Perpisahan

41 1 0
                                    

Hari demi hari telah Avia lewati dengan kehadiran sosok baru yang dulu pernah pergi dari dirinya. Ya! Sosok baru itu adalah Gintara yang tak lain ayah Avia. Sudah hampir satu bulan ini Avia bulak balik antara panti dan rumah Gintara, dan hari ini, Avia akan pergi dari panti dan menetap tinggal bersama ayahnya. Hal ini telah ia pikirkan lama, namun baru saat ini dia menetapkan keputusannya.

Avia mengemasi baju dan barangnya di bantu oleh Risna sahabatnya dan juga kak Tia.

"Kita jadi bakalan jarang ketemu setelah ini" Risna menghentikan kegiatannya dan duduk di tepi ranjang Avia.

Kak Tia menghampiri Avia, kedua tangannya mendarat tepat dipundak Avia "Kak Tia mau kamu janji bakalan sering datang kesini ya Vi".

"Avia usahain nanti kak"

Tia tersenyum sekejap kepada Avia tak lama dari itu dia langsung memeluk erat Avia.

"Ikutan dong" Risna menghampiri keduanya, dan juga ikut memeluk mereka.

Cukup lama mereka berpelukan sampai pada akhirnya seorang wanita paruh baya yang mengenakan jilbab berwarna merah menghampiri mereka.

"Pak Gintara sudah menunggu di depan" ucapnya membantu mengemas barang Avia, menyadarkan ketiga gadis itu harus mempercepat kegiatannya dan mulai kembali mengemas barang milik Avia.

"Sudah siap?" tanya Gintara berdiri di dekat mobil hitam miliknya ketika melihat Avia datang bersama para anak panti, Kak Tia, dan Bu Aida.

Avia mengangguk pelan dan tersenyum, ada kepahitan di balik kebahagiaannya. Satu sisi dia bahagia bisa kembali bersama ayahnya, satu sisi Avia juga sedih dia harus berpisah dengan keluarga panti.

"Kak Avia hati-hati ya disana" ucap Dea di ikuti dengan tubuhnya yang mendekat kepada Avia dan memeluk Avia dari pinggir.

"Jangan lupain kita kak" Jeri dan Ciko memeluk Avia juga.

Avia tersenyum namun dibarengi dengan tetesan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Kini semua anak panti dan juga kak Tia memeluk Avia, kecuali gadis kecil dengan rambut yang di ikat dua dan boneka beruang yang di pegangnya. Dia Shelin! Langkahnya malah menjauh mundur ke arah belakang, mata kecilnya yang menahan sebongkah air mata. Shelin berbalik berlari menuju halaman belakang, Bu Aida yang menyadari larinya Shelin segera mengejarnya.

Suara tangisan Shelin semakin terdengar lebih dekat oleh Bu Aida, di lihatnya gadis kecil itu menangis membelakangi Bu Aida yang tak dia sadari ada didekatnya.

"Shelin"

Perlahan Bu Aida mendekati Shelin, Bu Aida memanggilnya hati-hati.

"Shelin sayang"

Panggilnya sekali lagi, respon dari Shelin hanya terus menangis malah semakin kencang.

"Kenapa Kak Avia mau pergi dari panti, dulu kak Avia pernah janji gak bakalan ninggalin Shelin" ucapnya tetap membelakangi Bu Aida dan tetap menangis, bonekanya ia peluk erat.

Bu Aida coba mengerti maksud Shelin, dia semakin mendekati Shelin dan sekarang tepat berada di samping Shelin sedikit berjongkok menyetarakan tingginya dengan Shelin.

Dilihatnya Shelin dari samping, dia masih menangis sesekali dia mengusap air matanya dengan tangan mungilnya.

"Shelin kenapa harus sedih nak, Harusnya Shelin ikut bahagia" kini Bu Aida dan Shelim berhadapan. "Shelin sayang nak, sama kak Avia?" mendengar itu Shelin mengangguk dengan yakin.

"Kak Avia sekarang bertemu dengan ayah kandungnya, dan pasti Kak Avia seneng, kalo Shelin bener sayang sama Kak Avia pasti Shelin ikut seneng kan?" untuk kedua kalinya Shelin mengangguk, tangisnya perlahan mereda.

Shelin menunduk melihat bonekanya, lalu menatap Bu Aida, "Kak Avia pasti lupa sama Shelin nanti kalo Kak Avia pergi"

"Shelin sayang, Kak Avia juga sayang sama Shelin, gak mungkin Kak Avia lupa sama Shelin." Bu Aida terus meyakinkan Shelin.

Lalu dia beranjak dari posisinya sekarang yg berjongkok di hadapan Shelin.

"Ayo nak, Shelin kan anak pinter"

Bu Aida dan Shelin kembali ke halaman depan panti, disana para anak panti tengah membantu menaikan koper Avia ke mobil Gintara.

"Kak Avia"

Teriak Shelin dari kejauhan, Avia menolah kearah suara. Shelin berlari dan segera memeluk Avia, lagi-lagi ia menangis.

Shelin!

"Kak Avia jangan pergi, jangan tinggalin Shelin kak. Shelin gamau jauh dari Kak Avia" ucapnya dibarengi dengan isak tangisnya sesekali.

Avia tak bisa memenuhi permintaan Shelin kali ini. Bukan karena egois, tapi mungkin sudah saatnya melepaskan sesuatu, kini kesempatan Avia untuk bersama ayahnya di depan mata, keinginan sedari dulu kini sudah terjadi, tapi untuk sesuatu itu harus ada yang dilepaskan harus ada yang ditinggalkan meski ia tau tak untuk selamanya.

"Kak Avia bakal sering datang kesini kok"

"Ekhem" deham Gintara mengisyaratkan Avia untuk segera masuk ke mobil, Shelin melepaskan pelukannya dan memberikan boneka beruang yang sedari tadi ia genggam. Avia berjalan hati-hati menuju mobil.

Mobil melaju sudah sangat jauh meninggalkan panti, boneka itu sudah berpindah tangan dari Shelin pada Avia. Keheningan sepanjang perjalanan yang terjadi di mobil itu. Diam dan terus diam Avia tak memulai pembicaraan seperti biasanya karena kini pikirannya tertuju pada keluarga panti.

Apa ia sanggup berpisah dengan mereka?
Tapi apa harus dia membuang kesempatan yang jelas-jelas ada dihadapannya sekarang?

Blind GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang