HARI masih terlalu pagi ketika Laras sampai di sekolahnya. Oh, ia memang selalu rutin berangkat pagi-pagi, lalu seperti biasa akan menyapa Pak Muklis, satpam sekolah di pos dekat gerbang.
Suasana koridor yang cukup lengang membuat gadis yang duduk di kelas VIII itu bebas bersenandung kecil sambil berjalan ringan menuju kelasnya. Ia baru akan memasuki ruang kelas ketika mendadak tertegun dengan keberadaan seseorang yang sebelumnya ia pikir belum ada dari teman sekelasnya yang datang di jam sepagi ini.
Walaupun langkah sepatu Laras cukup menciptakan gema di dalam ruang kelas, tetapi tidak juga membangunkan Nico yang duduk di pojok belakang sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja itu. Laras berpikir, apakah Nico sedang tidur. Dan lagi, tumben-tumbenan anak berambut fringe itu datang sepagi-pagi ini. Laras masih hapal siapa pemecah rekor paling suka datang terlambat di sekolahnya.
"Nico!" panggil Laras menghampiri Nico setelah menaruh tas di mejanya yang terletak di barisan paling depan. Di tangannya, ia sudah menggenggam bef advokat yang berniat akan dikembalikannya kepada Nico.
Namun, Nico tetap bergeming. Laras tidak tahu apakah Nico benar-benar tidur atau hanya berpura-pura ketika laki-laki itu masih membenamkan wajah pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja dan tidak bergerak sedikit pun.
"NICO!" panggil Laras lebih keras seraya mengetuk-ngetuk meja Nico dengan tidak sabar.
"Apa, sih?!" teriak Nico mengangkat kepalanya tanpa menahan ekspresi kesal setelah ketenangannya merasa terganggu.
Laras yang sempat tersentak, mengerjapkan matanya beberapa kali. Tak pelak, ia jadi ingin ikut kesal ketika Nico seharusnya tidak perlu berteriak seperti itu juga kepadanya.
Tanpa basa-basa lagi, Laras menyodorkan bef advokat yang ingin dikembalikannya tersebut tepat ke hadapan Nico. "Nih, aku cuma mau kembaliin ini," katanya setengah ketus dan tanpa menatap wajah laki-laki yang masih duduk di kursinya itu.
Nico membelalakkan matanya mengetahui bef advokat itu ada di tangan Laras. Bagaimana bef advokat itu bisa berada di tangan orang lain, sementara ia selalu menaruhnya di dalam tas?
Nico menggeledah isi tasnya sendiri seolah ingin memastikan ada bef advokat milik ayahnya di sana. Tetapi benar tidak ada. Berarti bef advokat itu memang milik ayahnya. Nico mengambil bef advokat itu, lalu menoleh cepat menatap Laras dengan kening berkerut tajam yang seolah menuntut penjelasan.
Ditatap seperti itu memaksa Laras harus memberikan penjelasan sebelum tatapan Nico bisa saja berubah mencurigainya yang sengaja mengambil barang miliknya.
"Kamu ingat kan sepulang sekolah kemarin sebelum keluar kelas, kamu sempat tabrakan jalan sama Reza? Dari awal tasmu nggak tertutup dengan benar dan tabrakan itu bikin isi tasmu berjatuhan. Mungkin kamu nggak sadar waktu masukin buku-bukumu kembali ke tas, tapi saat itu aku melihat bef advokat itu belum ikut kamu masukin," kata Laras menerangkan kronologis kejadian tersebut menurut kesaksiannya. Ia melirik Nico sejenak dan menunggu tanggapannya. Tetapi laki-laki itu hanya memberikan ekspresi 'teruskan saja penjelasanmu'. Laras mengedikkan kedua bahunya dan berkata, "Terus apa lagi? Aku ambil bef itu lah."
"Kenapa nggak langsung kamu kembaliin?"
"Aku udah mau ngejar kamu, tapi Bu Nisa tiba-tiba memanggilku ke ruangannya."
Nico terdiam dan tidak bertanya lagi. Penjelasan Laras dirasanya cukup dan ia tidak ingin memperpanjang urusan itu lagi, karena yang terpenting bef advokat ayahnya sudah kembali.
"Omong-omong, gimana kamu bisa punya bef itu?" tanya Laras tiba-tiba ingin tahu.
"Kamu nggak perlu tahu," jawab Nico dingin. Dimasukkannya bef advokat itu ke salah satu bagian kantong ransel yang kali ini ia pastikan ritsletingnya sudah tertutup dengan benar. Ia lalu kembali menelungkupkan kepala di atas meja dan tidak memedulikan Laras yang masih berdiri di samping mejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
General Fiction[COMPLETED] New Adult | Religi | Romantic Medical Fania, seorang dokter muda yang sangat membenci kehadiran calon ibu dan saudara tirinya. Akan tetapi, apa jadinya bila kemudian kejujuran hati itu justru menegaskan bahwa ia telah berani mencintai sa...