Lima

2.2K 259 71
                                    

Gemericik suara hujan terdengar mengalun deras dari luar. Hari sudah semakin malam dan arah jarum jam kini sudah mulai bertengger pada angka sembilan. Jalanan di kompleks itu sangatlah sepi. Jauh dari kebisingan kota yang mengganggu. Kawasan gangnam memang terkenal begitu elit. Rumah-rumah berdinding tinggi dan nyaris kosong di jam-jam kerja. Dan saat malam tiba semua kegiatan seolah terhenti. Tak ada aktivitas lain selain tidur dan mengistirahatkan diri mereka di peraduannya. Seperti yang saat ini sedang Eunra lakukan. Gadis bertubuh mungil itu tidur terlentang di atas tempat tidurnya yang sangat nyaman sembari menikmati rasa sejuk masker yang saat ini ia kenakan di wajah cantiknya. Sembari menunggu, ia memejamkan matanya dan mendengarkan alunan musik klasik lembut yang menenangkan. Sementara benaknya mencoba menghafal dan mengingat setiap tuts piano yang biasa ia mainkan. Selama ini Eunra sudah belajar dengan begitu keras. Ia bukan seseorang dengan bakat sempurna dalam memainkan piano, tapi ia punya satu tekad kuat untuk bisa mempelajari alat musik itu dengan baik.
"Eunra-ya..." teriakan itu sontak membuyarkan semua nada di kepala Eunra. Jiyeon berlari masuk ke kamar gadis itu dan langsung melompat ke atas tempat tidur, tepat di samping tubuh Eunra.
"Waeyo~~" rengek Eunra seraya bangun dari posisi tidurnya yang tadinya begitu nyaman. Ia menatap wajah Jiyeon dengan bibir yang mengerucut sebal.
"Bukankah kau di Daegu? Kenapa sudah kembali?" tanyanya begitu menyadari bahwa seharusnya sahabatnya itu masih di Daegu bersama kedua orang tuanya. Tapi Jiyeon justru tersenyum lebar.
"Aku berhasil kabur.." ujarnya bangga sambil mengedipkan sebelah matanya pada Eunra genit.
"Mwo? Kabur? bagaimana bisa?"
"Ku katakan saja pada eomma kalau besok pagi aku harus ke sekolah. Bukankah ini hari terakhir liburan kita. Ku bilang ada tugas yang sangat penting yang harus ku kumpulkan besok. Dan mereka mengijinkan aku kembali ke Seoul. Aku sangat cerdas bukan?"Jiyeon bertepuk tangan membanggakan dirinya sendiri.
"Kau benar-benar menyedihkan.." ledek Eunra yang kembali tidur di ranjangnya acuh.
"Eihh.. kau pikir generasi kita akan betah berada di desa kecil seperti itu sampai beberapa hari. Bayangkan saja tak ada sinyal ponsel disana. Bagaimana aku bisa hidup?"
"Terserahlah.." jawab Eunra semakin acuh.
"Aigo.. kau benar-benar tak pernah menunjukkan kepedulianmu pada sahabatmu ini. bagaimana bisa kau sedingin itu? Yak, Choi Eunra bangunlah...!" dumel Jiyeon. ia menarik-narik tangan sahabatnya untuk segera bangun dari tidur malasnya.
"Apa lagi sekarang? Kau tak lihat, ini sudah malam. Aku ingin tidur.." rengek Eunra yang merasa tak ingin di ganggu malam ini.
"Arrseo. Karena itu cepatlah bangun. Malam ini kau tidur di rumah ku saja.." balas Jiyeon dengan nada rengekan yang sama.
"Mwoya..."
"Temani aku. Tidurlah di kamar ku malam ini. rumahku terlalu kosong. Itu membuatku takut."
"Mintalah Myungsoo menemanimu. Jangan ganggu aku.."
"Yak! Choi Eunra, kau mabuk? Yang benar saja!" Jiyeon langsung menghempaskan tangan Eunra tak percaya. Bagaimana bisa sahabatnya itu mengatakan hal semacam itu dengan sangat mudah.
"Wae? Bukankah kalian sudah pernah menghabiskan malam berdua..?" goda Eunra yang merubah moodnya secara drastis. Gadis itu bangun dari tidurnya dan duduk menghadap Jiyeon dengan sangat antusias.
"Aku jadi sedikit penasaran. Apa kalian benar-benar tak melakukan apapun?" Eunra dengan sengaja mencolek dagu Jiyeon dengan telunjuknya sambil tersenyum nakal.
"Kenapa kau jadi seperti ini? sejak kapan kau mulai berpikiran kotor?"
"Siapa yang berpikiran kotor? Aku kan hanya bertanya apa yang kalian lakukan. Memangnya aku mengatakan apa? Eiiih, kau sendiri yang berpikiran sangat kotor. Bersihkan pikiranmu sana.." Eunra melirik Jiyeon dengan tatapan menggodanya yang begitu menyebalkan.
"Yak Choi Eunra!" bentaknya kesal.




