Aku menyukai Gio. Ya aku yakin sekali dengan perasaanku ini. Mungkin ini yang sering dibilang cinta datang karna terbiasa. Aku tahu ini tidak boleh.Aku tahu ini salah banget. Tapi aku tidak bisa menghindarinya. Rasa suka itu datang pelan-pelan,namun pasti. Di tambah dengan perubahan sikap Gio yang makin lama makin membaik,aku semakin menyukainya. Aku tahu,kemungkinan besar rasa sukaku tidak terbalas. Tapi entah kenapa aku berharap sekali pada kemungkinan kecil bahwa Gio juga menyukaiku.
Enggak. Aku gak boleh begini. Ada satu orang yang begitu baik mau menungguku. Walau sekarang rasa sayangku pada orang itu sudah makin lenyap,tapi aku harus berusaha menyukainya lagi nanti. Aku harus menyukai Dimas lagi. Semoga perasaanku pada Gio ini hanya sesaat,ketika kami putus,rasa itu akan hilang. Amin.
"Seat belt,Nya" kata Gio ramah. Ya dia memang sudah berubah. Memang sih sekali-kali dia pernah membentakku. Tapi itu sudah jaraaang sekali. Omongannya sudah selayaknya orang biasa. Bahkan terkadang jadi ramah sekali seperti barusan.
Hari ini kami sudah mulai masuk sekolah lagi. Aku melihat jam,tumben-tumbennan nih kita berangkat jam setengah enam. Biasanya kan siang banget. "Tumben berangkat jam segini?"
"Hari ini kan hari pertama kali masuk,pasti macet banget. Lagian gue udah mutusin nih mau berangkat pagi tiap hari. Capek banget kalo macet"
"Oh gitu. Bagus deh" aku tersenyum padanya,dan dia membalas. Astagaaaa,semoga pipiku tadi gak merah.
Sekolah masih sepi sekali. Di kelaspun baru kami yang datang. Sementara Gio sedang menyalin PR. Aku keluar. Aku melihat langit yang sangat gelap. Kemudian hujan turun perlahan-lahan namun sangat deras. Aku jadi ingat kedua orang tuaku. Apa kabar ya mereka?Sudah empat hari mereka sama sekali gak menghubungiku. Terakhir kali,sewaktu tahun baru kemarin. Aku kangen banget sama mereka.Aku ingin seperti dulu lagi. Tinggal bersama di Jakarta. Air mataku mulai jatuh,ah aku gak suka banget nih. Tapi aku gak bisa menahannya lagi.
"Lo kenapa?"
Itu Gio. Aku menunduk lalu menggeleng. "E,enggak apa-apa"
"Bohong" Kata Gio memegang bahuku. "Kenapa sih lo?"
"Kangen..." aku sudah tersedu-sedu. "Kangen Papa-Mama..." aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Ternyata aku ini memang anak tunggal yang cengeng.
Gio menghela nafas. "Ya ampun," Dia memegang puncak kepalaku. "Tunggu bentar disini" Gio masuk ke kelas. Entah dia sedang apa.
"Kanya?Kenapa nangis?"
Deg. Itu Dimas. Aku cepat-cepat menyeka air mataku kemudian tersenyum. "Gak apa-apa,Dim. Hey gimana liburannya?"
Dimas mendekatiku. "Bohong. Dijahatin lagi sama Gio?" Dimas memegang pipi kananku.
Aku cepat-cepat menghelak. "Bukan!Cuma kangen sama..."
"Oh I see" Gio datang. Tatapannya lurus dan tajam. "Kangen Papa-Mama?Bullshit!" Gio pergi begitu saja. Dia kelihatan marah sekali.
"Gio!" seruku. Aku cepat-cepat mengejarnya namun Dimas menahanku, "Plis,Dim" aku melepas pegangan Dimas yang tidak berkata apa-apa lalu meninggalkannya. Langkah Gio cepat sekali sampai aku harus berlari. "Gio!" panggilku lagi. Dia sedang berdiri di tempat kami sering berbicara,tanpa memakai topeng kami,tanpa sandiwara. Di balkon paling pojok.
Gio membalik badannya. Dia memandangku marah. Aku tahu sekali itu. "Cih. Gue tau,Nya. Lo tuh barusan nangis bukan karna kangen bonyok lo kan?Lo kangen sama Dimas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Lima Belas Juta (END)
Novela JuvenilKehidupan Kanya sebagai remaja berumur 15 tahun yang semula mulus-mulus berubah menjadi complicated semenjak insiden Kanya memecahkan guci seharga 15 Juta. Selama setahun, dia harus menjadi pacar Gio, si ganteng yang digilai banyak cewek-cewek cant...