Bab 10 - Sebuah Lelucon Kehidupan

353 43 0
                                    

Pria itu kini muncul di depannya. Berdiri dengan gagah, tampak sehat, tidak berkurang satu apa pun. Kelopak mata Sasy mengerjab tidak percaya. Segala macam perasaan campur aduk di dada. Ada marah, lega, sebal, dan terakhir takut jika Gusti bertemu dengan Denis. Ingat kan, bagaimana ancaman Gusti pagi tadi? Saat ini Gusti memang sedang keluar rumah, namun Sasy tidak bisa memperkirakan kapan kakaknya pulang. Bisa saja beberapa menit lagi, Gusti muncul di rumah.

"Aku nggak disuruh masuk?" tanya Denis tanpa dosa. Dia tampak santai seolah tidak pernah terjadi apa-apa semacam ibunya yang melabrak ibu Sasy tengah malam, misalnya.

Dan kesantaian yang dibawa Denis setelah menghilang seharian, membuat Sasy muak. Ingin rasanya Sasy berteriak: pulang saja sana! Tapi ibunya keburu melihat Denis dan malah mempersilakan Denis untuk masuk ke rumah.

Sasy sukses terkesiap oleh sikap ibunya. Bagaimana bisa ibunya bersikap biasa saja, padahal belum ada duapuluh empat jam lamanya semenjak ibunya Denis meremehkan dirinya?

Bahkan ketika ibunya masih menerima salam uluran tangan dari Denis, Sasy memuji dalam hati. Betapa ibunya memiliki kesabaran yang seluas samudra dan hati yang sebesar semesta.

Namun kesabaran itu tidak ada di hati bapaknya. Sardi melengos dan memilih untuk masuk ke kamar ketika Denis menyapa. Sekar menyusul Sardi.

Denis duduk di sofa, bahkan sebelum dipersilakan. Sasy melipat tangannya di depan dada. "Ngapain kamu ke sini? Eh, tepatnya, ngapain kamu pulang? Minggat sana yang jauh!" sindir Sasy.

"Maaf, Sy. Aku butuh menenangkan diri," ujar Denis.

Hembusan napas berat terdengar dari hidung Sasy, dia duduk di sofa, berhadapan dengan Denis. "Lalu terdampar di pulau mana kamu? Nggak bisa dihubungi."

"Aku cuma berputar-putar di sepanjang pantai Wonogiri."

Lelucon apa lagi ini? Dia seperti sedang dipermainkan oleh keadaan. Bahkan kulit tangannya belum lupa bagaimana rasa ketika butiran air mata dari sang ibu menetes. Lalu bagaimana ibunya Denis mencari seperti orang yang kehilangan akal. Dan apa yang diperbuat Denis?

Dia liburan mengelilingi sepanjang pantai di Wonogiri! Oh, Tuhan.

Sasy tidak habis pikir dengan kinerja otak Denis. Angkat tangan, dia menyerah untuk berusaha memahami. Kini Sasy tidak mengerti sikap seperti apa harus dia tunjukkan pada Denis.

Sisi jahat dirinya malah mengharapkan Gusti segera pulang dan melakukan 'perhitungan' pada Denis.

****

Tak perlu menunggu lama, Gusti langsung mengabulkan harapan Sasy.

Emosi Gusti menggelegak hingga dia kehilangan kesabaran ketika melihat wajah Denis di ruang tamu. Rasa muak dan emosi mengambil alih kewarasannya. Lalu segalanya terjadi begitu cepat, tiba-tiba saja Gusti merangsek ke depan. Sebuah tinju dari kepalan tangan Gusti mendarat di pipi Denis. Denis tidak sempat untuk mengelak. Kepalanya bergerak mengikuti pukulan Gusti. Belum sempat Denis dia tersadar, Gusti mencengkeram kerah baju Denis lalu mendaratkan bogem mentah lainnya. Tubuh Denis oleng dan mundur satu langkah dari tempatnya awal berdiri, sudut bibir Denis sedikit sobek dan mengeluarkan darah.

Sasy terkesiap namun tidak beranjak dari sofa. Lututnya terasa lemas hingga untuk berdiri pun dia tidak kuat.

"Ada apa, Mas?" Denis bertanya dengan kepayahan karena bibirnya sobek. Gerak sedikit saja rasanya sakit. Gurat keterkejutan nampak di wajahnya. Bagaimana tidak kaget ketika tiba-tiba saja Gusti memukulnya hingga babak belur? Tanpa alasan jelas.

"Ada apa, KATAMU?" bentak Gusti.

Seseorang yang datang bersama Gusti berdiri di tengah-tengah pertikaian. Dia menahan Gusti supaya tidak bertindak lebih jauh. "Udah, Gus. Jangan bikin keributan malam-malam gini."

"Minggir kamu, Jat. Orang kurang ajar ini memang pantas untuk dihajar!"

Jati, teman Gusti, susah payah menahan gerakan Gusti yang ingin merangsek ke Denis lagi. Merasa tidak berkutik karena Jati, Gusti akhirnya hanya bisa membentak Denis.

"Masih berani kamu menunjukkan muka di rumah ini? Perhitunganku sudah selesai, sekarang PERGI dari sini dan berlindung sana di balik ketiak ibumu!"

Denis yang masih shock dengan pukulan bertubi-tubi dari Gusti, sekarang mengernyit. Kenapa mamanya disebut?

"Gus!" Sekar tergopoh-gopoh keluar dari kamar dan menghampiri ruang tamu ketika mendengar suara hantaman disusul teriakan dari anak lelakinya. Dia melihat Denis yang memegangi pipi sementara Gusti berdiri dengan urat kepala menegang. Lalu Jati berada di tengah-tengah mereka. "Apa-apaan kamu, Gus?"

"Aku memberi pelajaran ke bocah ini, Bu."

"Ada apa, Mas Gusti? Tante? Aku nggak ngerti kenapa Mas Gusti tiba-tiba memukul," tanya Denis meminta penjelasan.

"Tanya sama orang tuamu! Kenapa kemarin malam dia kemari dan melabrak Ibu!"

Denis membelalakkan mata. Dia tidak tahu mengenai kejadian yang diceritakan Gusti. Pagi tadi ketika dia pulang, ibunya menyambut tanpa menceritakan apa pun. Melabrak ibunya Sasy? Denis langsung menatap Sekar yang berdiri di samping Gusti. Jika memang benar yang diceritakan Gusti, Denis merasa malu dan tidak punya muka di hadapan ibunya Sasy.

"Maafkan Mama, Tante." Denis tidak berani mengangkat kepalanya. Berdiri tertunduk, bersiap untuk menerima hukuman selanjutnya.

"Tante maafkan," ucap Sekar, membuat semua orang yang berada di ruang tamu sontak menoleh padanya.

"Bu!" Gusti-lah yang pertama kali memprotes. "Kenapa Ibu bisa begitu mudahnya memberi maaf? Gusti nggak rela!"

"Sasy," panggil Sekar, menghiraukan protes anak lelakinya. "Bawa Denis pulang. Lukanya harus segera diobati."

Sasy menganggukkan kepala dan berjalan seperti robot. Sedikit menyeret, Sasy menarik tubuh besar Denis keluar kemudian menyuruh pria itu untuk pulang.

"Sy." Denis menghentikan langkah ketika sudah berada di samping motornya. Dia berbalik untuk memandang Sasy. "Gimana cerita lengkapnya?"

"Nggak tahu. Kemarin aku lembur."

Denis masih memandang Sasy, mencari-cari kebohongan dari wajah Sasy.

"Beneran, aku nggak tau. Bahkan kalo pagi tadi Mbak Riska nggak cerita, aku juga nggak tau," jelas Sasy.

Menundukkan kepala, Denis kembali menyuarakan penyesalan. "Maafkan Mamaku, Sy."

"Mungkin dengan kejadian ini kamu bisa mulai berpikir, Den. Kamu nggak bisa bertingkah semaumu aja. Bisa jadi karena sikapmu yang seenaknya, hati orang lain jadi terluka."

Denis mendongakkan kepala. Matanya langsung bertubrukan pada sepasang iris berwarna cokelat milik Sasy. "Kita ... nggak pa-pa, kan? Ini nggak akan mempengaruhi hubungan kita kan?"

Bola mata Sasy bergerak-gerak ke arah lain. Artinya Sasy sedang gamang. Dia menggigit bibir bawahnya. Ketika Tiwi sudah berbuat sejauh ini kepada orang tuanya, pertanyaannya, masih bisakah Sasy berteman dengan Denis seperti dahulu?

"Entahlah, Den," jawab Sasy dengan lirih. "Pulanglah."

Jawaban Sasy melukai hati Denis, jauh lebih perih dibandingkan sudut bibirnya yang terkena bogem mentah dari Gusti. Denis melangkah mundur dan berpamitan. Hanya sebuah anggukan yang diberikan Sasy sebagai ganti sahutan pamitnya. Dengan tanpa semangat Denis naik ke motor lalu melajukan motornya membelah gang sempit di depan rumah Sasy. 

***

Hai... hai... Aku update lagi loooh *pamer*
Ada yang gemes sama Denis gak? Tuh deske udah ditonjok Maa Gusgus. Puas yaaa :)))
Selamat membaca, umumumu :*
Salam sayang

Jari Manis SasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang