Peluang dan Harapan

51 4 1
                                    

Avia lebih sering menyendiri di kamar sekarang, waktunya ia habiskan untuk bermain gitar. Avia juga akhir-akhir ini jarang pergi ke tepi danau. Sudah seminggu berlalu kalimat itu masih terngiang jelas di telinga Avia, kalimat yang di ucapkan Dava di tepi danau kala itu "kenapa lo gak cari bokap lo?".

Tok~tok~tok

"Aviaaa" teriak seseorang diluar sana yang tak lain adalah suara Bu Aida.

"Iyaa Bu" Avia berjalan mendekati pintu dan memutar kenop pintu itu.

"Di luar ada nak Dava cari kamu" ucap Bu Aida, lalu pergi berlalu ke arah barat yaitu dapur.

"Dava?" ucapnya pelan. Avia berjalan menuju pintu depan panti langkahnya pelan.

"Dava, Ada apa?" Avia bingung dengan kedatangan Dava tiba-tiba.

"Hai Vi" Dava mendekati Avia. "Gue udah sering bolak-balik ke danau tiap hari, gue kira lo ada disana." lanjutnya.

Avia terdiam beberapa saat lalu mendekati posisi kursi di teras depan. Dava mengikuti Avia dan duduk di kursi yang berada di samping kiri kursi Avia.

"Aku terus kepikiran ucapan kamu Dav" ucap Avia dengan nada bicara yang memelan.

Dava mengangkat satu alisnya, bingung. Mencoba memahami perkataan Avia dengan mengingat apa saja yang pernah di ucapkannya.

"Ucapan gue? Yang mana?"

"Tentang ayah aku, kamu bener kenapa aku gak cari ayah aku aja" ucap Avia. "Jujur, aku kangen banget sama ayah. Kamu mau bantu aku buat cari ayah?"

"Gue minta maaf kalo ucapan gue malah bikin lo kepikiran." Dava menundukan kepalanya merasa bersalah. "Gue pasti bantu lo kok" tangan Dava menggenggam hangat tangan Avia.

Avia menjatuhkan air matanya, Dava yang melihat Avia menangis dengan sigap menyeka air mata Avia dengan tangannya.

"Lo jangan sedih ataupun nangis, gue bakalan bantu lo buat cari bokap lo" ucap Dava sedikit membantu menenangkan Avia.

***

Malam yang dingin tak mengusik jiwa Avia, seolah sudah mati rasa. Di pikirannya hanya ada tentang sosok ayah yang dirindukan Avia. Bu Aida hendak mengunci pintu ketika tersadar Avia masih berada di teras panti, Bu Aida menghampirinya.

"Avia kamu sedang apa nak, ini sudah larut malam" ucap Bu Aida memegang bahu Avia.

"Bu, Avia kangen sama ayah, ayah lagi apa ya? Apa ayah kangen juga sama Avia?" ujar Avia.

Bu Aida hanya terdiam, sudah lama ia menyimpan rahasia jika dia tau alamat ayahnya Avia, namun melihat kondisi Avia yang tidak bisa melihat Bu Aida memilih untuk tidak memberitahu mungkin lebih tepatnya menunggu waktu yang tepat.

"Bu, besok Avia mau izin keluar, Avia pengen cari Ayah" lanjut Avia.

"Bandung ini kota yang luas nak, ibu khawatir sama kamu apalagi dengan kondisi kamu seperti ini. Sebaiknya jangan nak, nanti suatu saat Allah juga pasti mempertemukan kamu sama Ayah kamu." larang Bu Aida.

"Bu, kalo Avia gak berusaha peluang Avia ketemu ayah kecil bu." ujar Avia tetap kukuh ingin bertemu ayahnya. "Avia gak pergi sendiri kok, Avia pergi sama Dava." lanjutnya.

"Baiklah nak" ucap Bu Aida pasrah, mengizinkan Avia.

Mungkin ini waktu yang tepat untuk Bu Aida memberi tahu yang sebenarnya.

Esoknya Avia sudah bersiap untuk mencari Ayahnya, dia tengah duduk di kursi teras depan menunggu Dava untuk menjemputnya.

Tak lama dari itu Dava datang, Avia sudah mengetahuinya dari aroma parfum khas milik Dava.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Dava.

Avia mengangguk. Seperti biasa Dava menuntun Avia untuk memudahkan jalannya.

"Tunggu!!!" tahan seseorang berteriak dari belakang. Dava menoleh, di dapatinya bu Aida membawa secarik kertas dan menghampiri Dava dan Avia.

"Semoga ini bisa membantu kalian, ini alamat rumah Ayahnya Avia" Bu Aida memberikan kertas itu, "Avia maaf nak ibu baru memberitahunya sekarang" tuturnya lagi menggenggam lembut tangan Avia.

"Iya bu gapapa" Avia tersenyum. "Makasih ya bu" Avia memeluk Bu Aida.

"Hati-hati ya sayang" ucapan Bu Aida menghantarkan Dava dan Avia pergi.

Peluang Avia untuk bertemu ayahnya terbuka lebar, Avia berharap ayahnya masih tinggal di alamat tersebut. Avia yakin jika ayahnya juga pasti merindukannya.

Blind GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang