Belum sembuh dari patah hati, Abe langsung disibukkan melalui pertemuannya dengan Pitha. Dari rasa tertarik juga keinginan menjaga Pitha serta anaknya, Divya, Abe memutuskan melindungi mereka dengan cara apa pun, termasuk menjadi bagian dari keluarg...
AKU KEHERANAN MELIHAT empat kotak makan berlogo salah satu catering terkenal di wilayah BSD dan sekitarnya ada di meja makanku. Aku mengais kemungkinan-kemungkinan siapa pengirim makanan rumah tersebut selain Kio, jimat keberuntunganku, sekaligus teman satu kontrakanku. Karena Kio sudah membantah, aku jadi berpikir keras siapa lagi yang rela merogoh kantung cukup dalam demi makanan yang bisa kudapatkan di warteg terdekat dengan harga lebih masuk akal.
Aku berjalan mondar-mandir sembari menekan ujung ponsel ke pinggiran bibir. Sudah empat tahun aku nggak menjalin hubungan khusus dengan cowok mana pun, dan teman-teman dekat perempuanku pasti memilih membelikanku sesuatu yang pasti kuhabiskan tanpa ditunda; kopi atau cake viral.
Aku membaca lagi kartu yang tertempel di paper bag. Mau berpikir salah kirim, tetapi informasi di sana lengkap banget. Namaku; Pitha Athalia. Nomor ponsel juga benar. Bahkan, alamat rumah saja benar-benar akurat dengan kode pos.
Kebingunganku akhirnya menyebutkan satu nama paling masuk akal; Ibu Riri. Kemarin beliau sempat mengeluhkan kondisiku yang katanya terlihat lebih kurus dari pertemuan terakhir kami seminggu lalu.
Aku mendesah.
Aku tahu Ibu Riri menyayangiku seperti anak sendiri sejak kali pertama aku menyewa salah satu kamar di Rumah Matahari sebagai mahasiswa rantau bertahun-tahun silam. Beliau juga rela melakukan yang seharusnya dilakukan orang tuaku sejak tahu Divya hadir di rahimku, menemaniku di ruang persalinan, bahkan merawat Divya untukku. Namun, mengirim catering mahal untukku adalah pemborosan. Lagi pula, dibandingkan masakan orang lain, aku lebih suka masakan Ibu Riri.
Aku mengembuskan napas frustrasi, lalu penuh tekad mengetik balasan pada cowok narsis yang entah dari mana mendapatkan alamat dan nomorku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jangan-jangan si Ronald? Eh, bisa juga dari Mami Riri? Masa iya Papi Yas yang sukarela ngasih ke manusia ini?" tebakku lalu menggeleng kecil. "Udahlah urus si manusia akhir zaman dulu, baru cari tahu dalanganya."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku tersedak ludah membaca balasannya, yang ... haduh!! Apa, sih, yang ada di otak manusia ini? Bagaimana bisa dia membayar catering langsung sebulan buat orang asing? Tolol!