Bab 14 - Packing

323 44 2
                                    

Berkenalan dengan Aji itu harus selalu siap dengan segala kejutannya. Pria pendiam itu tidak henti-hentinya membuat Sasy geleng kepala karena takjub. Sama seperti sore ini, tiba-tiba saja pria itu muncul di depan rumah Sasy, masih dengan keril di punggungnya lalu menyapa Sasy dengan wajah yang berbinar-binar.

"Aku baru aja sampai di Solo dan langsung ke rumah kamu."

Sasy mengerutkan keningnya. Bukannya pulang ke rumah, tujuan pertama Aji begitu mendaratkan kaki di Kota Solo justru rumah Sasy. Tentu saja Sasy bertanya-tanya.

"Kenapa malah nyasar ke sini?" tanya Sasy, heran.

"Pengen buru-buru ketemu kamu," jawab Aji. Tidak ada nada menggoda dalam suaranya, dia serius. Pria itu menatap dalam pada Sasy. Wajah yang senantiasa dirindukan selama beberapa minggu di Kalimantan. Tanpa ditunda lagi, dia menyerap seluruh pemandangan di depannya hingga ruang hatinya yang sempat kosong menjadi penuh.

"Udah ketemu kan? Pulang sana, istirahat!" usir Sasy.

Aji terkekeh. Perempuan di depannya ini memang kadang galak—lihat saja kedua alisnya yang tebal—namun kadang anteng, bikin kangen.

"Sy," panggil Aji. Dia menatap lekat Sasy lalu menarik napas. "Besok aku ajak ke Bromo, mau?"

Lega rasanya setelah mengungkapkan tujuan kedatangannya sore ini pada Sasy. Aslinya, dia sudah tidak sabar untuk mengajak Sasy sehingga ketika turun dari pesawat, kedua kaki pria itu membawa tubuhnya ke depan perempuan ini.

Sasy langsung mencak-mencak. "Mas Aji, bener-bener deh! Ngajak ke Bromo kok kayak ngajak ke Balekambang aja. Balekambang deket, setengah jam juga nyampe. Lha ini Bromo ... semalem baru nyampe!" omel Sasy.

Aji mesam-mesem saja. "Kan dulu aku udah bilang mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Tapi nggak mendadak gini juga," sahut Sasy. "Sabtu deh, aku minta cuti dulu sampe hari Senin."

Senyum terkembang di bibir Aji. Dia tahu Sasy pasti menyanggupi ajakannya walaupun harus diawali dengan omelan. Inilah nilai tambahan Sasy di mata Aji. Perempuan itu easy going dan mau kalau diajak ke mana-mana.

"Oke, aku udah bisa pulang dengan tenang kalau gini. Sampai ketemu dua hari lagi, Sy. Salam untuk Om dan Tante," pamit Aji.

Aji hendak berbalik badan ketika Sasy menyela. "Mau pulang naik apa? Mas Aji tadi ke sini naik apa?"

Aji menoleh pada Sasy lalu mesem. "Tadi dari bandara naik bus, turun di jalan depan. Ini mau naik angkot atau bus ajalah ke rumah," jawab Aji.

Sasy langsung berdecak. "Ck! Suka banget sih capek-capek. Harusnya tadi ke rumah dulu baru ke sini. Bentar aku anter pulang." Sasy berbalik masuk ke dalam rumahnya lalu keluar dengan mengenakan jaket dan membawa kunci motor di tangannya. Kemudian kunci motor itu dia serahkan pada Aji. "Yuk."

Seringai muncul di bibir Aji. Walaupun menggerutu, pada dasarnya Sasy tidak tegaan orangnya. Jadi mana mungkin Sasy tega membiarkan Aji pulang naik bus atau angkot? Hati Aji sedang bersorak saat ini karena dia mendapat waktu lebih untuk berduaan dengan Sasy.

****

Dua hari berlalu dengan cepat hingga tiba waktunya mereka berangkat ke Bromo. Sasy sudah bersiap di rumah, barang bawaannya sudah di-packing kemarin malam jadi sepulang kerja dia tinggal menunggu Aji menjemput.

"Baju hangat udah dibawa kan?" tanya ibunya sekali lagi. Kemarin malam ibunya sudah menemani Sasy packing dan sore ini kembali mengecek barang bawaan Sasy.

Malam hari setelah kepulangan Aji, pria itu kembali mengulang kedatangannya di rumah Sasy dengan niat ingin meminta ijin pada kedua orang tua Sasy. Tidak sopan rasanya jika mengajak pergi anak orang tanpa menanyakan dulu pada orang tuanya. Bapak dan Ibu Sasy mengijinkan Sasy pergi bersama Aji karena mereka percaya pada Aji. Di mata Sardi dan Sekar, Aji adalah pria yang santun dan tidak neko-neko, selain itu di Bromo nanti mereka akan ditemani oleh keluarga Aji yang ada di Malang sehingga orang tua Sasy lebih tenang.

"Udah, Bu."

"Mau dijemput jam berapa?" tanya Sardi.

Pertanyaan Sardi terjawab oleh suara salam dari luar rumah.

"Assalamualaikum."

Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul. Sasy menyambut kedatangan Aji lalu menyuruhnya masuk ke dalam. Pria itu mengenakan jaket berwarna biru laut dan celana jins. Wajah gantengnya terlihat cerah, secerah langit di atas sana. Sebelum duduk di kursi ruang tamu, Aji menyalami Sardi dan Sekar.

"Sehat, Om, Tante?" Aji membuka obrolan dengan orang tua Sasy.

"Alhamdulillah, Ji. Kalau mau ikut nanjak ke Bromo juga masih kuat." Sardi menjawab dengan diselingi kelakar.

"Ikut aja nggak pa-pa, Om," sahut Aji.

"Bosen, Ji. Om dulu pernah ngonthel ke sana."

"Wah, anak onthel ya, Om?"

Sardi mengangguk-angguk. "Zaman muda dulu." Kembali Sardi terbahak ketika mengingat masa mudanya. "Tapi sekarang sepeda Om ada di rumah Pak Dhe-nya Sasy, nggak pernah dipakai lagi."

"Berangkat sekarang apa nanti, Mas?" Sasy memotong perbincangan antara bapaknya dengan Aji. Kalau tidak dihentikan, bapaknya pasti cerita ngalor-ngidul. Entah kenapa bapaknya ini memang klop dan lebih terbuka dengan Aji.

"Yang nggak sabar pengen cepet-cepet," sindir Sardi, tahu kalau anaknya sengaja menginterupsi obrolannya.

"Apa sih, Pak? Keburu sore ini nanti Bromo-nya keburu pergi," ujar Sasy ngelantur.

Aji terkekeh saja.

"Huss... huss... udah malah ribut, to." Sekar menengahi. "Berangkat sana, hati-hati di jalan ya. Aji... Ibu titip Sasy, ya," pesan Sekar pada Aji.

"Nggih, Tante." Aji mengangguk.

Sasy sudah mencangklong tas ranselnya di punggung. Dia hanya membawa tas ransel saja yang berisi baju ganti, jaket tebal, sarung tangan, peralatan mandi, dan obat-obatan. Kemudian Sasy mencium punggung tangan kedua orang tuanya, berpamitan.

"Sasy berangkat dulu, Bu, Pak."

Aji ikut berpamitan setelahnya.

"Pak Supirnya disuruh pelan-pelan aja ya, Ji. Nggak usah ngebut-ngebut. Bromo masih ada di sana kok nggak bakal pergi ke mana-mana." Sekar berpesan sekali lagi.

"Nggih, Tante. Ini Sasy saya pinjem dulu, saya kembalikan besok Senin," canda Aji.

Suara tawa menyusul setelahnya.

Sasy mendelik. Pinjam? Memangnya dia barang?

Sekar dan Sardi mengantar sampai ke depan rumah. Sasy naik ke boncengan Aji. Motor Aji kemudian membawa keduanya menuju ke rumah Aji. Di sana mereka sudah ditunggu oleh mobil yang akan membawa mereka ke Bromo. Rombongan mereka nanti akan terdiri oleh Pak Supir, Aji, Sasy, dan Pandu—adik Aji. Setelah sampai di Malang, Pak Dhe dan sepupu Aji akan ikut menemani.

****

Jari Manis SasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang