04 | Siapa?

41 6 0
                                    

"Adh, bayangin deh. Misalnya kamu disini terus ada cowok yang deketin kamu. Gimana rasanya?" Dinda terus berceloteh membuat Adhnia yang sedang asik memotret tiap bingkai alam karya Tuhan ini dengan fokus jadi berdecak. Tapi tetap saja, namanya juga Dinda, bahkan sampai orang yang diajaknya bicara itu marah, dia tak akan pernah merasa bersalah.

"Diem bentar kali, Din. Aku lagi fokus motret ini, lho. Mbok ya kamu anteng." Adhnia terus membidik kameranya ke arah alam yang terbentang luas di depan matanya. Betapa indahnya alam ini. Adhnia tersenyum ketika melihat hasil foto yang dijepretnya.

Dinda menengok ke kamera milik Adhnia, ikut tersenyum dan mengomentari jepretan yang dihasilkan oleh tangan lentik Adhnia. Betapa menyenangkannya sedikit merefresh pikiran mereka dengan pemandangan indah semacam Puncak Becici ini. Sudah lama Dinda ingin kemari, sejak dia membaca blog milik Adhnia.

"Udah jam sebelas, Din. Mau pulang sekarang apa nanti?" Adhnia perlahan memasukkan kamera ke dalam tas khusus dengan teliti. Matanya melirik ke arah jam Daniel Wellington yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Yaudah, Adh kita pulang aja." Dinda menganggukkan kepalanya lantas membereskan isi tas yang tadi dikeluarkannya. Dinda dan Adhnia akhirnya berjalan menuju tampat dimana motor mereka terparkir.

Perjalanan dari Puncak Becici menuju Jogja Kota dengan perjalanan mereka yang santai mencapai hampir empat puluh lima menit. Cukup banyak kendaraan yang memadati jalanan Jogja siang ini, lantaran mereka──terutama yang lelaki──akan melaksanakan salat Jumat.

"Kita berenti di warung dekat kantor DPRD aja dulu, Din." Adhnia memberikan instruksi kepada Dinda yang sedang menyetir.

"Mau ngapain, Adh?" Dinda membuka kaca helmnya lalu menarik masker mulut yang menutupi hidung dan mulutnya dari debu di sepanjang perjalanan.

"Pengen soto. Sama sekalian nungguin yang salat lah, Din. Biar kamu dapet pencerahan, dengerin pak ustaznya ceramah, ben kamu nggak pecicilan terus." Dinda memukul pelan kepala Adhnia yang terbungkus helm. Adhnia tergelak karena berhasil membuat Dinda kesal.

"Bayarin ya, Adh?"

"Apaan. Moh. Kita punya gaji masing-masing lho ya. Ndadak minta jajain segala. Ewh." Adhnia pura-pura mengikuti aksen milik Ayu. Keduanya kini tergelak. Tak ada lagi kesal yang tadi bersarang sejenak di hati Dinda.

Dinda segera membawa motornya menuju parkiran di Malioboro Mall lantaran di sepanjang jalan Malioboro tidak ada tempat parkir. "Aku jadi pengen shopping deh, Adh."

"Eh iya ya, Din. Beli baju buat acara besok."

"Kalo kui mah kamu yang butuh. Kamu kan bakalan menghadap khalayak ramai, jadinya perlu sentuhan yang baru-baru dikit."

"Halah apaan."

Adhnia dan Dinda akhirnya berjalan beriringan keluar dari mall, menuju warung di depan kantor DPRD yang dengan rapinya menjajakan dagangan mereka. Siap menerima pengunjung yang sedang lapar. "Mau makan apa?"

Adhnia terdiam, menelusuri setiap warung yang mungkin saja makanan yang dijual berhasil menarik perhatiannya. Soto adalah satu-satunya makanan yang berhasil membuat perut Adhnia keroncongan siang itu, membuatnya menelan ludah karena kerongkongannya telah terlampau kering. Butuh asupan air agar tak lagi kering.

"Soto?" Dinda hanya mengangguk menerima tawaran Adhnia untuk makan soto. Keduanya kini memasuki warung tepat di depan masjid di kawasan kantor DPRD. Memesan dua mangkuk soto, satu es teh tawar dan satu es jeruk beserta sundukan usus yang dibumbu kecap.

Masjid sudah mulai ramai didatangi banyak lelaki yang hendak melaksanakan salat Jumat. Parfum dengan wangi maskulin menyeruak ke indra penciuman Adhnia juga Dinda. Keduanya menatap gerombolan lelaki dengan peci hitam, baju koko warna putih serta sarung kotak-kotak mereka. Begitu teduh dan menenangkan hati.

STAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang