Chapter 3 - Night Street

41 6 0
                                    

Raxel tersenyum sumringah menatap gadis yang kini berjalan kearahnya dengan dress formalnya. Tidak tahu sihir apa yang digunakan gadis ini hingga ia selalu mengumbar senyumnya pada siapapun orang yang melewatinya hari ini, ia terlampau bahagia hanya karena bisa mengantarnya bekerja kembali setelah melihatnya dalam kondisi yang tidak baik.

"Ah, kenapa kau tersenyum seperti itu? Ada yang salah dengan penampilanku hari ini?" cecarnya saat sudah berada dihadapannya.

"Kau bertambah cantik," jawabnya.

Ia daratkan tinju kecil pada lengan pria itu, "memuji?" ejeknya.

Tak peduli pada ocehannya, dengan gerakan tiba-tiba Raxel menggandeng Jianna lalu berjalan melewati banyaknya pasang mata menuju mobil milik pria itu. Sementara yang digandeng hanya diam menurut, entahlah yang ia rasakan ialah seperti ada letupan kembang api menghujaninya hingga tanpa sadar iapun tersenyum.

Hanya butuh lima belas menit untuk sampai disebuah kantor bernama Enorme, Inc. Ia hembuskan nafasnya lega karena ia datang pagi hari ini. Padahal biasanya, di hari itu ia selalu terlambat hanya karena bus yang ia akan tumpangi selalu penuh sepagi apapun ia berangkat, alhasil ia selalu mendapat bus terakhir untuk mengantarnya di hari yang baginya adalah hari sial yaitu senin. Ia memang disiplin, akan tetapi keadaan yang selalu merubahnya. Setidaknya untuk detik ini, ya detik ini ia masih bisa menikmati indahnya kehidupan.

"Makan teratur, dan jangan lupa meminum vitamin yang aku beri." Ujarnya memperingatkan.

Gadis itu mengangguk masih dengan senyum nya, ia lambaikan tanganya sebelum pria itu berlalu meninggalkanya.

***

Ditempat paling sunyi ini, ia tengah sibuk dengan objek dihadapannya. Menikmati setiap jengkal keindahan yang diukir oleh sang Pencipta. Hanya ada ia seorang diri dengan sebuah kamera yang kini tergeletak disampingnya setelah benda tersebut membidik berbagai macam gambar artistik. Helaan nafasnya terdengar panjang bersamaan kepulan asap keluar dari bibirnya. Detik berikutnya, Ia menampakkan senyumnya kala bayangan itu terlintas lagi dipikirannya. Membayangkan setiap inchi wajah seorang gadis dengan suara selembut sutera yang membuatnya hampir saja gila oleh perasaan yang dianugerahkan Tuhan padanya. Namun, ia sadar jika perasaan itu tiba-tiba hilang seiring berjalanya waktu. Seiring dengan kepergian gadis itu yang saat ini hanya menyisakan kerinduan yang tak pernah lagi terbalaskan seumur hidupnya.

Ia buang benda yang sedari tadi menemaninya dengan kasar yang hinggap diatas tanah lalu diinjaknya dengan sekali gesekan hingga membuat benda kecil itu berubah menjadi serpihan tak berarti. Ia rogoh saku celananya lalu ia ambil smartphone untuk membuka pesan yang sedari tadi ia abaikan. Tanpa menunggu lama, ia bergegas setelah membaca pesan tersebut.

Ia belah jalanan sepi dengan kecepatannya diatas rata-rata. Sungguh, Ia tidak sedang emosi atau dalam keadaan mencekam. Ia terbiasa dengan ini, mengendarai mobilnya dengan cepat karena ia tidak suka membuang waktunya. Hari sudah sangat gelap, dan disepanjang jalan hanya ada lampu mobilnya yang menjadi sumber penerangan. Ia bernafas lega kala sampai diwilayah perkotaan yang menunjukan hingar bingarnya di malam hari.

"Shit!" makinya.

Ia hentikan laju mobilnya secara mendadak diiringi dengan suara decit ban yang keras. Didepan mobilnya, kini berdiri seorang gadis yang tengah berdiri dengan nafas memburu diikuti dua orang berbadan besar yang agak jauh darinya. Gadis itu berteriak namun apadaya jalanan ini sudah sangat sepi.  Gila! pikirnya.

Ia turun dari mobilnya dengan mimik wajah datarnya lalu ia hampiri gadis tersebut yang tanpa aba-aba menarik lengannya. gadis berpakaian formal tersebut berteriak dan menyuruh ia agar segera membawanya pergi sebelum kedua pria berbadan besar menangkapnya. Gadis yang kini terlihat panik itu berjalan dengan sedikit terbirit, masuk ke dalam mobil tanpa peduli pria itu mengizinkanya atau tidak. Ia masih terdiam, mengabaikan teriakan demi teriakan yang dilontarkan gadis itu agar memasuki mobilnya.

"Berhentiiiiiii Nona cantik!" teriak salah satu dari mereka geram.

Nafas merekapun ikut memburu sesaat setelah sampai didepan pria itu. Tanpa basa-basi mereka segera menghajar pria yang sedari tadi hanya diam, namun pukulan mereka dapat ia tangkis dengan begitu mudah. Bugh! Nyatanya ia lah yang berhasil mendaratkan pukulan pada wajah salah satu dari mereka, membikin darah segar mengalir dari hidung dan mulutnya.

"Kurang ajar!" umpat salah satunya.

Pria berjambang tebal tersebut mengeluarkan pisau lipat tanpa disadari olehnya yang masih memukuli rekan pria itu. Ia ayunkan pisau tersebut padanya dan Srek! berhasil menggores lengannya. Pria itu mengerang lalu amarahnya semakin menjadi. Ia angkat kakinya tinggi-tinggi, dan Bugh Bugh! Meninggalkan jejak sepatu yang menempel manis di kedua pipinya bahkan pisau itu terjatuh dari genggamanya. Ketika pria itu hendak melawan lagi, dengan sigap ia tendang perutnya hingga tersungkur. Ia balikan tubuhnya untuk meninggalkanya. Namun ia hentikan langkahnya sejenak untuk mengambil sesuatu dibalik punggungnya.

Dor! Dor!

Ia membuka matanya ketika ia dapati suara yang tak pernah ia dengar dari jarak dekat seperti ini. Ia ingin memekik kala matanya menangkap kedua orang yang mengejarnya tadi tergeletak tak berdaya.

Pria itu menembaknyakah? Bagaimana bisa orang macam dirinya punya senjata? Apa ia adalah orang jahat yang sengaja menolongku atau ia terma—tidak Ji, ia bukan orang jahat. Batinnya

Ia terdiam cukup lama hanya untuk memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi padanya, hingga suara pintu mobil tertutup mengagetkannya. Ia masih dalam keadaan ketakutan bahkan saat pria itu menatapnya sekilas setelah melempar senjatanya ke dashboard.

"Turunkan a..aku...u....," ujarnya dengan suara bergetar.

"Siapa mereka? " katanya mengabaikan permintaan gadis itu.

Ia terdiam, bibirnya tiba-tiba saja kelu hanya untuk mengucapkan sesuatu pada orang asing didepannya ini.

"Baiklah. Aku tidak tahu mengapa kau terdiam seperti itu saat aku hanya ingin tahu siapa mereka." Kata pria itu.

Ia mendongak, pandangannya beralih pada wajah rupawan yang ketika ia tatap lama ia seperti pernah bertemu dengannya namun entah kapan. Lalu beralih pada lengan kokohnya yang sontak membuatnya merasa bersalah kala ia dapati goresan panjang yang terus mengeluarkan darah itu.

"Berhenti!" ujarnya.

Pria tersebut mengernyit seolah ucapan gadis itu ialah perintah yang harus dilakukan. Akan tetapi ia mau menurutinya, menghentikan mobilnya.

"Kotak obat? Dimana kau menyimpannya?" katanya seraya mencari-cari.

"Tidak ada, untuk apa? Bahkan kau tidak terluka sedikitpun."

"Kau yang terluka!" bentak gadis itu. Ia menghela nafasnya, "turun dari mobil, aku yang menyetir."

"Kau merasa bersalah, bukan. Tidak usah berempati padaku itu percuma. Pikirkan keadaanmu saja."

Rasa takut yang tadinya hinggap dalam dirinya menguap begitu saja berganti rasa bersalah. Bersalah karena dengan menolongnya, pria itu mendapat luka. Namun, ia tidak bisa memikirkan keadaannya saja sementara pria tersebut juga butuh pertolongan. Sekecil apapun luka yang di dapat. Ia keluarkan sapu tangan berwarna merah jambu dari sakunya. Lalu ia ikatkan pada lengan kokohnya. Tidak peduli pada ia yang tadi menolak permintaanya.

"Terimakasih sudah menolongku." Ucapnya.

Ia dapati hanya kesunyian di mobil itu. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Hanya suara helaan nafas yang keluar akibat udara dingin di kota perancis ini. Ia tidak membencinya. Namun ucapan terimakasih yang tak diterima itu membuatnya semakin bersalah kembali.

"Jianna Delarose."

"Roussel Nevincen."

Tidak ada perkenalan indah diantara kedua insan manusia malam itu. Ucapan nama yang keluar dari bibir mereka secara bersamaan itupun tidak terencana. Mengisi keheningan ditengah jalanan malam yang sepi. Apapun bisa terjadi melalui sebuah kebetulan, bukan?

***

To be Continue ...

FatalitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang