Minta Kawin 14

902 61 2
                                    


Sebenarnya pesantren adalah tempat yang paling terakhir dalam pilihan hidup Sani. Karena peristiwa yang membuatnya trauma pada wanita, ia memutuskan dengan serampangan mau masuk pondok. Supaya cepat melupakan hal yang membuat hatinya pecah berantakkan.

Sani dan Memble konsentrasi tingkat tinggi. Bibir Memble semakin dower sementara Sani menggigit kuku jari telunjuknya yang hitam. Asin menjijikkan terasa memenuhi mulut, sontak ia tiupkan kotoran kuku hingga tercebur ke dalam piring berisi lemper.

Bu Ita yang sudah membuka bibirnya langsung mengatup lagi. Ia Melihat polah Sani. Alisnya bertaut, mulut merengut, bahu mengkerut. Seluruh tubuh wanita berkulit bersih itu meneriakkan kata 'jorok!"

Sani cengengesan, salah tingkah. Ia mengambil lemper ternoda yang masih terbungkus daun pisang. Cepat cowok itu membuka bungkusnya kemudian tanpa ragu membuka mulut lebar-lebar. Jajan tradisional yang terbuat dari beras ketan bercampur potongan ayam itu masuk semua ke dalam mulut Sani. Pipi kanan-kirinya melendung. Susah payah ia mengunyah lemper yang lengket di gigi. Sebelum makanan itu benar-benar halus, Sani menelannya dengan mata mendelik.

Lemper menyangkut di tenggorokan. Ia menepuk dada. Berharap makanan itu meluncur turun.

"Hek! Huk!" otot lehernya protes.

Ia cegukan hebat. Memble geregetan melihat ulah sahabatnya. Norak sekali. Segera Memble mengulurkan air mineral, langsung di sambar Sani. Ia minum seperti bebek kehausan. Jakun yang sudah menonjol bergerak naik turun seiring irama tegukan.

"Aaah ... leganya ...." Tubuh Sani lunglai ke sofa.

Ia seperti perajurit pulang dari medan perang. Lemas.

Ada suara terkikik yang membuat badan Sani tegak kembali. Gadis manis anak Bu Ita mengeluarkan suara seperti orang tersedak. Sepertinya ia menahan tawa yang akan meledak.

"Konyolmu benar-benar nggak berkurang, Sani." Bu ita memijit pelipisnya, "bagaimana mungkin kamu mondok dengan sikap seperti itu. Bisa mencermari nama lembaga."

"Maaf, maaf. Saya nggak akan mengulangi lagi, Bu."
Sani kembali menegakkan tulang punggung.

"Di kota Sidoarjo, ada seorang penghafal Quran yang mewakafkan rumahnya untuk membimbing dua puluh santri laki-laki. Santri -santri itu tetap bersekolah di sekolah terdekat. Mereka tinggal di rumah Ustadz Salam dan menyetor hafalan setiap hari. Bagaimana? Sepertinya itu cocok untukmu supaya tidak memikirkan hal-hal yang tidak perlu."

"Oiya, Ustadz Salam memprioritaskan anak yatim lho. Gratis. Beliau juga salah satu dari ribuan penghafal Quran yang nasab bacaannya sampai ke Rosulullah."

"Apa saya bisa menghafal Quran, Bu? Katanya kalau banyak dosa tidak akan mampu? Dosa saya banyak, Bu," kata Sani tak bersemangat.

"Setiap manusia pasti berdosa, makanya lakukan hal yang bisa menghapuskan dosa. Jangan larut dalam kesalahan terus. Kamu itu cerdas, Sani. Pasti bisa. Bacaan Quranmu juga sudah cukup bagus. Tinggal memoles sedikit. Tapi pilihan tetap ada ditanganmu."

Sani berkedip-kedip, "Kalau pesantren yang lain bagaimana?"

"Banyak yang bagus juga. Di daerah Tambak Rejo ada pesantren yang mencetak santri menjadi dai. Jadi dari awal memang sering latihan ceramah. Lulusannya pun harus berdakwah ke pelosok negeri selama satu tahun."

"Waaah itu kayaknya saya nggak cocok," sungut Sani.

"Memang." Humay menyahut, lalu cepat-cepat menutup bibirnya.

Tiga pasang mata meliriknya tajam. Humay tersenyum manis sambil menunduk.

"Maaf," lirihnya.

"Nggak apa-apa, kok. Aku memang nggak pantas. Terima kasih Bu Ita, saya pikirkan dulu. Kalau sudah dapat wangsit nanti saya ke sini lagi."

Kedua lelaki tanggung itu berpamitan. Sani membelokkan motornya ke Taman Kenanga yang penuh dengan anak-anak kecil bermain. Tumben hari ini suasananya meriah. Ternyata ada promosi produk minuman rasa-rasa. Beberapa kardus dibagikan secara cuma-cuma.

Dengan tak tahu malu, Sani dan Memble ikut berdesakan di antara bocah minta minuman gratisan.

"Nikahmu gagal, Ndul. Apa mungkin kamu juga akan gagal masuk pesantren?" Memble bertanya sambil menyeruput minuman rasa jeruk lemonnya.

"Antara yakin dan tidak, Mble. Aku takut jadi orang alim kalau masuk pesantren. Nggak bisa nonton BF, bersenang-senang dengan burung, nggak boleh pacaran juga. Apa aku bisa, Mble?"

Memble diam saja, ia hanya mengendikkan bahu. Sani menatap awan putih yang menggantung di langit biru. Cerah sekali hari ini. Tapi mengapa hatinya terasa galau dan tidak bersemangat.

***

Dengan susah payah, Agas menelan ludah. Ia tidak percaya bahwa orang tua perpenyakit diabet seperti abahnya masih memikirkan menikah lagi.

Tiga istri yang pada masa mudanya merupakan kembang kampung apakah belum cukup memenuhi kebutuhan biologisnya? Apa belum cukup pusing kepalanya mengurus lima anak laki-laki dan tujuh anak perempuan? Benar-benar Agas tidak mengerti.

Umi Nayah datang dan duduk di samping Wak Soleh. Dia dari tadi menguping pembicaraan ayah dan anak itu.

"Gas, sebenarnya ada beberapa laki-laki yang menanyakan Sri pada umi. Mereka rata-rata duda atau suami yang nggak punya pekerjaan tetap. Kami khawatir mereka mempunyai niat buruk pada Sri. Dia kan sudah punya rumah, warungnya laris dan anaknya sudah besar. Akhirnya Umi mencoba mendekati Sri untuk mengorek apakah sudah ada yang meminangnya. Ternyata sampai sekarang Sri juga belum berminat menikah lagi."

Umi Nayah berbicara pelan namun pasti. Dia heran kenapa anak sulungnya itu begitu penasaran dengan Sri.

" Kalau misalnya aku ingin menjadikan Sri sebagai istri bagaimana, Bah? Umi?"

Agas memberanikan diri bertanya. Kedua orang tuanya saling melirik. Wak Soleh berdehem-dehem. Lalu berkata.

"Oalah, Le. Ada banyak perawan kok ya milih janda. Kamu itu aneh."

"Kalau masih gadis aku takut ditinggal seperti dulu, Bah. Haaah ..., kalau gitu mendingan tidak usah menikah saja, Bah." Agas beranjak, meninggalkan orang tuanya yang kebingungan.

"Apa Agas itu sudah jatuh cinta sama Sri, Dek?" Wak Soleh bertanya pada istrinya.

"Mungkin saja, Bah. Kemarin malam Sri kesandung dan jatuh di pangkuan Agas. Dasar jejaka lugu, pasti dia nggak bisa melupakan peristiwa itu. Abah ngalah saja, biar Sri dinikahi Agas."

"Haaah, berat, Dek. Waktu suami Sri meninggal, aku memang berniat memperistrinya."

"Aaah, Abah ini. Nggak tau ah!" Umi Nayah bersungut meninggalkan suaminya yang dirasa menyebalkan.

Ia selalu menuruti apa kata imamnya itu, tapi kali ini, dia ingin membantu putranya menikahi Sri. Umi Nayah ingin melihat Agas bahagia dan memberikan cucu untuknya. Tapi bisakah?

Bersambung

Minta Kawin (Completed) Telah Terbit Di HazerainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang