Minta Kawin 5

1.3K 64 7
                                    


Setelah turun dari bis, kedua remaja tanggung itu menuju sisi barat daya terminal. Menuju tempat pemberhentian angkot. Setelah bertanya pada sopir, mereka menaiki bemo berwarna biru muda.

Beberapa pengamen tampak menjajakan suara bermodal gitar usang atau pun kecrekan hand made yang terbuat dari tutup botol. Kios-kios kumuh berjajar, menjual cemilan, minuman dan rokok.

"Kamu serius mau kawin, Ndul?" tanya Memble sambil membuka kaca angkot, keringat mengalir deras dari pelipisnya.

"Serius, Mble. Asli."

"Nggak nyesel kamu nyia-nyiakan masa muda demi kawin? Banyak tetanggaku nikah muda lalu bercerai, lho."

"Tetanggaku juga banyak yang cerai padahal nikah tua," sengit Sani tidak mau kalah, "yang penting itu pengertian, Mble. Cinta. Kalau memang sudah nggak ada cinta mau cerai ya cerai aja. Kok repot."

"Edan kamu, San. Sak karepmu, wis. Terserah kamu."

Memble benar-benar tidak tahu jalan pikiran Sani. Dia kekanakan sekali, demi seorang Lina yang tidak cantik-cantik amat, rela mengorbankan masa muda. Bodoh itu namanya.

Angkot berjalan setelah penuh dengan penumpang. Sani mewanti-wanti supir agar menurunkan sesuai alamat yang di tuju. Sekitar lima belas menit kemudian, mereka sudah sampai di depan rumah Agas.

Sani memandang sekeliling. Kepalanya manggut-manggut tidak jelas. Lokasi rumah Bagas sangat strategis untuk jualan. Ada lembaga pendidikan tingkat TK sampai SMU  tepat di depan rumah. Ia sudah membayangkan warungnya nanti akan ramai oleh pembeli. Senyum mengembang, menunjukkan lesung di pipi kanannya.

"Itu rumah Mas Agas, sepertinya dia nggak ada di rumah, Mble. Yuk kita beli es degan saja, haus banget." Sani berjalan menuju samping rumah berpagar putih yang menjual gorengan dan es degan.

Ia memesan dua gelas. Memble mencomot tahu isi dan menjejalkan ke dalam mulutnya. Mengambil lagi dua bakwan, pisang goreng dan lumpia.

"Kelaparan kamu, Mble?"

"Ho oh,  tadi nggak dikasi makan sama Ibu."

"Ngenes, Mble."

Remaja cungkring iku mengambil degan muda dengan sendok, merasakan campuran rasa manis, dingin dan kenyal menyatu dalam mulutnya. Tak sabar ia menunggu dua hari. Di otaknya tersusun rancana matang. Bahkan nama warung penyetan pun sudah di dapat.

'Penyetan Cinta LiSan', itu lah yang terpikir. Sani terkikik sendiri, betul-betul nama yang indah.

***

Sementara itu, di taman Kenanga, Lina nampak masuk ke dalam toilet. Tak lama, dia keluar dengan rambut panjang terurai. Kerudungnya di masukkan ke dalam tas coklat. Dengan ceria, ia menuju parkiran. Seorang pemuda berjaket hitam sudah menunggu di atas motor sport hijau. Lina segera naik ke belakang dan memeluk pinggangnya dengan erat.

"Ayo berangkat, Kak Di. Seharian ini aku bebas."

***

"Sani! Bangun! Sudah jam delapan, Salat Isya dulu. Emak tunggu di warung!" Sri berteriak nyaring di telinga Sani yang tidur di depan televisi.

Tepat ketika adzan Magrib berkumandang tadi, Sani tiba di rumah. Ia segera beribadah dan ketiduran sebentar.

Sani mengucek mata, dengan malas menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Setelah salat, ia keluar rumah. Emaknya sibuk melayani beberapa pembeli. Wanita yang masih berusia tiga puluh empat tahun itu cekatan menggoreng ayam, mengambil nasi dan lalapan lalu di hidangkan kepada pelanggan.

Dulunya jualan Sri masih menggunakan piring. Banyak cucian menumpuk dan Sani sering menggerutu kalau di suruh mencuci piring kotor berlemak. Pemuda itu menyarankan untuk pengganti piring kaca dengan piring yang terbuat dari kayu. Tinggal melapisi kertas minyak. Langsung di buang ketika pelanggan sudah selesai makan. Praktis, irit air, irit sabun cuci dan tentu saja membantu urat Sri tetap tenang. Setelah bapaknya meninggal, es teh buatan sendiri berubah menjadi teh gelas dan teh botol yang di taruh dalam freezer. Sangat membantu menghemat tenaga.

Rencananya, Sani akan menerapkan konsep itu untuk warungnya nanti. Tak perlu kursi karena ia akan mengusung tema lesehan. Tinggal beli karpet, pesan meja dan tempat menyimpan aneka penyetan pada cak Somat. Masalah kompor, elpigi gampang. Banyak toko yang menyediakan.

Untuk minuman, ia akan membeli wadah tertutup. Tinggal diisi es batu dan aneka minuman. Beres. Benar-benar pemikiran yang super. Sani senyum-senyum kegirangan sambil membungkus pesanan.

***

Jam sepuluh, warung sudah tutup. Sani dan emaknya istirahat di depan televisi. Melihat akademi dangdut yang memasuki babak seru.

"Mak, Wak Soleh menyuruhku jualan di depan rumah Mas Agas. Uang sepuluh juta milikku mau kubuat modal, Mak." Sani membuka percakapan.

"Uang opo tho, Le. Lha wong uangnya sudah habis buat beli rumah ini. Ada itu dua juta buat masukin kamu ke SMU," jawab Sri dengan enteng. Ia menyisir rambut tebalnya yang tergerai.

Sani kaget, jantungnya seakan mau meledak. Telinganya berdenging mendengar perkataan emaknya.

"Lho, Mak! Terus aku jualan pakai modal apa, dong!"

"Nggak usah jualan, Le. Sekolah dulu aja."

"Ah! Emak ini! Males!" pemuda itu mengentakkan kaki. Ia beranjak dan masuk kamar. Suara 'brak!' mengiringi tertutupnya pintu.

"Masih emosian gitu mau nikah, anak-anak sekarang itu aneh," gerutu Sri.

Perempuan berkulit bersih itu mengambil ponsel dan membuka  pesan Umi Nayah yang dikirimkan siang tadi.

"Kalau Sani minta modal buat jualan bilang saja tidak ada uang. Biar dia menyerah."

Sri terkikik, ia menghapus pesan itu. Bahaya bila Sani mengetahui konspirasinya bersama keluarga Wak Soleh. Anak itu benar-benar harus diberi pelajaran biar melek.

Bersambung

Minta Kawin (Completed) Telah Terbit Di HazerainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang