Wattpad Original
Ada 8 bab gratis lagi

Prolog

686K 33.3K 1.9K
                                    

ABERCIO BAGASKARA


NASI GORENG.

Makanan simple dan mudah dicerna. Comfort food buat siapa aja yang lagi berpergian, terutama di luar negeri.

Sewaktu gue bilang, "Udahlah bawain gue makanan simple yang pasti masuk perut." Gue berekspektasi sepupu tersayang gue ini nggak akan milih nasi goreng, apa kek, masih banyak makanan enak dan gampang ditelan.

Gue memandang jengkel si pelaku, sambil menghancurkan bulatan nasi cokelat di kotak bening lalu menggerutu, "Alby. Alby. Dari sekian banyak jenis makanan. Kenapa lo beli nasi goreng? Heran!"

Alby meneguk santai air putih tanpa memutus adu pandang kami, dan gue segera tahu dia nggak mau disalahkan. Ya, emang bukan salah siapa-siapa, tetapi ... fuck!

"Lo mau makan simple." Nah! Alby memasang ekspresi menantang. "Lo nggak mau MCD. Nggak mau nasi lemak. Pokoknya nggak mau daging-dagingan, tapi nggak mau mi juga." Dia menggunakan ujung sendok, menggiring mata gue menuju kotak makan. "Bukan daging-dagingan, bukan mi, super simple."

Gue melengos.

"Makan," pinta Alby penuh penekanan. Gue siap memulai perdebatan, tetapi dia lebih dulu mencecar, "Gue bukan pengasuh lo, Be! Lain kali ikut! Kalau nggak mau ikut, minimal nggak usah ngerepotin orang. Pergi cari makan sendiri."

Gue menaruh sendok, menggeser kotak makan keluar dari pandangan. Gue nggak sudi mengunyah makanan yang membangkitkan banyak kenangan indah sekaligus menyakitkan. Lebih baik menahan lapar sebentar, terus gue beli roti di coffee shop rumah sakit.

"Nggak usah banyak protes!" hardik gue, ketika lirikannya berubah arah dari kotak makan ke gue. "Habisin makanan lo. Alfa mau dijemput sekarang juga, mumpung Mia dijaga ibunya."

Setelahnya, gue sibuk mendorong banyak kenangan tetap di dasar hati dengan membuka Twitter dan membaca cuitan-cuitan menghibur. Sesekali gue mengintip gerak-gerik Alby, dan otak gue secara otomatis memikirkan sanggahan demi sanggahan kalau-kalau Alby bersikeras memulai protes seperti kebanyakan orang yang melihat gue menolak makan nasi goreng; Jangan buang-buang makanan lah, di luar sana banyak orang yang mau makan tapi susah.

Alby berdeham, dan gue bicara lebih dulu, "Fokus ke makanan. Anggap gue nggak ada di depan lo."

Gue nggak sudi dehamannya berubah jadi omongan yang lebih menyebalkan: Oh, masih nggak mau makan nasi goreng selain masakan Kian.

"Alfa mau ambil cincin pernikahan mereka sekalian beli set diamond buat Mia, hadiah pernikahan besok." Gue melanjutkan kalimat, sambil menyodorkan ponsel ke depan wajah Alby. "Dan please, saudara lo ini udah bawel banget dari tadi! Jadi, setop ngurusin gue, makan!"

Alby mengamati sejenak pesan singkat dari sepupu kami, Alfarezi Bagaskara. Alasan utama keluarga besar kami berada di Singapore, meninggalkan sejenak kesibukan di Indonesia, demi melancarkan pernikahan dadakan Alfa yang diburu waktu.

Sebelum menunduk, Alby berkata, "Private plane orang tua landing di sini jam tujuh. Udah ada tiga mobil yang stand by di airport, tapi biasa ... Eyang nggak mau mobilnya dipegang supir. Eyang mau lo."

Gue nggak berminat merespon kalimat Alby. Kalau sudah menyangkut perintah Eyang, yah, artinya nggak bisa diganggu gugat. Gue harus ke bandara satu jam sebelum semua orang tua dan Eyang tiba. Karena gue mengizinkan keheningan kembali hadir di tengah kami, Alby mulai sibuk memenuhi mulut dengan makanan. Sementara gue, balik sibuk berselancar di dunia maya. Melihat foto teman-teman gue di Instagram, terus membuka beberapa obrolan WhatsApp untuk memantau perkembangan bisnis baru gue di Jakarta.

Di sela-sela kegiatan itu, gue beberapa kali menangkap basah Alby melirik gue dengan penuh selidik lalu mengakhirinya dengan helaan napas panjang serta tajam yang penuh rasa frustrasi.

Gue menarik satu sudut bibir ke atas. Entah untuk mengejek wajah jengkel Alby, atau mengatai diri sendiri yang bahkan nggak sanggup menyentuh nasi goreng tanpa teringat Kiandra Anandhita Atmadja.

Mengenaskan.

Di tengah kesibukan mengasihani diri, tiba-tiba Alby mengetuk meja di depan gue, memimpin jalan agar mata kami bertemu.

"Lo nggak bisa lagi merajuk seenak jidat. Masanya udah lewat," katanya. "Mau lo ngerengek kayak anak kecil yang benci dijejelin sayur, Kian nggak bakal muncul di sini sambil bawa makanan yang lo mau."

Alby menggosok-gosok ujung dagu seraya menggeleng pelan, sedangkan kedua tangan gue mengepal tanpa melepaskan ponsel lebih dulu.

"Udah waktunya lo nerima kenyataan dia pergi karena lo yang nyuruh." Ingatan sialan gue langsung memutar adegan di mana gue teriak dan minta Kian berhenti ikut campur sama kehidupan gue. "Apa pun usaha lo sekarang. Nolak makan nasi goreng, contohnya. Nggak akan bawa dia ke depan mata lo." Berengseknya, Alby tampak bertekad membicarakan hal-hal yang selama ini nggak mau gue dengar dari siapa pun, bahkan hati kecil gue sendiri. "Kita nggak hidup di dunia Doraemon, Be. Ada pintu ke mana aja, apalagi alat ajaib buat ngerubah masa lalu." Dia lancar banget menyampaikan yang belum pernah diucapkan oleh orang lain. "Nggak semua hal di kehidupan lo punya second chance. Udah lima tahun menghindar, waktunya lo hadapin, terus move on ...."

Possessive PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang