SEPASANG MATA Fania perlahan terbuka dan tidak lama kemudian menyadari bahwa dari posisinya berbaring saat ini dapat disimpulkan bahwa ia sudah ketiduran di sofa. Ia beranjak bangun dan mendapati ... selimut?
Tunggu, kenapa ada selimut? Ia yakin tidak pernah membawa selimut itu sebelumnya. Dan lagi, ini bukan selimutnya. Berarti ada seseorang yang sengaja menyelimutinya selama ia ketiduran.
Mungkinkah Bi Ipah? Tidak, rasanya tidak mungkin Bi Ipah. Kalau begitu jangan-jangan ....
Ditengoknya jam dinding di ruang tengah itu yang sudah menunjukkan pukul 04:25, di saat ikamah azan subuh tengah berkumandang. Astagfirullah, rupanya sejak semalam Fania benar-benar tertidur di sofa selagi menunggu Bintang.
Oh ya, Bintang! Apa laki-laki itu sudah pulang?
Fania tahu harus menemukan Bintang seandainya laki-laki itu memang sudah pulang ke rumah. Ia yakin Bintang yang memberikannya selimut itu.
Lalu di sinilah Fania kemudian berdiri sembari sesekali melongak-longok di depan pintu kaca teras samping yang bisa memperlihatkan bagian belakang bangunan paviliun. Antara pergi ke sana atau tidak, ia hanya ingin tahu apa Bintang sudah berada di paviliunnya atau belum.
"Non Fania?" Panggilan Bi Ipah menolehkan kepala Fania ke arah asisten rumah tangganya yang juga sudah bangun itu. "Non Fania cari Den Bintang, ya?"
Agak ragu menjawab, tetapi kemudian Fania menganggukkan pelan kepalanya. "Iya, Bi. Apa Bibi tahu dia udah pulang atau belum?" tanyanya.
"Den Bintang sudah pulang, Non. Tapi sekarang sudah pergi lagi ke masjid depan. Ikut salat Subuh berjemaah."
Dalam hati, Fania mendesah lega. Setidaknya ia merasa lega mengetahui laki-laki itu baik-baik saja. "Jadi Bi Ipah tahu semalam dia pulang jam berapa?" Fania bertanya lagi.
"Iya, Non. Memang semalam saya habis tahajud dengar suara pintu diketuk. Pas saya bukain, ternyata itu Den Bintang. Den Bintang tidak bisa masuk ke paviliun. Katanya, kuncinya jatuh entah di mana."
Fania terdiam. Semalam itukah Bintang baru pulang?
"Non Fania, saya permisi mau salat Subuh dulu," ujar Bi Ipah kemudian.
Fania mempersilakan. Lebih baik ia juga salat Subuh dulu sekarang.
❤
Usai salat Subuh, mandi, dan berpakaian rapi siap berangkat ke rumah sakit, Fania turun dari kamarnya. Masih ada waktu untuk sarapan. Ia berjalan menuju meja makan. Sampai di depan meja makan, langkahnya tiba-tiba terpaku ketika melihat Bintang sudah duduk di sana seorang diri.
Seketika rahang Fania mengeras, mengingat sepanjang malam dirinya diliputi kecemasan menunggu Bintang sampai tertidur di sofa hanya demi melihat laki-laki yang sekarang bisa-bisanya duduk tenang tanpa rasa bersalah.
Fania menarik kursi di hadapan Bintang. Sengaja setengah kasar untuk menunjukkan kepada Bintang seberapa kesal dirinya sudah dibuat cemas semalaman. Ingin sekali ia melontarkan banyak pertanyaan kepada laki-laki itu, tetapi ia hanya tercengang saat Bintang seperti mengabaikan keberadaannya. Bahkan perhatian Bintang tidak tertarik sama sekali dengan bunyi derakan kursi tadi.
Lihat, apakah laki-laki itu tidak mau menyapanya sekarang? Setidaknya Bintang bisa memberinya ucapan selamat pagi seperti yang rutin dilakukannya, meskipun tidak pernah ditanggapi Fania.
Tangan Fania terulur mengambil roti tawar dan mengoleskan selai, sementara matanya sesekali melirik Bintang yang hanya menunduk muram sambil memasukkan beberapa gula balok ke cangkirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
General Fiction[COMPLETED] New Adult | Religi | Romantic Medical Fania, seorang dokter muda yang sangat membenci kehadiran calon ibu dan saudara tirinya. Akan tetapi, apa jadinya bila kemudian kejujuran hati itu justru menegaskan bahwa ia telah berani mencintai sa...