Selamat Membaca
"Beautiful woman in the dark"
Sudah untuk kedua kalinya bus kota berhenti dan keempat kalinya angkot yang lewat membunyikan klaksonnya di depan gadis berseragam SMA itu.
Entah untuk apa ia duduk di halte kalau bukan untuk mencari angkutan umum. Padahal jam pulang anak SMA pada umumnya sudah terlampau lebih dari tiga jam yang lalu. Tapi tetap saja gadis itu sepertinya enggan beranjak dari duduknya.
Denting suara handphonenya berbunyi. Dengan cepat ia mengusap layar kaca itu lalu membaca isi pesan didalamnya. Mungkin pesan itu berefek padanya. Terbukti sekarang sebuah senyum terlukis indah pada wajahnya yang sebelumnya datar. Sedatar tripleks.
Jihan mengetuk- ngetukkan sepatunya di jalanan aspal licin. Mungkin siang tadi hujan turun. Entah, Jihan tidak tahu seharian dia hanya duduk di kelasnya. Ruang kelas tertutup yang sangat pengap namun terselamatkan karena dua buah ac terpajang cantik disana. Tidak sampai sepuluh menit setelah pesan diponselnya. Sebuah mobil terparkir tepat di depan gadis itu. Setengah dari kaca mobil itu turun menampakkan laki- laki yang lebih dewasa darinya. Ia menatap Jihan tajam seolah sedang melihat musuh.
Jihan beranjak dari duduknya tidak merespon tatapan Zio. Ia berjalan mengitari mobil lalu duduk tepat di sebelah laki- laki itu.
Hening Jihan sudah memejamkan matanya sedangkan Zio sepertinya sedang menunggu adiknya itu bicara.
"Lo gak ada niatan bilang apa gitu? Maaf kakak, terima kasih abangku udah jemput adek walaupun harus ninggalin rapat ospek super penting demi adek," Zio akhirnya bersuara setelah sepuluh menit menunggu adiknya mengatakan sesuatu. Nihil.
Gadis itu bergerak tapi bukan untuk meladeni kakaknya melainkan mencari posisi nyaman untuk tidurnya. "Jalan,"
"Apa? lo gak minta maaf gak terimakasih tapi malah nyuruh gue? Gak gue gak bakal jalan sampe lo mengucapkan salah satu dari kata yang gue minta," Zio mematikan mesin mobilnya merajuk.
"Maaf," ucapnya masih dengan posisi tidur.
"Gak mau gue, lo gak iklas. Pasang muka puppy eyes mungkin bakal gue pertimbangkan," tawarnya tanpa menoleh pada adiknya.
Hening tidak ada respon di kursi sebelah dari perkataannya barusan. Sayup- sayup terdengar suara hembusan nafas halus. Laki- laki itu menoleh menemukan malaikat kecil tengah tertidur disampingnya.
Sejak kapan? Sejak kapan terakhir kalinya Zio dapat melihat wajah damai adiknya. Setelah bertahun- tahun yang dia tunjukkan hanya muka datar, menyaingi datarnya tripleks. Zio menghembuskan nafas kasar, menyerah.
Tidak sampai lima detik sampai di rumahnya. Gadis itu sudah melenggang pergi memasuki rumah. Bahkan sebelum mobilnya benar- benar berhenti Jihan sudah membuka pintu mobil lalu turun. Lagi- lagi sikap seperti itu yang ditunjukkan padanya .Zio merasa tidak dihargai sebagai seorang kakak.
Belum sempat kaki Jihan menginjak anak tangga Zio telah terlebih dahulu menarik kasar tangannya. Membuat Jihan sedikit terhuyung ke belakang karena gerakan mendadak. Ia tersentak kaget tapi mulutnya tetap tidak bersuara. Ekspresi dan lebih kepada matanya yang seolah- olah bertanya kenapa?
"Lo gak punya mulut ya. Gak bisa ngomong ada apa kak?"
Hening gadis itu hanya menunggu kelanjutan dari runtutan omelan kakaknya. Berulang- ulang dan sudah terlalu biasa situasi ini terjadi.
"Gue cape hadepin sikap lo yang kayak begini. Diem aja berasa gak punya mulut. Lo bisu? Gak kan? Lebih baik lo ngomel dari a sampe z karna masakan gue gak enak, gangguin gue pas main ps, marahin gue karna ngestalk ig lo, ngejekin gue karna ketahuan mama pacaran. Kayak dulu," suaranya meredup di akhir kalimat. Akhirnya kata- kata yang sejak tadi tersendat dalam hatinya keluar. Tidak tahan lagi.
"Gue pernah salah apa sih sama lo? Segitunya sikap lo ke gue," tanya Zio masih mencengkram bahu adiknya.
"Lo berubah. Sejak kapan sih adik gue yang ceria, suka ngomel, dan suka gangguin gue itu jadi pendiem kek gini. Hah," Zio menggoyang- goyangkan tubuh adiknya itu. Tapi gadis itu tidak bergeming, tetap datar. Sesekali ia menepis tangan kakaknya yang mencengkram erat bahunya.
"Sejak lo hilang hari itu. Lo berubah,"
Akhirnya adegan wajah kaku itu berubah, Jihan melotot kaget.
Jangan ungkit hari itu lagi.
"Abang!!! kamu apain adikmu?" suara perempuan paruh baya menggelegar menyita sejenak perhatian keduanya.
Tidak ingin menyia- nyiakan kesempatan Jihan menepis tangan Zio lalu mendorongnya menjauh. Gadis itu berlari menaiki anak tangga. Sekuat tenaga tidak peduli kakinya bergetar lemah sedari tadi. Tidak peduli kakaknya mengumpat dengan kata- kata kasar tertahankan. Karena ada mama.
"Jihan gue belum selesai ngomong," Zio ikut mengejar.
"Bang sebenarnya ini ada apa?" mama semakin bingung.
"Jihan!!!"
"Jihan!!!"
Brakk!!!
Tepat selangkah sebelum Zio bisa menggapai tangan Jihan. Pintu kamar telah terlebih dulu tertutup rapat. Tak menyisakan celah sedikitpun untuk Zio masuk.
"Jihan!!" Zio menggedor kamar adiknya kesal.
Hening tidak ada jawaban.
"Han gue cuma mau lo cerita masalah lo. Setidaknya buat gue berguna jadi kakak lo. Kenapa sih lo harus berubah sejauh ini?" Suara itu teramat jelas dapat Jihan dengar karena posisinya yang berada tepat di balik pintu.
Ketukan dipintunya melemah lalu menghilang seiring suara kaki yang terdengar menuruni tangga. Jihan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya. Ia terisak sambil memukul- mukul kepalanya
"Kenapa gue berubah? Kenapa?,"***
Terimakasih telah membaca cerita ini

KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling You
Novela JuvenilSetiap orang punya hak untuk mencintai dan dicintai - Feeling You - Update setiap Kamis dan Minggu