This Fanfiction Begins...
The Devil prince
Lima __ "One Step Closer"


Pelajaran siang itu benar-benar membosankan. Han saem sedari tadi terus membicarakan mengenai kemerdekaan, proklamasi dan dekrit-dekrit presiden di masa lampau yang hanya berisi tumpukan hafalan yang harus ia masukkan ke dalam otaknya secara paksa. Jiyeon benci pelajaran sejarah. Bukan karena ia tak menghargai sejarah atau jasa-jasa para pahlawan. Hanya saja pelajaran sejarah itu terlalu rumit, yang hampir delapan puluh persen isinya hanyalah soal hafalan. Daya hafal otak gadis itu sedikit lebih buruk daripada keadaan normalnya, jadi Jiyeon tak ingin mengambil resiko membuat kepalanya sendiri berdenyut nyeri jika ia harus memaksakan dirinya menghafal buku setebal itu. toh sekalipun dia tak menghafalnya dia tetap selalu menjadi peringkat kedua terbaik di kelasnya. Itu bukan track rekor yang buruk. Setidaknya itu membuat Jiyeon bisa bernapas lega. Disaat teman-temannya yang lain sibuk dengan buku catatannya, yang Jiyeon lakukan justru hanya duduk tersenyum memendangi layar ponselnya yang sejak semalam sudah ia pasang wallpaper fotonya bersama Myungsoo di pantai kemarin. Ingatan manis itu kembali menyisip. Bagaikan sebuah kisah dalam buku sejarah yang tak mungkin bisa Jiyeon lupakan. Sebenarnya kalau di pikir-pikir lagi, pria itu tidak terlalu buruk. Jiyeon sedikit menyadari itu ketika dirinya perlahan bisa mengenal sosok Myungsoo jauh lebih dekat. Seharian kemarin ia habiskan dengan pria itu. ya, sikapnya memang masih sangat menyebalkan dan tak berperasaan. Tapi pria itu bisa menjaganya dengan begitu baik. Jiyeon teringat kembali saat dirinya berada di tengah badai malam itu, Myungsoo melindunginya. Pria itu merapatkan kedua tangan Jiyeon di pinggangnya. Melindungi Jiyeon di punggungg nya dan membuatnya merasa tenang. Myungsoo bahkan membelikannya sebuah pakaian. Dia merawat Jiyeon dengan cukup baik. Dan Jiyeon berencana berterima kasih padanya hari ini.
"Ah tidak. Apakah dia baik-baik saja?" gumam gadis itu yang tiba-tiba teringat akan suhu tubuh Myungsoo. Sepanjang perjalanan pulang dari incheon kemarin Jiyeon memeluk tubuh Myungsoo saat pria itu menjalankan motor milik Baekhyun. dan Jiyeon bisa merasakan suhu hangat dari tubuh Myungsoo. Jiyeon sempat menanyakan hal itu pada Myungsoo di perjalanan, tapi Myungsoo lebih banyak diam dengan wajahnya yang terlihat pucat. Dan kemarin, Jiyeon belum sempat menanyakan kondisi pria itu lagi karena dirinya harus segera pergi ke Daegu.
"Aku harus segera menemuinya.." batin Jiyeon mendadak jadi tak enak hati. Gadis itu menutup layar ponselnya dan memasukkan benda itu ke dalam saku seragam sekolahnya. Sedang kedua tangannya mulai perlahan membereskan buku-buku di atas mejanya dengan gerakan pelan.

The Devil PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang