Chapter 10 : "Zen si Narsis"

21 6 10
                                    

"KATAKAN! CEPAT KATAKAN!" bentak seseorang yang tiba-tiba lepas kendali. Ia berdiri sambil menghantamkan telapak tangannya pada sebuah meja di depannya.

"Bukan saya, sumpah Pak! Bukan saya pelakunya." Balas seorang pria 30an berkacamata dengan lirih.

"KAMU JANGAN MEMBANTAH! MENGAKU SAJA KAMU! KAMU INGIN AKU HAJAR BARU AKAN MENGAKU?!" Ancam pria berkemeja putih bertubuh kekar itu.

Pria bertubuh kekar itu adalah seorang polisi. Dia merupakan salah satu anggota dalam tim investigasi kasus pembunuhan di kamar "Love hotel" yang tak lama ini terjadi.

Dan pria yang duduk di seberang meja sambil gemetaran bak seekor kelinci yang ketakutan itu tidak lain adalah tersangka dari kasus pembunuhan keji tersebut.

Si polisi kekar ini benar-benar kesal dan hampir kehilangan kesabarannya selama menginterogasi pria kurus di depannya ini.

Ketika ia hendak kembali membentak tawanannya, terdengar suara malas dari arah pintu masuk ruang interogasi.

"Percuma... Memang bukan dia pelakunya."

Seorang pemuda tampan tampak bersandar malas di sisi pintu.

Ketika semua padangan dari ruangan itu tertuju padanya, iapun tersenyum dan melangkah masuk dengan santainya.

Alis polisi kekar itu sempat berkedut ketika melihat pemuda itu dan ia terus melototi si "pengganggu" ini.

"Hey, Ando. Kau tak perlu menatapku seperti itu. Aku tahu aku ini begitu tampan dan mempesona. Tapi aku tak mungkin bisa menerima cintamu. Aku bukanlah seorang gay, Ando. Jadi tolong jangan memintaku mengembalikan perasaanmu... "

Mata Ando berkedut, ia mengepalkan tangannya dengan kuat dan kau bahkan bisa melihat urat-urat nadinya mulai bermunculan. Ando benar-benar merasa muak dengan orang gila narsis satu ini. Dia benar-benar ingin menampar, membanting, meremes lalu meremukan semua tulang-tulang bedah sialan terkutuk yang narsis ini!

Pakkk...

"Awww..." Jerit Zen, si pemuda narsis yang tampan itu.

Ternyata seseorang tiba-tiba saja memukul kepala Zen dari arah belakang dengan sebuah dokumen yang digulung. Orang itu tidak lain adalah Pak Harada.

"Sudah hentikan. Berhenti mengganggu Ando." Perintahnya sambil menyodorkan gulungan dokumen itu.

Pak Harada lalu memasukan salah satu tangannya ke dalam saku celana, sambil melanjutkan kata-katanya, "Kau bilang orang ini tak bersalah? Huh... Yang benar saja. Lagi pula siapa yang mau mendengarkan omongan dari seseorang yang telat kerja?" Tanya Pak Harada seraya menyindir Zen yang memang terlambat datang untuk bekerja.

"Uh... Pak Harada kau tak perlu memukulku seperti itu. Lagi pula, aku terlambat bukan karena kemauanku. Ini semua karena takdir. Takdirlah yang mempertemukanku dengan seorang gadis yang mencintaiku pagi ini. Aku sungguh tak bisa menghindari gadis itu." Jawabnya seraya bergaya genit.

"Ck, takdir, takdir. Yang ada sebenarnya kau hanya membual. Gadis yang kau maksud mungkin saja gadis yang justru tak sengaja kau temui. Tapi kau justru menuduhnya sebagai salah satu fans-mu yang jatuh cinta berat kepadamu dan membuatnya marah, sehingga terjadilah pertikaian antara kau dan dia. Lalu gadis itu memaki dan memukulimu... "

"Aishhh... Pak Harada, ini bukan kesalahan pahaman. Dia hanya malu saja mengakui, kalau dirinya memang telah terpesona oleh ketampananku. Jadi dia tak sengaja mendorongku karena malu. Ahh... Menjadi tampan itu memang sebuah kutukan. Kau tak bisa berbuat apa-apa akan hal itu." Bual Zen sambil hanyut dalam khayalannya.

Pak Harada hanya melototinya dengan ekspresi "Poker Face". Sementara polisi kekar bernama Ando itu justru merasa mual dan ingin sekali muntah, ketika mendengar omong kosong Zen.

Red Thread Of Fate (The past and present, Between Us)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang