Bab 21 - Penolakan

326 34 7
                                    

Seminggu berselang semenjak dia pulang dari Bromo, Sasy masih ragu untuk bercerita ibunya. Sampai akhirnya dia ada pada titik di mana dia tidak sanggup menyimpan semuanya sendiri, dia pun membulatkan tekad untuk mencurahkan kegelisahannya pada sang ibu. Sasy mendekati ibunya yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah. Jam-jam mendekati maghrib seperti sekarang ini, sudah pasti bapaknya sudah ada di masjid; bersiap untuk azan. Sementara Gusti tampaknya masih asyik mengurung diri dalam kamar.

"Bu, Sasy mau tanya."

Sekar menoleh, memperhatikan Sasy yang gerak-geriknya sedikit aneh. Sasy menggaruk-garuk pipi untuk menyembunyikan rasa canggung. Menggeser sedikit badannya, Sekar menepuk sofa di sampingnya sebagai isyarat supaya Sasy duduk.

Sasy menurut. Selanjutnya dia tidak mengucapkan apa pun, malah menunduk dengan kesepuluh jari bertautan. Tangan Sekar meraih remote televisi untuk mengecilkan volume. Sekar memutar badannya sedikit supaya bisa menghadap pada Sasy.

"Tanya apa? Kok malah diam, Nduk?"

Jari tangan Sasy menggaruk pelipis kanannya, lalu dia mendongak; membalas tatapan ibunya. Sebelum berucap, dia menggigit bibir bawahnya.

"Emm ... Sasy mau tanya. Gimana hukumnya wanita yang dilamar sama pria ya, Bu? Eh, gimana, sih?" Sasy gelagapan. "Ya, pokoknya gitu lah, Bu."

Sekar mengerutkan keningnya. Kenapa anaknya tiba-tiba bertanya mengenai wanita yang dilamar? Dan lagi sikap Sasy membuatnya sedikit curiga. "Kamu itu ngomong apa? Ibu nggak mudeng (mengerti). Ada yang melamar kamu?" tebak Sekar.

Kini dia mematikan televisinya, memilih untuk fokus mendengarkan cerita Sasy.

Posisi duduk Sasy makin tidak tenang dengan telapak kaki yang bergerak, tidak mau diam. Dia kembali menunduk. "Iya, Bu," jawab Sasy lirih.

"Siapa?" Sekar memutar pundak Sasy supaya menghadapnya. "Denis atau Aji?" Sekar menyebutkan dua nama pria yang akhir-akhir ini dekat dengan anaknya.

"Emm." Sasy bingung mau menjawab. Terjadi gempa ringan di mata Sasy, manik matanya bergerak ke segala arah. "Dua-duanya, Bu."

"Lho?" Sekar baru membuka mulutnya namun Sasy kembali menyerobot.

"Tapi aku tolak semua kok, Bu."

Sekar terkejut dengan jawaban Sasy. Tapi dia memilih untuk mendengar cerita lengkap yang lebih lengkapnya dulu. "Kapan mereka ngelamar kamu?"

Sasy menjawab dengan malu-malu. "Mas Aji ngelamar pas di Bromo. Dua hari setelahnya Denis lamar. Dan aku tolak, jadinya dia minggat dari rumah dan ibunya ngelabrak ke sini, Bu."

Sekar manggut-manggut, sekarang dia sedikit lebih mengerti. "Trus kenapa kamu tolak mereka berdua?" Sekar mengelus rambut Sasy, menyelipkan rambutnya ke balik telinga.

"Aku nggak punya keinginan untuk menikah dengan salah satu dari mereka, Bu. Sasy salah nggak sih? Dosa nggak sih, Bu? Menolak dua pria yang sama-sama soleh dan punya niat baik sama Sasy."

"Setahu Ibu, nggak berdosa seorang wanita yang menolak lamaran pria soleh kalau memang tidak punya keinginan menikah dengan pria yang melamarnya itu."

Sasy menghela napas. "Sasy jadi agak tenang, Bu."

"Tapi kamu nggak kasian sama Denis? Dia udah nunggu kamu bertahun-tahun."

"Selama bertahun-tahun itu Mamanya Denis nggak menerima aku, Bu. Memangnya Ibu masih mau menerima Denis setelah diperlakukan nggak baik sama Mamanya Denis?" Sasy sengaja membalik pertanyaan, sekedar ingin tahu bagaimana pandangan ibunya mengenai keluarga Denis.

Jari Manis SasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang