Bab 34 - Rindu Sepasang Pecinta

299 45 2
                                    

Mereka adalah sepasang pecinta yang memiliki cara sendiri dalam jatuh cinta...


"Sy, tolong bawa ini ke rumahnya Bu Titik."

Jantung Sasy mencelos ketika mendengar sebuah nama wanita dari bibir ibunya. Langkahnya langsung berhenti, dia menoleh. "Bu Titik ...?"

"Iya, Bu Titik ibunya Jati. Kamu masih ingat rumahnya, 'kan?"

Ah, tebakannya benar.

Sasy mengubah tujuannya dari yang hendak ke ruang tengah jadi ke dapur. Dia mendekati ibunya. "Mau nganter apa sih, Bu?"

"Selat." Ibunya memasukkan tumpukan wadah makanan ke dalam tas.

Mau tidak mau Sasy mengernyit. Tumben ibunya membuat selat? Biasanya ibunya memasak selat jika ada acara keluarga atau acara penting lain.

"Ada acara apa, Bu? Kok bikin selat?" tanya Sasy

"Nggak ada. Memangnya harus ada acara dulu kalau Ibu mau ngirim makanan ke tetangga? Ibu cuma lagi bahagia aja. Udah ini, kamu anter sana."

Sasy menatap curiga pada ibunya. "Tapi nggak biasanya Ibu bikin selat. Trus biasanya juga bagi-bagi ke tetangga dekat, ini tumben kok ke Tante Titik?"

Ibunya menjawab dengan senyuman. "Udah sana, anter aja."

Lalu dia menatap tas berisi wadah makanan di atas meja. Mengantar ke rumah ibunya Jati itu tandanya Sasy harus mandi dulu pagi ini. Ah, padahal niatnya tadi ingin bermalas-malasan mumpung lagi libur. Hitung-hitung ingin mengistirahatkan badannya setelah kemarin pergi dengan teman-temannya hingga tengah malam.

"Malah ngalamun! Cepet dianter sana."

Suara ibunya berhasil mengagetkan Sasy. "Iya, Bu. Sasy mandi dulu," sahut Sasy.

****

Sasy menghentikan motornya di depan sebuah rumah. Rumah bercat putih dengan halaman yang luas. Ada sebuah ayunan di halaman tersebut. Lalu banyak pot-pot tanaman yang menghias.

Biasanya Sasy mengunjungi rumah ini hanya tiap lebaran tiba, itu pun bersama dengan keluarganya. Jadi begitu dia datang sendirian ke rumah bernomor 29 ini, dia luar biasa gugup. Entah apa yang membuatnya jadi gugup, tapi kemungkinan besar karena seorang lelaki sebaya dengan kakaknya yang menghuni di dalamnya.

Bahkan sebelum tiba di depan rumah ini, Sasy sengaja mengulur waktu dengan mampir ke minimarket sebentar. Berputar-putar, membeli es krim dan camilan, sembari mempersiapkan hatinya. Sasy mengecek garasi rumah itu. Kendaraan yang dicarinya tidak ada. Seketika dia mengembuskan napas lega. Dia datang di waktu yang tepat.

Disentuhnya dada bagian kiri atas. Dia merasakan organ di dalam sana berdegup dengan kencang.

Duh, jantung, kamu kok malu-maluin, batinnya. Sekali lagi dia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan napas panjang. Setelah itu tangannya terulur untuk menekan bel yang berada di samping pagar.

Tak berapa lama kemudian, seorang wanita paruh baya membukakan pagar lalu menyambutnya. "Eh, Sasy masuk. Aduh, Tante lama sekali nggak ketemu kamu."

Sasy tersenyum dengan canggung. "Pagi, Tante."

Wanita itu adalah pemilik rumah, alias ibunya Jati. Lalu wanita itu membimbing Sasy untuk duduk di teras rumah.

"Sasy kok sendirian? Jati mana?" tanya ibunya Jati begitu mereka duduk bersisian di kursi teras.

Sasy sukses melongo. Dia bingung. Kok ibunya Jati menanyakan Jati padanya? Ya, mana Sasy tahu?

"Nggak tau, Tan. Sasy kan dari rumah. Disuruh Ibu nganter ini ke rumah Tante." Sasy mengulurkan tas yang dijinjingnya kepada ibunya Jati.

Titik menerimanya. "Wah, apa ini, Sy?"

"Selat, Tante. Buatan ibunya Sasy."

"Wah, selat buatan Bu Sekar pasti enak. Makasih ya."

"Iya, Tante."

Titik memperhatikan Sasy. "Jangan-jangan kamu belum ketemu dengan Jati, ya?"

Lagi-lagi dia mendapat pertanyaan tentang Jati. Sasy mengernyit. "Belum, Tan. Memangnya kenapa, Tan?" tanya Sasy. Penasaran karena dari tadi Titik terus-menerus menyebut Jati.

"Jati ke rumah kamu, katanya mau ketemu sama kamu. Ada yang mau dibicarain gitu."

Kernyitan Sasy makin dalam. Ketemu dengan Sasy? Buat apa? Seingatnya, dia sama sekali tidak punya urusan dengan Jati.

"Nggak salah, Tan? Ketemu Mas Gusti mungkin."

Titik sudah bersiap membuka mulutnya ketika terdengar deru motor berhenti di depan rumah. Dari sela-sela pagar rumah, mereka sudah tahu siapa yang datang. Lalu ketika si pengendara motor itu membuka helm dan berjalan masuk ke halaman rumah, Titik tersenyum.

"Tuh, anaknya datang. Tanya aja sendiri, dia mau cari kamu atau Gusti. Tante ke belakang dulu, ya. Naruh selat."

Sasy hanya mengangguk-angguk. Perhatiannya sepenuhnya berada pada seorang pria yang berdiri tak jauh darinya. Sasy sedang sibuk terpesona. Jati tampak rapi. Pria itu mengenakan kemeja dengan lengan yang digulung sebatas siku. Penampilan yang seperti itu tuh yang membuat lutut Sasy lemas. Hari ini Minggu dan ini masih pagi, tapi kenapa Jati berpenampilan serapi itu? Dan kenapa dia bisa terlihat seganteng itu pagi ini?

Jantung Sasy berdetak kencang tidak tahu malu.

Apalagi ketika Jati mempertipis jarak antara mereka, seseorang dalam diri Sasy menjerit kagum. Untung saja Jati tidak bisa mendengar suara di dalam hati Sasy. Dia bertingkah layak ABG yang bertemu dengan artis idolanya.

"Aku mencarimu di rumah tapi kamu malah di sini," ujar Jati. Pria itu kini duduk di kursi teras. Sekarang mereka hanya berjarak satu meja saja.

Sasy menelan ludahnya. Suara serak yang baru saja melewati gendang telinga, membuat lidahnya kelu. Tidak mampu untuk berucap. Seharusnya dia bertanya apa tujuan Jati mencarinya. Namun tidak bisa. Tiba-tiba saja dia kehilangan kemampuan untuk berbicara. Sekadar menggerakkan bibirnya saja tida mampu.

"Sy?" panggil Jati ketika melihat Sasy hanya duduk tegap di kursinya. Jantung Sasy tiba-tiba berdesir ketika mendengar Jati memanggil dengan nama depannya, bukan dengan Khom seperti biasanya. Hanya hal sepele namun perubahan itu menimbulkan efek sungguh berbeda ketika pria lain yang memanggilnya.

Dia hanya memanggilku Sy saja, tapi kenapa rasanya seperti ada yang beterbangan di dalam sini?

Hanya Jati. Ya, memang hanya Jati yang bisa membuat jantungnya ser-seran. Seperti ada yang bermain prosotan di dalam tubuhnya, dari jantung kemudian turun ke hati hingga perutnya bergejolak aneh.

"Sasy?" Suara serak itu memanggilnya lagi.

Kembali, rasa geli menjalar di sekitar perutnya.

"Hah?" Perlahan Sasy menoleh pada Jati.

Pria itu tersenyum. "Aku mau ngomong hal yang serius sama kamu."

Napas Sasy tercekat. Sejak kapan ada hal serius di antara mereka?

Sasy tidak menanggapi kalimat Jati tapi Jati tahu bahwa Sasy sedang menyimak dan menunggu kelanjutan kalimatnya.

"Sy, jadi istri aku, ya?"

***



Jari Manis SasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang