THIRTY ONE : MOMENT

117 6 8
                                    

Moment

Bila cinta sudah keras kepala, siapa yang berani menundanya? - Adara✍

❣❣

Pelajaran Bu Desi berjalan dengan mulus. Ulangan tentang kingdom animalia dijalani Dara dengan baik walau sedikit menegangkan. Dara segera mengumpulkan lembar jawabannya dan bersamaan dengan itu terdengar suara bel istirahat yang begitu nyaring. Beberapa siswa yang belum sepenuhnya menyelesaikan ulangan pun riuh tak karuan. Bu Desi yang sangat ketat dengan peraturannya saat ulangan 'jujur atau mati' yang err- terdengar mistis membuat semua yang berada di ruangan itu lantas mengurungkan niat mereka untuk mengambil jalan pintas dengan menyalin jawaban teman. Mereka lebih memilih pasrah dengan hasil yang seratus persen adalah dari pemikiran mereka sendiri.

Bu Desi mulai menghitung mundur dengan mata yang terus tajam memperhatikan setiap gerak-gerik makhluk di ruangan itu.

"...satu!" Pekik Bu Desi selesai menghitung mundur membuat semua langsung bergegas mengumpulkan lembar jawabannya sebelum Bu Desi beranjak keluar dan takkan memberikan kesempatan walaupun hanya sekali.

"Baiklah, anak-anak. Sampai sini dulu. Ingat..." Bu Desi menjeda kalimatnya, membuat suasana seketika menjadi sangat hening dan semua sudah antusias untuk mendengar kalimat lanjutan guru biologi itu.

"sehat itu mahal. Jangan sampai mata ibu ini menangkap kalian lagi asik dengan si merah pembunuh itu." Peringat Bu Desi yang sepertinya lebih cocok disebut sebagai ancaman. Kehidupan siswa disekolah yang tak luput dari yang katanya 'si merah pembunuh' alias saos memang membuat Bu Desi ingin sekali menutup setiap kantin yang ada disekolah, namun kembali lagi, itu bukanlah haknya.

Benar, pengalaman adalah guru yang terbaik. Dan Bu Desi sendiri sudah belajar dari pengalaman keluarganya, tepatnya anaknya, dimana anaknya mengidap penyakit akut yang menurut penjelasan dokter disebabkan oleh faktor utama saos yang sering dimakannya disekolah. Itulah sebabnya, Bu Desi sangat anti dengan makanan itu, dan ia tak ingin ada anak-anak lain yang menjadi korban selanjutnya.

Semua menghela nafas. Ada beberapa yang memasang wajah dongo. Dan beberapa lagi memasang wajah kesal. 'Kirain apaan.' begitu kira-kira maksud ekspresi mereka.

"Mengerti?" Ucap Bu Desi disertai senyum sarkastiknya.

"Ngerti, Bu!!" Balas mereka serempak. Bu Desi menganggukkan kepalanya mantap lalu beranjak keluar kelas. Semua pun melanjutkan aktivitas masing-masing.

"Gilee!! Yang gue hafal apa yang keluar apa. Bener-bener dah!" Gerutu Farin menyeka keningnya seolah-olah sedang menyeka keringat yang sebenarnya setitik pun tidak ada disana.

Dara hanya meresponnya dengan senyuman. Farin mengangkat satu alisnya.

"Senyam-senyum kaya baru dapat undian, hm.. gini nih, temennya lagi susah juga." Farin mengerucutkan bibirnya.

Dara terkekeh kecil. "Ngga gitu, Farin."

"Ck, udah ah gue laper." Dara meraih tangan Farin yang hendak beranjak itu.

"Eh.. tunggu dulu, gue mau cerita." Rengek Dara lalu tersenyum sok manis.

Farin memutar kedua bola matanya jengah. "Perasaan Lo bisa cerita di kantin deh."

Dara menggeleng cepat lalu memperhatikan keadaan sekitar yang kini hanya tinggal ia, Farin dan satu lagi teman sekelas mereka yang sudah beranjak keluar. "Mumpung sepi, ini secret banget, suer!" Dara membentuk huruf V dengan kedua jarinya.

Farin berdehem. "Cerita apaan?" Ucapnya akhirnya. Dara menarik nafas lega.

"Dion." Ucapnya yang langsung dibalas dengan tatapan penuh tanya oleh Farin.

Mendung Jangan Pergi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang