"Naraaa, lo kapan sampainya, sih?"
Pekikan itu membuat telinga Nara sedikit berdenging. Nara mengusap-usap telinganya setelah mencopot handsfree-nya lalu memasangnya kembali di telinga kanannya. Omelan seseorang di seberang sana masih terus berlanjut.
"Iya-iya, bentar lagi gue sampai, kok. Sabar dikit 'napa, sih?" Nara tertawa geli sambil memfokuskan pandangannya ke arah jalan. Bandung tidak terlalu mengalami banyak perubahan ternyata, batinnya.
"Lo masih hafal jalan di Bandung, kan? Nggak lupa sama jalan mau ke kafe yang biasa kita tongkrongin jaman SMA?" Wanita yang mengomel sedari tadi-Freine- memastikan bahwa Nara tak lupa dengan lokasi tujuannya.
Nara mendengus. "Mana mungkin lupa, Rei, orang gue kesana aja hampir tiap hari, sama geng kita pula." Freine menyambut jawaban Nara dengan tawa kegelian.
"Bagus, bagus, kalo gitu. Kalo lo sampai jam 8 gak sampai-sampai juga, gue bakal lapor ke kantor polisi terdekat dan buat laporan tentang hilangnya lo secara misterius." Ujar Freine dramatis. Nara yang mendengar itu hanya memutar kedua bola matanya.
"Ya, ya, ya. Udah ya, ngobrolnya lanjut nanti. Kalo kita kelamaan ngobrol di telfon yang ada gue gak sampai-sampai." "Kenapa emang gak sampai-sampai, Ra?" "Karena gue fokus telfonan sama lo, Nyet!"
Cekikian Freine membuat Nara semakin kesal. "Yaudah, gue tutup, ya. Ingat ancaman gue. See you, Nara sayang!" Freine lalu memutus panggilan telfon terlebih dahulu. Nara menghela nafas lalu melepas handsfree dari telinga kanannya.
Nara membelokkan stir mobilnya ke kiri, lalu berhenti tepat di depan sebuah kafe terkenal. Star Cafe, ia mengeja nama kafe yang tertera di papan nama. Nara menghembuskan nafas lega, untung saja ia tidak tersesat. Ingatannya yang kuat masih bisa dibanggakan.
Begitu Nara memarkirkan mobilnya ke tempat parkir yang tersedia, dirinya langsung keluar dari mobil setelah mengunci pintu mobil. Ia menenteng tas selempang berwarna biru muda buatan produk ternama.
Nara merogoh ponselnya di dalam tas lalu menekan speed dial nomor 4 dan menempelkan ponselnya ke telinga kiri. Terdengar nada sambung sesaat sebelum telfon itu diangkat.
"Halo? Gue udah sampai, kalian di meja nomor berapa?" tanya Nara tanpa basa-basi terlebih dahulu. Nara menelfon sambil berjalan memasuki kafe minimalis yang sedang ramai mengingat ia datang di saat jam makan malam dan pada malam Minggu juga pula.
"Nomor 20? Oke-oke, gue tanya waiter-nya dulu, ya. Takut nyasar gue." Nara menutup telfon secara sepihak lalu bertanya kepada salah satu waiter yang berdiri di dekat pintu. "Maaf, saya mau tanya, letak meja nomor 20 ada dimana ya?" Waiter perempuan yang bernama Rina itu tersenyum sopan lalu berkata "Mari, ikuti saya, Mbak."
Nara menganggukan kepalanya lalu mengikuti langkah Rina menuju meja yang sudah dipesan oleh teman-temannya, khusus untuk acara reuni tahunan malam ini.
"Silahkan, Mbak." Rina mengantarkan Nara ke salah satu bagian dari kafe itu yang ternyata adalah bagian outdoor atau biasa digunakan untuk free smoking area. Nara mengamati sekeliling lalu menemukan Freine dan beberapa teman-temannya yang sudah berkumpul duluan.
Sekilas ia dapat melihat Freine melambaikan tangan ke arahnya. Nara tersenyum kepada Rina. "Makasih, ya, Mbak." Rina menunduk hormat dan berlalu pergi.
Nara, dengan langkah percaya dirinya, menuju meja yang sudah dipenuhi oleh teman-teman semasa SMA-nya dulu. Riuh tawa mereka terdengar seperti melodi di indera pendengarannya. Namun, sebelum dirinya mencapai meja, ada sesuatu yang membuat dirinya mendadak mematung. Wajahnya berubah menjadi seputih kertas.
"Dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Holding Souls
Teen FictionApa yang akan kau pikirkan ketika kau mengetahui bahwa aku memiliki 2 jiwa yang berbeda? Yang takkan pernah kau sangka sama sekali? Mungkin kau mengenal dan menjalin hubungan yang erat dengan salah satu jiwaku, tetapi apakah kau bisa mengenali jiwak...