#Day2 : My Color? Black

505 17 0
                                    

"Kamu gila beneran, Em!" kata Nesya saat mereka memasuki mobil Nissan March Emma. Nesya langsung menyandarkan tubuhkan, sedangkan Emma menenggelamkan wajahnya di balik kemudi. Mencoba menahan tawa mereka yang terus mencoba keluar sejak mereka meninggalkan restaurant itu dan 'mantan-tunangan' Emma yang menatap mereka dengan tatapan tidak percaya. 

"Kalau nggak seekstrem ini, dia nggak akan ngebatalin pertunangan dan yang ada malah pertunangan ini akan berlanjut. Siapa tau Bunda bilang ke dia kalau aku cuma bercanda. Kalau ada kamu kan semuanya beres," jawab Emma di sela-sela tawanya yang tak tertahan. 

"Dia ganteng tau, Em," kata Nesya. 

"Mau ganteng apa enggak, aku nggak tertarik," 

Nesya hanya bisa menggelengkan kepala mendengarkan jawaban dari sahabatnya ini. Sudah sejak lama mereka saling mengenal dan dengan sangat mudah mereka bisa saling membaca ekspresi masing-masing. Seperti saat ini, saat Emma tertawa di balik kemudinya karena kelakuan yang baru saja dilakukannya pada 'mantan-tunangannya' itu, Nesya tahu bahwa sesunggunya Emma tidak bermaksud melakukannya sampai sejauh ini. Emma hanya ingin semua berjalan seperti apa yang dia inginkan. Bukan sebuah skenario yang telah diatur oleh Bundanya dan dia hanya perlu menjalankannya. Cukup keputusan Bundanya untuk memasukkan Emma ke dalam sekolah kedokteran saja yang Emma tolerir, meski juga harus menggunakan perjuangan yang sangat pelik. 

Pada awalnya Emma tidak pernah ingin masuk ke dalam dunia medis yang menurut sebagian orang merupakan sebuah pekerjaan mulia. Pekerjaan bagi para priyayi. Emma sudah muak dengan semua omong kosong itu. Profesi itu hanya seperti masker dari semua keburukan yang Emma alami selama kehidupannya. Jika dulu kedua orang tuanya bukanlah seorang dokter dan terlalu sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing, semua kesialan ini tidak akan terjadi. 

Kembali pada permasalahan awal, semua tawa gila mereka ini berawal dari kemunculan Nesya di makan malam Emma dan 'Andro' tadi. Saat keduanya sedang asyik mengobrol dan menimati makanan mereka, tiba-tiba saja Nesya datang dan langsung menarik Emma berdiri. 

"Baby! Jadi ini yang selama ini kamu lakukan di belakangku? Berkencan dengan laki-laki seperti dia? Aku bahkan tidak yakin dia bisa memuaskamu! Lihat saja dia seperti ini!" kata Nesya yang langsung membuat 'Andro' terkejut dan Emma menunduk karena berusaha menahan tawa. 

"Apa?" tanya 'Andro' saat mendengar kata-kata Nesya. Dia langsung menoleh ke arah Emma, sorot matanya meminta penjelasan, seolah meminta Emma mengatakan bahwa semua ini hanya lelucon yang sedang dia buat. 

"Baby..," kata Emma lirih, "Sorry, Bunda yang telah mengatur semua ini," 

Nesya tertawa dengan nada mengejek dan kemudian menoleh kepada 'Andro', "Jangan pernah mengganggu Emma. Berpikir untuk mendekatinya pun jangan pernah. Jika kamu tidak ingin berurusan denganku," kata Nesya dan kemudian dia menarik Emma keluar. Meninggalkan 'Andro' yang masih terdiam dan bingung dengan adegan yang baru saja terjadi di depannya. 

"Sumpah ya.. tu cowok ganteng sebenernya," kata Nesya setelah tawanya reda, "Kenapa kamu nggak mau, sih?" 

Emma menegakkan tubuhnya dan mulai menyalakan mobilnya. Meninggalkan restaurant itu dan pergi menuju ke rumah Nesya. 

"Ganteng nggak cukup buat aku, Sya," jawab Emma tanpa mengalihkan pandangannya dari hiruk pikuk jalanan malam hari kota Jogjakarta di depan mereka.  

"I know," kata Nesya sambil memandangi handphone-nya, "Jadi sekarang gimana? Mau pulang atau nginep di rumahku? Atau kamu mau ke Solo? Ke tempat Mas Ditto? Atau kita ke Semarang? Ke tempat Mas Dimas?" 

Emma menoleh sekilas saat mendengar nada excited dari sahabatnya itu dan hanya tersenyum sekilas. Tidak mungkin dia akan pergi ke tempat kedua kakaknya itu. Mereka sedang sibuk dan sebentar lagi semester baru akan dimulai. 

Today, Yesterday, and TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang