25. Sandaran

4.3K 266 1
                                    

Angkasa menghela nafas berat setalah keluar dari ruang ujian. Tadi adalah ujian terakhirnya disemester ini. Sekarang, Angkasa hanya bisa berharap jika nilainya tidak terlalu hancur untuk dilihat oleh papanya. Angkasa hanya berharap, jika papanya tidak merendakannya lagi saat melihat nilai raportnya nanti. Tapi agak mustahil, jika mengingat bagaimana Angkasa mengisi soal-soal tadi. Tanpa menunggu raportpun, Angkasa sudah tau bagaimana kondisi nilainya, sangat memprihatinkan.

Sekali lagi, cowok berpakaian sedikit rapi itu menghela nafas berat.

"Cek cek cek, perasaan, kita gak pernah belajar materi tadi deh." Bintang mengarut kepalanya yang sebenarnya tak gatal.

"Emang kita gak pernah belajar materi apapun pea!" Balas Benua.

"Pupus sudah harapan gue untuk sekelas bareng Pelangi." Ucap Angkasa lesu.

Bintang dan Benua mengangguk menyetujui.

Drrtttt...

Getaran dihapenya membuat langkah Angkasa berhenti, sehingga Bintang dan Benua ikut memberhentikan langkah mereka.

Kening Angkasa mengerut melihat nomor yang tidak diketahuinya.

"Siapa?" tanya Bintang.

"Gak ada namanya."

"Salah sambung kali." Sahut Benua.

"Angkat aja deh."

Angkasa menggeser tombol hijau dilayar hapenya, setelah itu menempelkan benda pipih itu ketelinga kanannya.

"Halo."

Tidak ada balasan dari seberang sana.

"Halo, ini siapa?"

Tetap tidak ada balasan.

"Ini salah sambung?"

Hening, masih tidak ada suara balasan.

"Ha-"

"Angkasa... "

Angkasa menegang mendengar suara yang keluar dari hapenya. Walau telah lama tidak bertemu dan mendengar suaranya, tapi Angkasa masih sangat ingat milik siapa suara ini. Dulu, Angkasa sering mendengar suara ini bernyanyi untuknya sebelum tidur.

"Angkasa... Kamu masih disana kan, sayang?"

Dulu, suara ini juga sering memanggilnya sayang, sayang dalam artian yang sesungguhnya. Pemilik suara ini sangat menyayanginya, tapi dulu.

Walau Angkasa hanya diam dan tak membalas, tapi Angkasa masih mendengarkan semua suara yang keluar dari hapenya itu. Angkasa mendengar suara isak tangis tertahan dari seberangan sana, mendengarnya membuat bagian hati Angkasa terasa tercubit.

"Kalau kamu gak mau ngomong, kamu cukup dengarkan saja, itu sudah membuat orang yang bersalah denganmu ini, senang."

Angkasa mendengar isak tangis. Rasanya ia ingin berteriak pada dirinya karena telah membiarkan orang yang paling ia sayangi menangis karena dirinya untuk yang kesekian kalinya. Angkasa menganggap dirinya sendiri sebagai pecundang karena hanya bisa membuat semua orang yang ia sayang bersedih karena dirinya.

"Angkasa... Kapan kamu main kesini? Kami semua rindu sama kamu... Kami semua ingin meminta maaf dan memperbaiki semuanya denganmu... Berkunjunglah kemari dan mengobrol bersama... Kami rindu dengan suaramu... Hiks."

Angkasa ingin menangis, ia tidak tahan mendengar tangisan itu. Kenapa setelah dua tahun tidak saling tegur sapa dan bertemu, hal pertama yang ia dengar dari orang itu adalah tangisan dan rasa bersalah? Lagi-lagi, itu semua karena Angkasa.

ANGKASA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang