Wattpad Original
Ada 7 bab gratis lagi

1

383K 30.6K 1.9K
                                    

ABERCIO BAGASKARA


UNTUK KEENAM KALINYA dalam sejam, gue membaca ulang WhatsApp dari Alby, bahkan menelepon dia tiga kali dengan beragam kalimat tanya berarti sama: Lo nggak bercanda, kan? By, Kian beneran balik? Lo yakin Kian berwujud manusia?

Gue menghabiskan dua potong ayam dan kentang goreng dengan terburu-buru, lalu meninggalkan meja makan sambil mengetik pesan untuk Alby dengan pertanyaan serupa di telepon tadi.

Ketika membaca jawaban yang disusul peringatan dari Alby, otak gue langsung berteriak: 'Anjir, Kian balik. What should I do now?'

Sesaat gue mengizinkan percikan rasa senang merayap di setiap sudut tulang, hingga membakar habis rasa nggak percaya dan rasa penasaran akan alasan Kian pulang. Apa pun alasan Kian keluar dari persembunyiannya, gue yakin 100% nggak ada hubungannya sama gue. Seketika logika memadamkan api sukacita di hati gue.

Fuck!

Bertemu Kian kini terasa nggak masuk akal. Seperti nekat menyelam di lautan luas tanpa ada keahlian apa pun.

Keluarga Atmadja memang nggak menyalahkan gue atas kepergian Kian, tetapi gue yakin seratus persen keluarga itu sedang memutar otak demi menjauhkan sang anak pertama dari semua hal yang berpotensi menjadi alasan Kian bersembunyi lagi.

Gue, contohnya.

Gue menelan ludah dengan susah payah, mempercepat langkah menuju pintu keluar restoran yang jaraknya nggak jauh-jauh amat dari tempat duduk gue tadi. Gue harus balik hotel dan menyusun rencana. Namun, gue terpaksa berhenti jalan sekaligus memindahkan perhatian dari layar ponsel ke ... cewek bertatapan dingin di depan gue. Bibirnya sih nggak terbuka sedikit pun, tetapi cara matanya menelusuri muka gue, jelas dia sedang memaki; Punya mata tuh dipakai yang benar!

"Sori," ucap gue, sambil mengambil satu-satunya jalan keluar yang seringnya ampuh menyelamatkan gue dari situasi begini; tersenyum.

Puji Syukur! Masih ampuh!

Orang di seberang gue berhenti memelotot, walau matanya masih nempel di muka gue. Dia juga nggak bergeser, seakan kakinya terpaku di sana. Gue menghitung dalam hati sebagai batas toleransi situasi canggung ini. Ketika angka sudah berada di lima belas, gue berjalan miring ke sisi kanan yang kosong. Dengan cepat, dia menghalangi jalan gue, seakan-akan meminta syarat—bayaran—atau apalah namanya.

Gue tersenyum sesopan yang bisa diusahakan sambil mengangguk kecil, siapa tahu nih orang sadar gue lagi malas berurusan sama orang asing. Boro-boro geser, dia malah bersedekap dengan ekspresi penuh tekad nggak mau melepaskan gue.

Akhirnya gue berkata tegas, "Sori. Lagi nggak bisa kenalan."

Bukan sekali dua kali gue disuguhin trik berkenalan begini; mengharapkan keramahtamahan karena satu kesalahan kecil, mengulur waktu dari satu alasan ke alasan lain, ujung-ujungnya mengharapkan bertemu lagi. Dari obrolan singkat, muncul gerak-gerik supaya obrolan berubah jadi kegiatan ranjang, dan seringnya keinginan si cewek bertambah berkali-kali lebih banyak saat tahu siapa gue—apalagi latar belakang keluarga gue.

Thank you, Buddy!

Buat saat ini dan entah sampai kapan, gue milih menyelesaikan hasrat sendirian. Aman dan terkendali.

Gue menaikkan sebelah alis, sembari menarik napas tajam. Gokil! Dia nggak menunjukkan ekspresi malu atau canggung, apalagi menyingkir dari hadapan gue. Nih orang, bertahan dengan keteguhan semakin kuat saja.

Gue mengamati dia dari ujung kepala sampai kaki, lalu kembali ke wajah. Penampilan dia terlalu kaku jika tujuannya berkeliaran di restoran cepat saji untuk menggoda cowok-cowok good looking: setelan baju formal kemeja abu satin serta celana bahan hitam, nggak terlacak tanda-tanda sesuatu yang menggiurkan. Boro-boro senyum penuh arti, apa lagi tatapan kagum, cewek berambut hitam legam ini justru terlihat angkuh dengan mengangkat dagu.

Senyum gue sepenuhnya hilang.

Gue melesakkan kedua tangan ke saku hoodie abu sembari menggenggam ponsel, lalu bertanya, "Kenapa lihatin saya begitu? Kagum?" Kening dia mengerut, sedangkan gue mengangkat kedua bahu. "Bukan cuma Anda, kok, yang kagum, sudah banyak yang merasakan hal tersebut, tapi sayangnya hari ini saya lagi nggak minat kenalan atau—"

Kalimat gue belum mencapai titik, tetapi bagian bawah kiri hoodie serta sedikit jin di panggul gue lebih dulu basah sama cola dingin.

"What the fuck's wrong with you?!" teriak gue, sampai tiga orang yang sedang makan dekat jendela segera memperhatikan kami.

"Sorry," sahut si cewek, menarik bagian basah dari kemeja abu satin yang dipakai. Astaga. Dia balas dendam. "Maaf, ya, mata saya nggak melakukan tugas seperti seharusnya. Saya punya urusan penting di handphone sialan ini, atau saya sibuk banget dan nggak punya waktu melihat jalan. Dan masih banyak alasan remeh lainnya yang bisa Anda gunakan, daripada membanggakan hal yang—" Mata tajamnya bergerak naik-turun lambat, terang-terang menilai gue. "Biasa-biasa saja."

Gue tertegun dan menyusun balasan dari kalimat nggak masuk akal yang dimuntahkannya.

'Biasa-biasa aja.'

Gue udah berhasil merangkai kalimat balasan, tetapi si perempuan kaku dan menyebalkan tersebut telanjur berbalik kasar memunggungi gue, bahkan ujung rambut yang dikuncir menyerupai buntut kuda menampar kecil dagu bawah gue. Dia berjalan cepat melewati pintu restoran ayam cepat saji tanpa menoleh sekali pun ke gue.

Sialan!

Rasa terkejut gue melumpuhkan beberapa syaraf penting yang seharusnya beroperasi normal dan membantu gue keluar dari tatapan mengejek pengunjung lain. Sialan. Sudah lama sekali nggak ada orang yang mengatakan nggak suka di depan muka langsung, dan gue terkejut betapa hal itu mengganggu sampai ... Argh!

"Berengsek," erang gue, sembari melangkah lebar-lebar meninggalkan restoran.

Di sepanjang jalan menuju hotel yang letaknya berjarak dua gedung dari restoran, gue berulang kali menggeleng, mengusir ekspresi meremehkan si cewek dari benak gue.

Dasar cewek aneh, tetapi gue lebih aneh.

Bisa-bisanya merasa terganggu oleh penilaian orang yang baru melihat gue hitungan menit dan jelas-jelas sedang kesal sama gue.

Gue mendesah lega saat berhasil masuk ke lift tanpa ada satu pun orang asing di dalamnya. Selama perjalanan menuju lantai tujuh belas, gue mengusir rasa kesal dengan mengulang kedunguan—membaca pesan singkat Alby lagi. Hitung-hitung mengingatkan diri sendiri ada yang lebih penting dari memikirkan penilaian manusia asing yang nggak bakal gue temui esok hari atau hari-hari selanjutnya. Gue perlu menyusun strategi demi memanfaatkan lima hari kosong sebelum jadwal terbang selanjutnya.

Possessive PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang