ABERCIO BAGASKARA
GUE DAN RONALD kompak berlari menghindari serangan matahari setelah turun dari mobil. Kami menuju teras dari rumah hook sederhana bernuansa ceria di salah satu sektor perumahan Gading Serpong.
Nggak jelas siapa yang menjadikan kunjungan ke rumah nggak bertingkat ini sebagai kewajiban. Pokoknya, setiap kali kami menemukan waktu kosong yang sama di tengah padatnya pekerjaan, gue dan Ronald selalu datang demi menyenangkan para penghuni. Kadang kami membawa berbagai jenis makanan atau barang-barang yang dibutuhkan, seringnya kami memboyong mereka ke Summarecon Mal Serpong atau Supermall Lippo Karawaci lalu meminta mereka memilih sendiri apa yang diinginkan.
"Mami Riri," panggil gue di depan pintu utama yang dibiarkan terbuka tanpa adanya tanda-tanda aktivitas. "Yuhuu. Abe datang!"
Ronald memutar bola mata jijik mendengar teriakan manja gue, lalu kami sama-sama tertegun karena Ibu Riri nggak kunjung muncul—minimal menyahut. Biasanya sekali panggilan Ibu Riri akan keluar, atau meminta kami masuk sendiri saat sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang nggak mungkin ditinggal, tetapi hari ini sudah dipanggil berkali-kali hasilnya nihil.
"Mami Riri! Papi Yassss!" Gue memanggil lagi sembari mengetuk jendela kaca di samping pintu, sementara Ronald memeriksa area kebun mini kesayangan Pak Yas.
Ketika Ronald kembali dan berniat teriak juga, wanita paruh baya berbadan gempal dengan cepolan sederhana tergopoh menuju pintu. Beliau menggantung kacamata di kerah kaus oblong salem, mengusap-usap kedua tangan ke sisi celana pendek pantai, sambil menciptakan suara bagai cicak.
"Kenapa teriak-teriak, toh? Tinggal masuk," protes Ibu Riri saat tiba di depan kami. "Kayak belum pernah ke sini aja."
Jawaban gue dan Ronald saling tumpang-tindih, tetapi maksudnya sama; nggak enak main masuk gitu aja. Kemudian, kami bergantian memeluk penguasa utama dari bangunan serba kuning yang diberi nama Rumah Matahari sama warga sekitar.
"Emang Mami lagi ngapain?" tanya Ronald, sambil merangkul Ibu Riri menuju ruang tengah.
Gue mengekor sambil memperhatikan keadaan setelah dua minggu nggak berkunjung, berusaha mencari tahu apa ada kebutuhan yang perlu gue sediakan buat para penghuni. Bukannya menemukan apa yang nggak ada, gue malah menemukan dua benda nggak biasa di meja panjang depan sofa: tas laptop biru tua yang di atasnya terdapat tas ukuran sedang warna hitam dengan gantungan kunci inisial P.A serta tumpukan berkas di sampingnya. Gue mengernyit. Kayaknya pernah lihat gantungan itu, deh.
"Nggak masak 'kan?" Pertanyaan selanjutnya dari Ronald mengembalikan fokus gue, menghentikan usaha gue mencari jejak ingatan tentang barang kecil tersebut. "Aku udah ngabarin dari dua hari lalu lho. Siang ini jangan masak, kami mau datang. Mau makan enak-enak di mal bareng Mami, Papi, dan adik-adik."
Gue dan Ronald duduk di kursi panjang berbahan jati, sementara Ibu Riri di kursi single berbahan sama di seberang kami. Di tengah ocehan Ronald tentang rencana hari ini, gue mengambil waktu buat mencermati wajah renta Ibu Riri. Gue kenal beliau karena Ronald maksa gue ikut membawakan bingkisan Natal sekaligus sumbangan dana dari beberapa orang termasuk gue untuk kegiatan Natal anak-anak Rumah Matahari.
Gue sempat berpikir tempat ini sama saja seperti tempat-tempat serupa, tetapi gue salah.
Rumah Matahari bukan panti asuhan.
Ibu Riri dan Pak Yas nggak mengurus anak untuk diadopsi, apalagi menjual kesedihan demi mendapatkan sumbangan sebanyak-banyaknya. Mereka merawat anak-anak dari keluarga kurang mampu, yang orang tuanya kesulitan bila harus menyambung hidup sambil mengurus anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Pilot
RomanceBelum sembuh dari patah hati, Abe langsung disibukkan melalui pertemuannya dengan Pitha. Dari rasa tertarik juga keinginan menjaga Pitha serta anaknya, Divya, Abe memutuskan melindungi mereka dengan cara apa pun, termasuk menjadi bagian dari keluarg...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi