ABERCIO BAGASKARA
"NGGAK PERLU melihat saya begitu," tegur Pitha, ketika gue menyusul dia meninggalkan kebisingan rumah menuju bagasi mobil yang terbuka.
"Maksudnya?" Gue bertanya, melambatkan langkah supaya dia berjalan lebih dulu, sekaligus memberi ruang untuk menegur diri sendiri karena terus teralihkan setiap kali berada di dekat Pitha.
Pitha terdiam sepersekian detik sembari menatap jengkel dua kantung belanja yang tersisa dari banyaknya hasil berburu anak-anak di Hypermart tadi, sedangkan gue berdiri menyamping dan bersandar ke mobil. Karena tingkat rasa sebal di wajah Pitha semakin naik perdetiknya, gue mempersiapkan diri akan serangan tajam darinya, dan boom!
Pitha berkacak pinggang menghadap gue. Matanya berputar malas dan berdecak nggak sabar.
"Memang saya mirip alien berkepala tiga?" tuduh Pitha, lalu mengetukkan satu kaki nggak sabar ke aspal. "Sedari siang sampai malam begini, Anda melihat saya seperti menemukan sesuatu yang langka dan aneh. Saya manusia, bukan makhluk jejadian."
"Gue nggak bersikap aneh." Gue mengangkat kedua bahu santai sambil meraih kedua kantung sekaligus. "Lo yang aneh. Bisa hahahihi ke Ronald, tapi ke gue berasa memperlakukan apaan tahu. Saya-Anda. Nggak sekalian manggil gue bapak."
Gue mengembalikan tuduhan kepada sang empunya, dan disambut tatapan menilai yang membuat gue merasa sedang mengulang pertemuan pertama kami di Bali.
"Kenapa saya mesti bersikap santai ke Anda?" tanyanya setelah mendengus lebih dulu.
Mendengar nada menantang dari Pitha, gue menggertakkan gigi sesaat. Namun, hebatnya, gue berhasil menjawab dengan suara super datar, "Kenapa nggak?"
"Karena saya nggak merasa perlu melakukannya."
"Kayaknya harus, deh. Divya suka sama gue, dan kemungkinan kita bakal sering ketemu."
"Wohh." Tawa mengejek Pitha jatuh di tengah-tengah kami, dan dalam hitungan detik wajah hingga suaranya berubah dingin sekaligus tegas. "Apa yang disuka Divya, nggak harus saya suka juga. Begitu pun sebaliknya. Apa yang nggak saya suka, Divya nggak perlu ikutan nggak suka." Kata demi kata diucapkan Pitha dengan penuh penekanan. "Begini, Pak Abe. Dulu-dulu kita nggak pernah ketemu. Jadi, hari ini cuma kebetulan, dan besok-besok belum tentu ada interaksi lagi."
Gue mengejang, menarik tulang punggung biar makin tegak, sembari mengeratkan genggaman ke kantung. Untuk pertama kalinya gue kehabisan kata-kata buat membalas serangan dari lawan bicara. Untuk pertama kalinya gue berharap ini bukan interaksi terakhir kami.
"Oh ya, satu lagi ...." Pitha tiba-tiba maju selangkah, menjajarkan wajah kami, dan tololnya gue merasa terpojok. "Mami. Papi. Divya. Anak-anak Rumah Matahari. Mereka nggak melihat sosok yang saya temui di Bali. Sudah merugikan orang lain, narsis pula."
Oh, bagus sekali.
Pertama dia bersikap seolah gue penyebab situasi canggung di antara kami sepanjang hari, lalu sekarang dia mengungkit-ungkit masalah yang sudah gue ajukan permintaan maafnya.
Gue menahan erangan, sedangkan Pitha mengambil paksa satu kantung belanja dari tangan gue dan berjalan menuju rumah.
Untuk kedua kalinya dia menyelesaikan obrolan kami dengan pergi seenak jidat, sudah gitu nggak berbasa-basi menoleh demi memastikan keadaan gue.

KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Pilot
RomanceBelum sembuh dari patah hati, Abe langsung disibukkan melalui pertemuannya dengan Pitha. Dari rasa tertarik juga keinginan menjaga Pitha serta anaknya, Divya, Abe memutuskan melindungi mereka dengan cara apa pun, termasuk menjadi bagian dari keluarg...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi