Seperti kemarin, aku menunggu Gio di depan Citos sampai dia menjemputku. Aku benar-benar gak nyangka ada cowok seperti dia di muka bumi ini. Bisa-bisanya dia bersikap sangat munafik. Hari ini bawaanku agak banyak, dan di depan banyak orang dia membawakan semua buku dan handbagku,tapi begitu sepi dia langsung mengembalikannya padaku dengan kasarnya. Ih!
Aku jarang-jarang nih telat begini, Gio lama banget sih! Jadi kena macet kan. Begitu kelas sudah di depan mata,Gio kembali mengambil buku dan handbagku dengan kasar. Astaga kenapa banget sih nih makhluk?
Deg. Mataku dengan mata Dimas bertemu. Aku refleks menunduk karnanya, namun aku masih merasakan kalau dia masih melihatku. Dengan tatapan yang tajam,lebih tajam dari golok yang sudah di asah tujuh hari tujuh malam. Ha-ha!
"Disini Yo!" ah aku kenal sekali suara itu. Suara Gibang.
Langkahku terhenti, begitu tahu kalau Gibang menunjuk tempat duduk di depannya. Bukan karna aku duduk di depannya, tapi chairmate Gibang yang gak lain gak bukan adalah Dimas.
Gio merangkulku. Pasti dia mengerti situasi ini, tapi aku benar-benar gerah dengan tangannya!
Aduh rasanya sekujur badanku panas banget, membayangkan kalau kini Dimas duduk di belakangku persis. Gio sengaja memilih duduk di depan Gibang. Maunya apa sih!?
Pasti keinginanku berbeda sekali dengan teman-teman sekelasku. Pasti mereka senang dengan keadaan dimana gurunya gak ada, tapi yang kuinginkan adalah supaya gurunya cepat datang. Dari tadi Gio sudah nyolek-nyolek supaya aku ikut ngobrol sama dia dan Gibang. Aku gak mau nurut,gila apa? Sama aja aku harus menghadap ke Dimas dong!
"Inget ya lo, gue bakal ikut ekskul basket disini. Jadi mulai besok lo harus nungguin gue sampe kelar ekskul di hall, gak boleh kemana-mana. Baru kita pulang bareng" kata Gio kemudian melahap bakso kantin sekolahku. Kami berdua sedang duduk di kantin. Aku punya feeling, kalau jam istirahatku di sekolah juga bakalan selalu bersama dengan Gio sepanjang tahun.
"Apa? Ih ekskul basket kan sampe jam enam sore. Lo gila apa gue nungguin elo di hall sampe jam enam sore kayak sapi cengo"
"Ya bodo amat kalo elo mau jadi sapi cengo. Itu sih urusan lo, yang penting lo inget jasa gue ke elo. Lima belas juta"
Aku sudah gak selera makan, sekarang rasanya aku ingin mecahin gelas berisi jus alpukat di depanku ini. "Lima belas juta sih lima belas juta, tapi bisa kan tangan lo gak macem-macem? Lo sendiri bilang gak bakal macem-macem? Kan gue bukan tipe lo banget!"
Gio menoleh, tatapannya tajam. Dia merangkulku, "Hehe ngambekan banget sih yang!" dia tersenyum sok manis lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Lo apa-apaan sih? Ngomong ngalahin toak! Sengaja mau semua orang tahu!?"
"Maaf"
Gio mengelus-ngelus rambutku sambil tersenyum manis. "Aku kan cuma bercanda" lalu kini dia mencubitku pelan. Aku tahu banget dia begini,karna memang sedari tadi kami menjadi curian mata orang-orang. Dia mendekatkan bibirnya lagi ke telingaku, "Heh lo gak usah kegeeran, gue emang pernah megang-megang lo pake nafsu? Gue juga megangnya pelan banget kan? Gue rasa lo bisa bedain. Sekarang lo sok-sok ketawa"
"Ha-ha" aku menatapnya kesal.
Dia menoyolku. "Nyolot banget sih kamu yaaangg" dia pun melanjutkan makannya lagi.
Astaga. Aku bakal melalukan hal seperti ini selama setahuuuuuuuun. Aaaaaargh!
IIIIIII
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Lima Belas Juta (END)
Novela JuvenilKehidupan Kanya sebagai remaja berumur 15 tahun yang semula mulus-mulus berubah menjadi complicated semenjak insiden Kanya memecahkan guci seharga 15 Juta. Selama setahun, dia harus menjadi pacar Gio, si ganteng yang digilai banyak cewek-cewek cant...