Selamat Membaca
"Man in his laughter"
Lima menit..
Sepuluh menit...
Lima belas menit....
Yap sudah lima belas menit berlalu sejak pesan terakhir dibalas. Tapi cowok berambut hitam spike itu belum juga mendapatkan balasan. Ia duduk bersila di atas kursi meja makan dengan kedua tangan menangkup pipinya. Matanya intens memandangi layar ponsel yang setiap 30 detik berubah hitam. Menunggu.
Ryan bangkit menuju lemari es di sudut dapur. Menyerah? Tentu saja tidak. Cowok itu tidak akan menyerah menunggu balasan darinya. Sekarang ini ia hanya ingin mencari penghilang rasa bosannya. Dibukanya pintu kulkas bawah mencari sesuatu yang bisa dicerna perutnya.
Ryan sedikit menunduk untuk melihat isi kulkasnya. Tidak ada yang menarik. Kemudian ditutupnya lagi, beralih ke frezeer. Sensasi dingin menyambutnya. Belum lagi matanya seketika dimanjakan surga didalamnya.
Es krim.
Senyum manis tercetak jelas pada wajahnya. Ia mengambil satu, tidak dua es krim. Satu es krim stik bergambar singa rasa cokelat dan satunya lagi es krim yang iklannya ada taylor swift rasa red velvet. Tapi tunggu, cowok itu melirik lagi kedalam kulkas. Es krim yang ada dalam kotak itu lebih menggiurkan.
"Kalo gue makan yang kotak kayaknya lebih untung, kotaknya gede isinya pasti banyak," Ryan menaruh dua es krimnya di atas kulkas. Beralih mengambil es krim kotak itu.
"Eh tapi kan rasanya cokelat doang mending kan yang segitiga udah rasa red velvet, ad wafer nya ujungnya coklat lagi," ucapnya lagi bingung harus memilih yang mana.
Tring
Suara notifikasi handphonenya membuat Ryan sadar. Lantas berlari secepat kilat meninggalkan es krimnya yang sudah terkapar mengenaskan di atas lantai. Ia menggeser layar hpnya dan membuka pesan yang sejak 25 menit yang lalu ia tunggu- tunggu.
From: bee❤
Iya
Cukup lama jari Ryan berhenti di atas keybord hpnya. Balasan darinya tidak sesuai dengan yang Ryan harapkan. Ia menghembuskan nafas pelan. Haruskah ia marah? Ryan hanya bertanya apakah pacarnya itu benar- benar jalan dengan laki- laki lain. Dan jawabannya hanya iya tanpa penjelasan lebih lanjut. Tapi apakah Ryan harus mengirimi gadis itu dengan pesan spam menandakan kalau ia marah? Tidak bagaimana kalau dia sedang sibuk? Bagaimana kalau gadisnya itu akan terganggu? Ah Ryan mengacak- acak rambutnya frustasi.
"Waduh den ini kenapa es krim di buang di lantai. Bibik baru selesai ngepel. Astaga aden," suara barongsai entah datangnya darimana mengagetkan Ryan.
Ryan terperanjat ketika sebuah tangan menarik telinganya tinggi- tinggi. Sakit.
"Aduh- aduh sakit bik. Telinganya Ryan udah besar jangan tambah besarin lagi entar kayak kuping gajah," pekiknya kesakitan. Ryan tahu Bi Mina akan marah besar. Tapi ia tidak pernah menduga pembantunya itu akan datang secepat the flash. Padahal jarak antara meja makan dengan kulkas itu cukup jauh.
"Aden kan yang jatuhin es krimnya. Bibik udah cape- cape ngepel terus tanpa dosa aden nodain," Bi Mina berteriak tepat di telinga Ryan, membuatnya mengumpat sejadi- jadinya. Dalam hati tapi.
"Ye bukan Ryan kok. Main nuduh sembarangan," Ryan menyangkal lalu memasang tampang sok marah. Pembohong.
"Beneran?" Bi Mina menelisik wajah majikannya itu dengan ekspresi merasa bersalah.
"Beneran lah," jawab Ryan cepat tanpa menoleh. "Ih maaf den, eh tapi kalau bukan aden siapa lagi dong yang jatuhin?" tanyanya sambil membersihkan kotoran es krim yang ada di lantai.
"Kucing kali," jawab Ryan asal tanpa menyadari perkataannya. Ia sedang sibuk mengetik pesan balasan untuk pacarnya itu. Dan dengan bodohnya juga pembantunya tidak menyadari perkataan Ryan. "Emangnya kucing bisa buka kulkas?"
Suara mobil terparkir terdengar dari luar rumah. Baik Ryan dan pembantunya keduanya menoleh.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Ryan menggebrak meja makan lalu berlari terbirit- birit ke arah ruang tamu. Cowok itu langsung meloncat ke sofa. Membuka buku dan menaruh pulpen di sela- sela telinganya.
Pintu terbuka. Hening.
Seorang pria berjas yang umurnya mungkin 50-an berdiri di ambang pintu. Sejenak ia memperhatikan seisi rumah juga matanya menangkap kepala Ryan yang sedang tiduran di sofa sambil membaca buku. Pura- pura.
Pria itu melenggang pergi ke ruangan kerjanya tanpa menyapa Ryan. Raut mukanya datar seolah tidak peduli.
"Ah lega!!!" Ryan menghembuskan nafas dalam- dalam setelah pintu ruang kerja papanya di tutup. Rasanya tadi ia seperti sedang menahan nafas.
Ryan beralih mencari ponselnya. Pesan yang tadi baru setengah ia ketik. Dan betapa terkejutnya Ryan ketika pesan panjang yang susah payah ia ketik bak surat permintaan maaf. Malah berubah menjadi emoticon cony lagi kentut. Sudah terkirim. 3x.
"What?"
Apa lagi ini? Tulisan read tertera jelas di samping emoticon.
"Ahshit,"
***
Terimakasih telah membaca cerita ini

KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling You
Roman pour AdolescentsSetiap orang punya hak untuk mencintai dan dicintai - Feeling You - Update setiap Kamis dan Minggu