Bab 24 - Berdua

316 38 2
                                    


Suara gigi yang beradu dengan keripik kentang mengusik telinganya. Bergabung dengan suara notifikasi ponsel yang berbunyi tanda henti. Sasy menoleh ke sebelah kanan, di mana Gusti duduk dengan punggung bersandar pada sofa dan sibuk memamah biak. Sementara di sebelah kirinya, ada Jati yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Selanjutnya Jati terkekeh-kekeh sendiri kemudian mengetikkan sesuatu. Habis itu, dia terkekeh lagi. Telinga Sasy risih jadinya.

Sasy memejamkan mata, menahan emosi. Rasanya Sasy ingin berteriak keras karena ketenangannya terusik. Kenapa dua orang ini harus mengganggu Minggu malamnya, sih? Tadi dia sedang menonton televisi sendirian lalu dua makhluk ini muncul dan mengobrak-abrik zona nyaman Sasy.

Sekali lagi suara kekehan itu terdengar. Sasy sudah tidak sabar menahan rasa penasarannya. Dia pun nyeletuk, "Itu ponsel bunyi terus, dari siapa sih?"

Jati mengalihkan matanya dari ponsel untuk menatap Sasy. Keningnya berkerut. "Apa?"

"Ponselmu bunyi terus itu dari siapa? Dari tadi ketawa-ketawa sendiri kayak orang gila. Berisik."

Jati malah mengulaskan senyumnya. Matanya melirik pada layar ponselnya. Di layar sana, seseorang sedang memanggil-manggilnya di chat. Sebenarnya Jati sedang mengobrol di group chat yang berisi keluarga besarnya. Dan malam ini sepertinya sedang banyak yang sedang online sehingga ponselnya ramai. Dia tidak menyangka Sasy akan menanyakan mengenai keramaian group chat-nya. Maka dia berniat untuk sedikit menjahiili Sasy.

Jati mengetikkan sebuah pesan di group chat untuk berpamitan.

Jati : Wait ya, aku ada perlu penting di dunia nyata.

Kemudian Jati kembali menatap Sasy. "Temen."

Sasy mendengus. "Temen apa temen? Temen tapi demen? Temen tapi mesra atau temen makan temen. Di luar bilang temen, eh, di belakang gandengan tangan," cibir Sasy panjang lebar.

Jati tergelak karena mendengar cibiran dari Sasy. Inilah Sasy yang sebenarnya. Sasy jika tidak sedang canggung di dekatnya, adalah seorang yang ceplas-ceplos. Jati bicara satu kata saja, Sasy akan membalas dengan berbaris-baris kalimat.

Sementara itu Gusti langsung melempar muka Sasy dengan bungkus snack yang sudah habis isinya. "Cerewet. Mending kamu beli makanan atau masak apa gitu. Mas laper belum makan."

Sasy melirik sebal pada kakaknya kemudian dia menyelipkan bungkus snack tadi ke dalam kaus Gusti, membalas dendam. "Belum makan? Lha dari tadi tuh Mas Gusti ngapain sih?"

"Asem!" umpat Gusti. Dia berusaha mengeluarkan bungkus snack dari dalam kausnya. "Tadi itu nyamil bukan makan! Yang namanya makan itu ya pake nasi, sayur, trus lauk, ditambah kerupuk juga boleh. Sama teh anget tambah mantep. Makanya masak sana masak! Laper, Sy."

Saat ini orang tuanya memang sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang menghadiri pernikahan di desa. Tadi sore Sasy melihat isi kulkasnya sedang kosong. Persediaan makan habis. Sementara Gusti rewel dan merengek minta makan. Lihat saja bahu Gusti yang terus-terusan menyenggol bahunya.

"Ayolah, Sy, masak. Laper."

Sebentar lagi mungkin Gusti akan gulung-gulung di lantai karena Sasy tidak segera beranjak dari sofa.

"Pesen delivery aja! Manja amat! Aku lagi males keluar. Lagi mager!"

Gusti berdecak. "Jat, tolong anterin Sasy ke pasar atau ke mana gitu beli makan. Lagi manja, tuh!" putus Gusti secara sepihak.

Sasy langsung menegakkan punggungnya. Dia mencubit lengan kakaknya. "Yang manja siapaaa? Ah, ganggu orang aja deh Mas Gusti ini! Makan aja di luar sana! Aku udah pake baju tidur gini, udah siap-siap mau tidur."

Suara kunci yang beradu menghentikan adu mulut antar saudara itu. Gusti dan Sasy menoleh pada Jati yang sudah berdiri. "Yuk, aku anter. Kebetulan lagi laper juga."

"Tuh!" Gusti mendorong sebelah pundak Sasy. "Ganti baju dulu sana. Pake celana panjang biar nggak pamer betis paha. Daripada nanti dikejar sama penjual ayam pinggir jalan, mau digoreng."

Sasy memberi tatapan membunuh untuk kakaknya. Dengan terpaksa dia berdiri lalu berjalan ke kamarnya. Langkah kakinya menghentak-hentak ke lantai. Segera dia mengenakan celana training panjang dan jaket kebesaran untuk melapisi baju tidurnya. Begitu dia keluar, Gusti mengomentari lagi.

"Buset. Kamu mau jalan sama Jati pake baju begitu? Nggak liat tuh Jati pake celana jins sama kaus rapi!"

"Masa iya ke pasar aja pake dress, Mas! Bawel banget, sih! Salahin aja aku terus, Mas!"

Tangan Jati memberi kode pada Sasy untuk segera pergi. Pria itu duluan berjalan keluar. Dengan setengah hati Sasy mengekor Jati.

Gusti berteriak dari dalam rumah. "Pokoknya makanan kesukaan aku ya, Sy."

Sasy berdesis. "Mas Gusti makanan apa aja suka!" balas Sasy.

***

"Jadi kita ke mana?" tanya Jati ketika mereka ada di teras.

Sasy berpikir sejenak. Sudah malam begini, tidak ada pasar yang buka. Sementara kakaknya itu aneh-aneh saja minta dimasakin. Tingkahnya seperti orang yang sedang nyidam. Nggak ngasih duit lagi.

"Ke supermarket situ aja deh," jawab Sasy. Jarinya menunjuk ke satu arah. Jati mengangguk, mengerti tempat yang dimaksud oleh Sasy.

Mereka berdua pun berboncengan menuju supermarket dekat rumah Sasy. Tidak ada percakapan yang terjadi selama di perjalanan. Jati sibuk menyetir sementara Sasy sibuk membonceng.

Sekitar sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai di parkiran. Mumpung sedang berada di supermarket, Sasy memanfaatkan waktunya dengan berbelanja bulanan. Jati tidak memprotes karena dia pun sepakat dengan Sasy. Buktinya dalam troli belanjaan yang ditarik Jati ada sampo dan belanjaan lainnya. Hingga tiba-tiba saja Sasy merasa canggung ketika mereka melewati lorong yang berisi bermacam-macam pembalut. Sasy ingin mengambil salah satu namun dia canggung karena ada Jati di belakangnya. Sasy menggigit bibirnya. Di tengah kebingungannya, Jati malah memanggilnya. Sasy menoleh.

Jati menunjuk pada tumpukan pembalut. "Nggak mau beli?" ujarnya dengan muka yang datar. Bahkan Jati malah membaca merek pembalut yang ada di depan matanya.

Pipi Sasy rasanya memanas. Tangannya segera mengambil salah satu, memasukkannya dalam troli dan menutupinya dengan belanjaan lain. Lalu dia menarik lengan Jati supaya lanjut berjalan. Dia mendengar Jati terkikik di belakangnya. Bodo, ah. Sasy sudah terlanjur malu.

"Trus, Gusti mau dimasakin apa, Sy?" tanya Jati ketika memperhatikan trolinya penuh dengan belanjaan Sasy dan Jati namun tidak ada bahan makanan di dalamnya.

Mendengar pertanyaan Jati, otak Sasy langsung mencetuskan ide cemerlang. Kakinya melangkah menuju lorong di pojok supermarket. Jati mengikuti langkah Sasy. Dan tibalah mereka di depan tumpukan mie instan. Segera Sasy mengambil mereka dengan acak. Dia sengaja membeli segala macam rasa; ada iga bakar, soto, kare, sate, bakso, apa pun. Jadi Gusti tinggal pilih saja dia mau dimasakin apa—dalam bentuk mie.

Sasy menyeringai pada Jati. Pria itu tertawa terbahak-bahak, membayangkan reaksi Gusti ketika membuka belanjaan mereka.

"Terserah kamu aja lah. Tapi kita makan di luar, ya? Aku beneran laper, Khom."

"Ayam bakar depan aja," sahut Sasy.

Jati menunjukkan dua jempolnya untuk Sasy. Lalu mereka berjalan beriringan menuju kasir untuk membayar.

****

Jari Manis SasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang