Chapter 4 - Found Her

37 4 0
                                    

Ia tidak menangis untuk kali ini. Baginya yang biasanya rentan dengan yang namanya air mata setelah kejadian beberapa jam lalu. Ia tidak tahu mengapa, seolah jiwanya mendorongnya agar terlihat kuat. Ia bersyukur karena dipertemukan dengan orang baik macam dirinya. Pria yang tanpa sadar ia taruh harapan besar padanya. Ditatapnya cangkir berwarna putih susu itu. Asapnya masih mengepul tebal, meliuk-liuk hingga tak lagi terlihat ditelan udara dingin.

"Tidak menyukai coklat panas?" Tanyanya membuka suara.

Ia mendongak, "aku menyukainya."

"Pekerjaanmu?"

"Interpreter sekaligus freelance translator."

Ia letakkan cangkir miliknya ke meja. Tanpa berkata lagi, ia tinggalkan gadis tersebut seorang diri. Ia mengantuk.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti kala sudah berada di tangga kelima. Ia menoleh lagi sembari berkata, "tidurlah Jian, ini sudah pukul 03.00" lalu ia lanjutkan langkahnya.

Dari tempat duduknya ia perhatikan pria itu yang semakin menjauh dari pengelihatanya dan hilang ditelan suara pintu yang tertutup. Ia ambil cangkir putihnya, lalu ia sesap sedikit isi darinya. Nafasnya teratur anggun beriringan diletakkanya benda itu pada meja. Kantuk yang sudah menyetubuhi matanya membuainya hingga ia jatuh kedalam pelukan sang mimpi di hari yang sudah berganti.

***

To : Jian

Ada paketan baju dalam tas karton merah. Pakailah. Supirku yang akan mengantarmu pulang. Don't deny that!

Ia pancarkan wajah muramnya kala ia dapati kertas kecil yang tergores tinta hitam diatas nakas. Diambilnya karton merah itu setelahnya. Sebuah blouse hitam berlengan panjang dan rok midi merah maroon. Ia tampak menimang-nimangnya hingga tangannya bergerak mencabut label yang tertera disana. Ia tidak menyukainya. Sungguh, ia tidak enak hati jika harus menerima pemberian orang lain. Namun, keadaan selalu saja mendukungnya untuk tak menolak.

 Namun, keadaan selalu saja mendukungnya untuk tak menolak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia hadapi dirinya di depan cermin. Jika saja ia tak ada jadwal hari ini, ia rela hati pulang dengan baju yang sama seperti hari kemarin hingga ia tak harus merepotkan orang lain untuk membelikan ia pakaian. Ia selesai memoleskan lipstick peach pada bibirnya lalu dimasukannya benda itu pada tasnya. Dengan langkah buru-buru ia berjalan meninggalkan ruangan tersebut.

"Nona,"

Ia menoleh, menghentikan langkahnya kala ia sudah sampai dipintu utama. Dibalikannya tubuhnya hingga berhadapan pada wanita lanjut usia dengan pakaian hitam putih. Nampak ia tersenyum pada wanita muda itu yang dibalas dengan raut bingung olehnya.

"Ya?" katanya.

"Tn. Roussel menunggumu untuk sarapan."

Deg!

Bibirnya kelu lagi. Ia pikir dengan meninggalkan kertas itu pria tersebut sudah pergi dari rumahnya hingga ia tak perlu lagi bertemu dengannya. Terdengar tidak sopan, bukan. Jika ia pergi diam-diam sementara terdapat pembantu dirumahnya. Sekali lagi, gadis itu dibuat malu oleh dirinya sendiri.

"Maafkan aku, aku kira kau sudah pergi. Jadi kuputuskan untuk tidak tinggal lebih lama. Pekerjaan menungguku." Katanya seraya berdiri didekat meja makan.

"Duduk dan makan, kau harus sehat agar bisa lari saat kau dikejar anjing."

Ia mendengus mendengar ucapannya yang terbilang sedikit sarkastik. "Sebelumnya kuucapkan terimakasih karena telah menampungku dan menolongku. Aku akan mengganti uang pakaiannya di lain waktu. Ah ya, aku juga ingin berpamitan padamu."

"Simpan uangmu untuk keperluanmu yang lain," dan lagi ia berkata, "sarapan membuatmu jauh lebih bertenaga. Jika kau pingsan lagi siapa yang akan dengan rela membantumu?"

Air mukanya berubah secepat kilat. Beribu pertanyaan menguak keluar dikepalanya secara tiba-tiba. Siapa ia sebenarnya membikin ia seperti ini. Tepat ketika ia berdiri dari kursinya, ia mendekat padanya. Mencengkeram erat lengannya tanpa sadar.

"Kau?!"

Pria itu tersenyum untuk pertama kalinya, "aku bercanda,"

"Roussel!" sungutnya.

"Supirku menunggumu, bekerjalah dengan baik. Jangan dekat-dekat dengan orang jahat jika kau ingin selamat."

Dan lagi, Jianna hampir saja berteriak karena terlampau penasaran pada pria yang baru dikenalnya ini. Dan kata-katanya kali ini berhasil membuatnya terkesiap untuk kedua kalinya.

Lalu siapa orang jahat itu? Batinnya.

***

"Pakaian baru, Heh!" teriak Liane seraya menunjuk kertas kecil pada wajah Jianna.

Ia terdiam sejenak kala ia lihat kertas kecil yang terselip di jemari gadis perancis itu. Lalu ditariknya kertas tersebut kasar dan ditaruhnya pada tasnya. Ia balikan tubuhnya, berniat kabur. Namun, gadis perancis itu buru berada didepannya.

"Kau lupa atau bagaimana? Label itu masih menancap dibelakang pinggangmu." Ia tarik tangannya, "Jianna yang aku kenal tidak akan mau membeli pakaian dengan harga fantastis. Kau tidak mencurinya, kan?"

Ditepuknya pipi Liane lembut, "Ya! Aku mencurinya dari toko itu. Paham?"

Dengan cekatan ia pergi meninggalkanya yang masih takjub akan jawaban yang keluar secara di sengaja oleh Jianna. Jawaban bodoh yang tak mungkin menjadi kenyataan. Lagipula untuk memasuki toko dengan label terkenal itu haruslah menjadi member, yang biasanya terdiri dari orang kalangan atas. Bukan Jianna, karena ia bukanlah berasal darisana.

Ia berjalan dengan langkah memburu dengan senyum kecil masih berada dibibirnya. Mengerjai temannya itu membuat dirinya geli sendiri. Hingga tak sengaja ditengah jalan, ia menabrak orang karena tak fokus. Membikin ia terjatuh dan lututnya mencium lantai.

"I'm sorry."

Ia rasakan tubuhnya bergetar dan menegang setelah ia dengar suara bariton yang ditujukan padanya. Melupakan rasa sakit yang tadi menjalar lututnya. Ia dongakan kepalanya dan benar saja. Pria yang kini menjulang tinggi dihadapannya tengah tersenyum menawan. Buru-buru ia berdiri menepis kasar tangan pria yang terulur padanya. Meninggalkan ia dengan deguban jantung yang berpacu hebat seiring dengan langkahnya yang sedikit tertatih.

Pria dengan pakaian serba hitam tersebut menampakkan seringainya seraya memandang ke arahnya yang tergopoh-gopoh hingga ia alihkan pandangannya setelah lift tertutup. Dikeluarkannya handphone dari jaketnya setelahnya.

"Malam ini. Jangan kau buang waktu lagi!.... Tiga-tidak, lima kali lipat jika kau berhasil temukan dia."

Ia jauhkan handphone setelah melepas sambungan. Lalu dilangkahkan kakinya lebar membelah keramaian lobby utama.

***

To be continue...

FatalitéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang