknya sampai hasil keluar dan lebih jelasnya apa yang terjadi.
Mereka berdua masih di sana berusaha menenangkanku. Ini terasa aneh karna memang aku tidak mengenal mereka sama sekali. Aku tidak menngingat mereka. Dan lagi wajah mereka yang benar-benar terlihat sedih.
Sampai tiba-tiba pandanganku terhenti pada satu pria yang hanya diam sedari tadi. Dia berdiri juga sambil menggigit kukunya. Menatapku dengan khawatir sama seperti yang lain.
Aku mengenalnya.
"J-jeon Jungkook?"
Suasana langsung hening seketika. Memandangku dan Jungkook secara bergantian. Terkejut bukan main.
"Kau mengenalnya? Kau mengingatnya nak?" Ibuku terlihat antusias.
Aneh memang tapi aku mengangguk.
"Kau bisa ingat Jungkook! Pasti kau juga bisa mengingat aku dan yang lain juga. Setidaknya ingat kenangan kita sayang." Pria bernama Taehyung kembali mendekat dan menggenggam tangaku erat.
"Iya, coba ingat tentang kami Ciara. Ingat tentang Kak Namjoon, Ibumu, Taehyung dan aku. Aku Jimin!" seru pria itu.
Aku membeku seketika mendengar itu. Aku memandang mereka semua yang ada di ruangan dengan tatapan aneh. Sampai tatapanku berhenti di Jungkook. Satu-satunya yang aku kenali.
Ciara?
Aku ini Kim Taeri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Have I ever ✓
Fanfiction"Who's the reason she did suicide?" Mati dan terbangun dalam asing yang tak dikenali. Praduga dalam kepala mendesak, memaksa, menerka siapa yang menjadi alasan gadis yang sekarang tubuhnya dia tempati ini bunuh diri. Kim Taeri harus mengalami itu d...