ABERCIO BAGASKARA
GUE TERBURU-BURU mengakhiri kegiatan setelah menyelesaikan laporan. Gue berpamitan singkat, tanpa mengobrol ngalor-ngidul bareng pilot senior, apa lagi bertingkah konyol demi tawa rekan awak kabin. Gue setengah berlari meninggalkan bandara menuju mobil jemputan, mengabaikan tatapan heran orang-orang yang tahunya gue selalu balik paling terakhir.
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Atmadja, gue sadar apa yang gue lakukan ini kayak rakyat sipil yang nekat ikut perang tanpa latihan khusus. Masalahnya gue nggak bisa mengulur waktu demi persiapan ini-itu; mengganti seragam dengan pakaian santai dulu, bawain makanan kesukaan Kian, terutama nyusun rencana agar situasi di rumah Atmadja nggak terlalu canggung.
Bagi gue yang penting ketemu Kian, sisanya bisa dipikir sambil jalan. Daripada gue kebanyakan mikir, terus ragu sendiri.
Gue tiba di rumah utama keluarga Atmadja sekitar pukul dua sore. Belum apa-apa gue udah disambut wajah panik satpam saat membuka gerbang serta ekspresi kebingungan dari kepala pengurus rumah yang menyambut di pintu utama.
Apa Om Ryan dan Tante Yohana menyebar selebaran wajah gue dengan tanda silang besar-besar ke semua pekerja di rumah? Kenapa semua orang bereaksi waspada seakan gue adalah tamu berbahaya?
"Waduh. Waduh ... Mas Abe datang. Tumben," sambut Bik Nem dengan suara pelan, seolah takut mengganggu siapa pun yang ada di dalam sana.
Gue tersenyum masam, mencuri pandangan ke balik punggung Bik Nem. Siapa tahu salah satu anggota Atmadja muncul di area foyer. Kian, misalnya. Ketika pandangan gue kembali menemui wajah Bik Nem, secara spontan ingatan gue mencari-cari kapan keluarga Bagaskara nggak diizinkan masuk kediaman Atmadja. Baru hari ini dan gue yang pertama merasakannya. Rasa getir gue makin menjadi saat Bik Nem milih menutup rapat pintu utama khas desain American Classic yang terbuat dari perpaduan ukiran hitam besi tempa dan kaca sebagai badan pintu, daripada membuka lebar dan mengizinkan gue masuk.
Pergi saja, Mas Abe. Kira-kira begitu yang gue tangkap dari ekspresi wajah dan gerak-gerik Bik Nem setelah gabung sama gue di teras.
"Iya, nih, Bik Nem. Kangen suasana rumah ini. Udah yah lama banget kita nggak ketemu." Gue menolak menyerah. Gue harus masuk dan menemui Kian. Harus.
"Lah, Mas Abe, kan, sudah jarang main ke sini. Terakhir datang waktu ulang tahun Ibu. Setahun lalu." Meski dibalut senyum keibuan yang sering gue terima sedari remaja, rasa sungkan sekaligus nggak sabar gagal disembunyikan Bik Nem.
"Ini mau main. Eh, pintunya malah ditutup," jawab gue sembari mengode ke pintu di balik punggung beliau, dan tatapan memelas Bik Nem semakin menjadi-jadi. "Kenapa, Bik? Tante Hana ngelarang aku masuk? Haduh. Haduh. Jangan-jangan Om Ryan ngancem potong gaji kalau Bibik izinin aku masuk ...."
Bik Nem menghela napas, lalu gue menyusul beberapa detik setelahnya.
Dulu datang tanpa memberitahu pun bakal disambut senyum hangat dan pelukan kecil dari Bik Nem. Hari ini gue berasa di tengah-tengah medan perang dengan badan penuh luka tembak karena salah strategi.
"Anu, Mas Abe. Bibik, tuh—" Bik Nem tergagap, mengedarkan pandangan ke sembarang arah sembari menggaruk-garuk bagian bawah kuping kanan dengan wajah panik. "Gini—"
Alih-alih mencerna atau membantu Bik Nem menyelesaikan kalimat, gue malah terpaku sama sosok yang tiba-tiba muncul dan berdiri di balik pintu. Gue dan dia mengadu tatapan intens, tanpa memedulikan Bik Nem masih kesusahan mencari kalimat pas untuk menggambarkan kondisi rumah sebenarnya. Gue melangkah maju secara otomatis, dan dia buru-buru membuka satu sisi pintu lalu menepuk bahu Bik Nem tanpa melepaskan adu pandang kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Pilot
RomanceBelum sembuh dari patah hati, Abe langsung disibukkan melalui pertemuannya dengan Pitha. Dari rasa tertarik juga keinginan menjaga Pitha serta anaknya, Divya, Abe memutuskan melindungi mereka dengan cara apa pun, termasuk menjadi bagian dari keluarg...
Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi