19. Rasaku Juga Rasamu

3.6K 443 7
                                    

Min Ah menghela napas.

Ia telah menangis sepanjang malam dan siang ini, saatnya dia untuk melihat upacara pemakaman adiknya. Dirinya memutuskan untuk memakamkan Min Hee di dekat pusara kedua orang tuanya.

Ia menoleh kesamping saat merasakan tepukan pelan di bahu. Itu Jimin. Pria itu berjongkok di sebelahnya.

Jimin mengusap pelan nisan Min Hee. "Dia gadis yang manis."

Min Ah hanya diam. Jimin menoleh menatap gadis di sebelahnya. Penampilan Min Ah sekarang sudah seperti mayat hidup.

Rambutnya yang sepunggung terlihat dikucir asal. Matanya bengkak dan tampak memerah, jangan lupakan garis kehitaman dan kantung mata itu.

Tentu saja, Min Ah belum tidur sejak kemarin. Ia hanya menangis dan menangis. Mungkin sekarang air matanya telah kering.

Min Ah sendiri tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Ia kira selama ini hatinya telah mati karena terlalu banyak menyiksa dan membunuh orang. Namun setelah bertemu dengan seorang Park Jimin, ia merasa seperti hatinya yang membeku seolah mencair sedikit demi sedikit.

Kenapa?

"Kau mau pulang?" Jimin bertanya.

Min Ah menunduk dan menggeleng pelan. "Aku masih mau disini."

Jimin menghela napas. "Baiklah. Aku akan menemanimu."

Min Ah hanya diam dan membiarkan Jimin berjongkok di sebelahnya sampai selama pria itu mau. Ia berpikir bahwa Jimin pasti akan pergi beberapa menit lagi karena bosan dan kram. Namun ia salah. Jimin dengan sabar menunggunya sampai matahari hampir terbenam.

"Belum menyerah juga?" Jimin membuka mulutnya. "Kau mau disini sampai sampai tengah malam, hah?"

"Aku hanya ingin disini sebentar lagi."

Jimin menatap tidak percaya gadis di sebelahnya. Ia berdiri dan tentu saja langsung memegangi tungkainya yang terasa luar biasa kram.

"Sialan," desisnya sambil memegangi kedua lutut.

Min Ah tersenyum kecil melihat tingkah pria itu.

"Hei kau!" Jimin menunjuk Min Ah tepat di wajah. "Pulang sekarang juga!"

Min Ah mencoba berdiri perlahan-lahan. Ia menepuk celana hitamnya yang sedikit kotor karena tanah. "Baiklah."

Jimin mengulum senyum. Entah kenapa ia merasa senang saat Min Ah mau mendengarkannya. "Ya sudah, cepat!"

Jimin berjalan meninggalkan Min Ah. Gadis bermarga Choi itu hanya mendesah pasrah. Ia tersenyum dan mengusap nisan adiknya. "Istirahatlah dengan tenang, aku menyayangimu."

Selanjutnya ia segera pergi menyusul Jimin.

***


Pria bermarga Park itu berjalan dengan ringannya menuju ruang kerja Kim Namjoon. Ia langsung saja membuka pintu tanpa mengetuk. Itu sudah menjadi kebiasaan buruknya.

"Oh, Jimin?" Namjoon terlihat sedikit terkejut melihat Jimin.

"Iya, ini aku."

Jimin mendudukkan dirinya di sofa.

"Kenapa kau datang? Kukira kau akan menemani calon tunanganmu itu. Bukankah adiknya baru saja meninggal kemarin?" tanya Namjoon yang sekarang telah duduk di sofa berhadapan dengan Jimin.

"Kau ini. Sebagai pimpinan yang baik aku harua tetap datang ke kantor, bukan?" Jimin berujar.

"Oke bagus. Tapi Jimin-ah, tidakkah kau merasa terlalu dekat dengan wanita itu?"

"Maksudmu?"

"Kau terlalu dekat. Sudah kubilang sejak dulu kalau kau tidak boleh sampai jatuh cinta kepadanya. Dia musuh kita, Jim. Apa kata orang nanti jika agen terbaik pemerintah bersama dengan mafia terbesar seantero Amerika?"

Jimin terdiam. "Aku-- aku tidak mengerti, hyung. Sepertinya kau benar. Aku mencintainya."

"Kalau begitu hapus perasaan itu. Hapus! Cintamu itu terlarang. Kau akan membahayakan dirimu dan juga dirinya. Siapa yang akan merestui hubungan kalian? Tidak ada." Namjoon berkata dengan wajah serius.

"Lalu aku harus bagaimana?"

Jimin meremas surai hitamnya. "Aku sungguh ingin bersamanya."

Setelah pembicaraan dengan Namjoon, Jimin pergi dari kantor. Hilang sudah predikat pimpinan baiknya.

Ia pergi ke salah satu klub malam terbesar di Seoul. Dia stres. Dia ingin menenangkan diri. Mendatangi klub sudah jadi kebiasaan buruknya yang baru sekarang.

Percayakah kau jika kubilang Jimin itu tidak biasa minum? Tentu saja, karena sekarang dia sudah mabuk disebabkan oleh setengah botol vodka.

Ia memaksakan diri untuk pulang. Kadang mobil yang dikendarainya akan oleng karena disopiri oleh orang mabuk yang sedang patah hati.

Tapi bajingan satu itu sungguh beruntung. Ia tidak pernah sekalipun tertangkap oleh polisi. Mungkin ia terlalu ahli menghindari jalan yang sering dipatroli atau memang polisi yang sudah malas melakukan patroli.

Jimin tidak peduli.

Ia tidak peduli tentang semuanya. Ia hanya ingin bisa menjauh dari gadis bernama Choi Min Ah yang telah mencuri hatinya secara ilegal.

Ia telah mencoba menjadi seseorang yang terlihat buruk dihadapan wanita itu. Ia ingin Min Ah membencinya lalu segera menghabisinya. Akan lebih baik kalau Min Ah memenggal kepalanya sekarang juga. Lalu kenapa sampai sekarang wanita itu belum juga menghabisinya?

Ia ingin tahu apa yang dirasakan gadis itu. Apa Min Ah juga merasakan apa yang ia rasakan? Atau mungkinkah hanya dia yang mencintai dan hanya dia yang terluka sekarang?



***


Min Ah terdiam menatap ponselnya. Kembali, sang ketua memintanya untuk segera membunuh Park Jimin. Bajingan gila satu itu sungguh membuat dirinya pusing dua puluh delapan keliling.

Harusnya sekarang tidak masalah kalau dia tidak menuruti ketuanya itu. Karena pada awalnya alasan ia ikut perkumpulan mafia itu hanya untuk membiayai perawatan adiknya.

Ia sungguh ingin bersama dengan Jimin. Tapi kembali, apakah Jimin juga ingin bersama dengannya?

Bahkan sekarang, perlakuan Jimin kepadanya kembali seperti semula, bahkan lebih buruk. Ini sudah lima hari setelah kematian Min Hee. Jimin menjadi sangat aneh sekarang. Pria itu sering sekali pulang dengan keadaan mabuk berat. Entah apa yang dipikirkan pria gila itu.

Min Ah mendesah pelan. Ia sungguh bingung. Mungkin jika bukan ia yang membunuh Park Jimin, maka orang lain yang akan melakukannya. Yang pasti, ketuanya itu tak akan membiarkan Jimin lolos begitu saja.

Min Ah bingung. Akan lebih baik kalau Jimin menangkapnya dan membiarkannya membusuk di penjara atau mendapatkan hukuman mati. Mati terdengar lebih baik daripada harus merasakan kebingungan seperti sekarang.

Kenapa Jimin tidak segera menangkapnya? Pria itu punya banyak kesempatan untuk menangkap atau bahkan menghabisi nyawanya. Lalu kenapa?


To be continued...

Illegal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang