Pagi hari datang lagi menyambut ku. Memulai lagi hari-hari kesedihan. Tanpa seorang mama atau pun papa. Kasih sayang mereka? Hah sudah tak ku perdulikan lagi. Aku sudah lelah untuk menyimpan harapan yang tak mungkin menjadi kenyataan. Biarkan saja waktu terus berjalan.
Sudah dua minggu mama tidak kembali lagi menjenguk ku. Papa dan rico juga tidak menemui ku. Mungkin mereka sudah menghapus kehadiran diriku.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi. Hari ini aku sudah dibolehkan untuk pulang ke rumah. Pihak rumah sakit pun bilang kalau administrasi pembayaran sudah dilunaskan.
"Siapa yang bayar sus?"
"Maaf, saya tidak bisa memberitahukannya. Orang tersebut meminta pihak rumah sakit untuk merahasiakannya" penjelasan suster yang sedang duduk di kasir pembayaran.
Aku tidak diperbolehkan mengetahui nya. "Terimakasih untuk siapapun yang sudah baik sama aku" batin ku.
Aku segera pergi dari rumah sakit dengan sedikit wajah pucat, membawa tas berisi baju, berjalan sendiri melewati koridor rumah sakit. Yah Chika tidak bisa menjemput ku karena dia sekolah.
"Lumut" teriak seseorang dan tidak lain itu Rival. Cuma dia yang selalu memanggil ku dengan sebutan aneh itu.
"Kok lo disini? Bukannya harus nya lo sekolah ya?"
"Hehe gue bolos"
"Kenapa?"
"Gue mau nganterin lo pulang"
"Care banget sih lo sama gue" ucap ku mengejek nya dan mencolek pipinya
"Dih apaan sih lo? Mama lo nyuruh gue buag jagain lo"
"Mama?"
"Iya, pas lo baru sadar itu mama lo bilang ke gue buat jagain lo, itu pesan terakhir dari mama lo, dan setelah itu gue nggak ketemu lagi sama dia"
"Mama jahat, tega ninggalin Quin" ucap ku sedikit berteriak dan air mata jatuh.
"Udah yuk" ucap Rival yang sambil merangkul ku yang sedang menangis.
Rival mengajak ku untuk tinggal di rumah nya. Dia bilang dia nggak tega aku yang belum sembuh total tinggal sendirian di rumah. Dia juga sudah mendapat persetujuan dari orang tua nya kalau tinggal di rumah nya sampai aku benar-benar sembuh.
"Assalamu'alaikum, Mi" ucap Rival yang sambil merangkul ku untuk masuk ke dalam rumah mewah nya. Rumah yang elegan, klasik, berwarna coklat muda. Terdapat taman yang luas di depan rumahnya.
"Wa'alaikum salam. Eh Rival udah pulang. Ini Quin ya?"
"Iya tante. Nama saya Quin" ucap ku yang sambil mencium tangannya.
"Yaudah Rival bawa dia ke kamar nya, kasihan tuh pucat banget mukanya" ucap Mami Rival.
Rumah yang sangat luas, sampai capek aku berjalan ke lantai 4 dimana itu adalah kamar yang disiapkan untuk ku. Tapi kami bukan menggunakan tangga atau eskalator, melainkan menggunakan lift.
"Rumah lo gede banget ya, gue nggak nyangka. Kenapa lo nggak sekolah di sekolah yang elit atau di luar negeri aja?" tanya ku yang setelah duduk di ranjang empuk.
"Gue mau tampil sederhana aja" ucap Rival yang menampilkan lekungan lebar di birirnya dan segera pergi meninggalkan ku.
"Eh Rival"
"Ehmm?" ucap Rival di ambang pintu yang kembali melihat ku.
"Makasih ya"
"Iya, dah lo istirahat dulu" ucap nya langsung pergi dan menutup pintu kamar ku.
Aku berbaring dan baju ku sedang dirapihkan oleh pelayan nya Rival.
Entah apa yang membuat Rival jadi seperti ini. Padahal sejak satu tahun yang lalu kami selalu bermusuhan. Tapi sekarang dia berubah drastis. Baik. Dan nggak nyari masalah sama aku. Malahan dia ngehibur aku di malam itu jadi badut.
Aku harap semoga Rival tidak seperti cowok brengsek itu. Ah bukan, lagian kan aku juga cuma temenan sama dia bukan pacaran. Yah kalau dia kaya cowok itu silahkan aja palingan aku musuhin lagi. Semoga nggak deh..
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hope
Teen FictionAku seorang wanita yang menginginkan kehidupan seperti yang lainnya. Ingin merasakan kebahagiaan tanpa harus mengenali kesedihan. Ingin merasakan kasih sayang bukan diberi dengan kekerasan. Mengharapkan cinta yang sesungguhnya. Akankah harapan itu d...