FANIA mematikan keran usai ia mencuci piring di dapur. Disebabkan Bi Ipah masih cuti ke kampung halamannya, maka Fania jadi harus melakukan pekerjaan rumah itu sendiri. Sebenarnya Fania tidak keberatan menghandel semuanya, karena selama tinggal di Klaten pun, ia sudah terbiasa membantu neneknya melakukan pekerjaan rumah tanpa bergantung pada asisten rumah tangga.
Belum beranjak dari dapur, Fania membuka pintu lemari es di sudut dapur sebelah wastafel tempat mencuci piring dan mengamati isinya. Ia mendesah setelah cukup menyimpulkan beberapa persediaan bahan makanan di dapur sudah hampir menipis.
Untuk makan malam nanti Fania ingin memasak sesuatu. Namun, untuk beberapa persediaan bahan makanan yang tidak ia temukan di dapur, tampaknya Fania memang perlu membelinya sendiri. Yah, sekalian saja membeli kebutuhan rumah lainnya. Jadi ia harus pergi ke supermarket sekarang.
Fania membalikkan tubuh bersamaan ia melihat dari balik pintu kaca sosok Bintang yang tengah berjalan melewati taman mawar putih dan menuju ruang dapurnya. Rupanya laki-laki itu sudah pulang dari Pati. Pas sekali, Fania jadi bisa mengajak laki-laki itu menemaninya ke supermarket. Salah, tepatnya untuk ia jadikan sopir. Mendadak Fania merasa malas menyetir sendiri.
Tapi, bukankah Bintang baru saja tiba dari perjalanan Pati? Belum cukup beristirahat dan Fania sudah memintanya pergi lagi ke supermarket.
Ah, kenapa tidak? Kalau dipikir-pikir tidak ada salahnya. Toh, persediaan barang di rumah ini kan untuk laki-laki itu juga. Lagi pula barang-barang yang akan dibeli nanti cukup banyak dan Fania pasti kerepotan jika membawanya sendiri. Yah, biar laki-laki itu ada manfaatnya juga kan menumpang di rumahnya.
"Hei, kamu!"
Bintang yang memang tengah menuju dapur mencari Bi Ipah, mendadak berhenti ketika mendengar suara Fania. Ia mencari asal suara gadis itu yang ternyata berada di kitchen island.
"Udah pulang?" Fania bertanya tanpa nada ramah begitu Bintang menghampirinya. Namun demikian, tetap saja Bintang membalas Fania dengan menganggukkan kepala disertai senyum cerahnya yang seperti biasa.
Terkadang Fania heran, kenapa laki-laki yang selalu ia caci maki dan sering mendapat perlakuan dinginnya itu masih saja tidak menyerah menunjukkan sikap baiknya kepada Fania. Sebenarnya terbuat dari apa hatinya sampai bisa sesabar itu menghadapi Fania yang bahkan hampir putus asa mencari-cari cara memancing kekesalan Bintang supaya cepat pergi dari rumahnya?
"Oh ya, aku bawain ini buat kamu," kata Bintang seraya meletakkan sebuah paper bag di atas kitchen island dan mendorongkannya ke arah Fania. "Itu manisan buah buatan Umi Saidah. Mungkin kamu juga suka."
Fania hanya melirik paper bag di hadapannya. Umi Saidah? Siapa itu? Terserahlah, mungkin hanya salah seorang kerabat Bintang di Pati dan sepertinya Fania tidak perlu tahu lebih banyak.
"Makasih," ucap Fania singkat atas pemberian itu. Ia lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Dehaman singkat mengawali gaya bicaranya yang senantiasa ketus saat menatap Bintang. "Oke, karena kamu udah pulang, jadi aku perlu bantuanmu sekarang. Ikut aku ke supermarket. Persediaan bahan makanan di rumah hampir habis."
"Sekarang?"
Niatan Fania yang hendak bersiap-siap, bahkan tanpa menunggu jawaban persetujuan Bintang, seketika terhenti karena pertanyaan itu. Sebelah alis Fania terangkat dan ia menatap Bintang heran. "Kenapa? Kamu nggak mau? Apa aku harus pergi belanja sendiri dan membawa barang-barang belanjaan itu sendiri nantinya? Asal kamu tahu, Bi Ipah sedang cuti bekerja sampai besok lusa. Jadi urusan di rumah ini bukan cuma tanggung jawabku, tapi kamu juga. Oh, atau kamu cuma ingin mencari enaknya aja tinggal di sini?" repetnya tanpa jeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
General Fiction[COMPLETED] New Adult | Religi | Romantic Medical Fania, seorang dokter muda yang sangat membenci kehadiran calon ibu dan saudara tirinya. Akan tetapi, apa jadinya bila kemudian kejujuran hati itu justru menegaskan bahwa ia telah berani mencintai sa...