Part 6 : Our Deal

162 13 0
                                    

Dea POV

Aku tiba di rumah pukul Sembilan tepat. Aku segera melepas jaketku dan mengambil handuk setibanya di kamar. Aku tersentak kaget melihat G sudah menungguku di dekat kamar mandi.

“G?” panggilku.

“Hai, Dey, gue udah nunggu lama lho di sini. Lo dari mana aja, sih?” tanyanya.

Aku tersenyum menatapnya. “Belajar bareng sama temen gue. Oh, iya, udah dapet petunjuk baru?” tanyaku penasaran.

Dia menunduk terlihat sedih. Aku mendekatinya. “Ya udah, kita masih bisa coba cari identitas lo lain waktu, kok. Jangan nyerah, ya.”

G menggeleng pelan. “Gue nemuin teman-teman gue di SMA itu. Cewek-cewek populer. Dari percakapan mereka yang gue ikutin, mereka temanan sama gue cuma buat main-main aja. Mereka memperalat gue untuk dapet popularitas,” ucapnya terdengar serak.

“Teman-teman lo memperalat lo? Kok lo bisa tau kalau mereka teman lo?” tanyaku.

“Bayangan itu, Dey. Bayangan yang gue liat waktu di perpustakaan. Gue ke sana lagi dan melawan rasa takut gue. Perlahan potongan hitam putih itu jadi jelas. Mereka yang gue lihat, wajah mereka. Ada bayangan dua cowok juga, tapi masih samar,” jelasnya.

“Nama! Siapa nama lo?” tanyaku teringat hal paling penting yang harus dia ketahui.

“Thalita Livya. Mereka manggil gue Livy,” ucapnya pelan.

“Oke. Kerja yang bagus, G. Hmm, sorry, maksud gue Livy. Jadi besok sepulang sekolah gue akan cari ruangan lo di rumah sakit tempat Papa dirawat,” ucapku dengan senyum lega.

Dia menunduk terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Dey,” ucapnya pelan.

“Iya?”

“Kalau nanti tubuh gue udah ketemu, kalau gue udah tau identitas gue, apa lo masih mau temenan sama gue?” tanyanya ragu. Raut wajahnya penuh kesedihan.

Aku tersenyum hangat. “Pasti. Gue tetap teman lo.”

“Gue gak tau kenapa gue bisa punya teman seburuk mereka, tapi sekarang gue punya lo. Kalaupun gue pergi, gue pernah ngerasain pertemanan yang tulus dalam hidup gue,” ucapnya sendu.

“Jangan sedih, gue ada sama lo, tenang aja ya,” aku mencoba menghiburnya. Dia tersenyum menatapku riang lagi.

“Ya udah, besok kita lanjutkan pencarian. Sekarang gue mandi dulu, ya.” aku berjalan ke kamar mandi meninggalkannya. Sesaat sebelum menutup pintu kamar mandi, Livy telah menghilang lagi.

***

Aku tiba saat sekolah masih benar-benar sepi. Aku berjalan santai sepanjang lorong menuju kelasku. Tiba di kelas, beberapa murid telah tiba, termasuk Adit dan Arin.

“Hai, Rin,” sapaku. “Kemaren gimana lo pulang? Jadi naik ojek?” tanyaku masih merasa bersalah.

Dia menggeleng sambil tersenyum. “Diantar Kak Reno,” jawabnya singkat.

“Reno? Oh, ya? Kok bisa?” tanyaku kaget.

“Ya bisa, lah. Yang janji anter pulang gak ada, jelas adek gue gak punya pilihan lain,” ucap Adit menyambung dengan nada dingin.

Aku menoleh ke arahnya. “Sorry, Dit, gue gak bisa anter Arin semalam,” ucapku menyesal.

“Udah, Dey, gak usah didengerin,” ujar Arin menatap kakaknya tak kalah dingin. Wow? Ketinggalan berita apa gue? Mereka bertengkar semalam? Ternyata Arin juga punya bakat bersikap dingin kayak Adit ya?

Aku memilih tak melanjutkan karena melihat sepertinya hubungan kakak beradik ini sedang memanas. Dari pada diserang duo kembar dingin, kan? Lebih baik mundur pelan-pelan.

Aku kemudian teringat naskah teater-ku. Dengan cepat aku mengeluarkan naskah itu dari dalam tas. Aku membalikkan badan menghadap Adit dan pandangan kami bertemu—seperti dalam novel-novel remaja itu—seolah-olah dia memang memerhatikanku sejak tadi. Atau memang iya? Entahlah.

“Dit, mau bantu grup teater gue, gak? Kita butuh aktor untuk jadi pemeran utamanya. Mau ya? Karakternya lo banget soalnya,” ucapku memulai jurus memelasku.

“Maaf, gue gak tertarik,” ucapnya dingin.

“Yah, kok lo gitu, sih. Sekali ini aja. Waktunya terlalu singkat. Gue gak mungkin harus seleksi ulang pemainnya. Drama ini akan kita tampilin untuk menggalang dana buat korban gunung Merapi. Uang tiketnya buat kita sumbangin. Masa lo gak bisa sih bantu kita sekali ini aja?” pintaku.

“Gue rasa gak ada salahnya, Dit. Lo jago akting, kan? Ikut aja,” Arin ikut membujuk kakaknya itu. adit masih membungkam mulutnya.

“Dit? Mau ya?” tanyaku ulang. Dia tetap diam. Aku mulai mencoba berpikir lagi.

“Hmm, gini aja. Kita buat kesepakatan. Kalau lo mau ikut untuk acara penggalangan dana ini, gue janji gak akan ganggu lo lagi, gue gak akan deket-deket lo lagi. Gimana?” tawarku.

“Dey!” Arin mengingatkan. Aku mengangguk padanya merasa yakin dengan tawaranku. Ya, kalau memang pada akhirnya Adit tak mau membuka hatinya, bukankah menjauhinya lebih baik? Aku siap jika dia bersedia untuk main di drama ini.

“Lo yakin mau jauhin gue?” tanyanya mendekatkan wajahnya ke arahku, merasa tertarik dengan tawaran itu. Aku seperti tenggelam dalam mata cokelatnya yang terbingkai kacamata bingkai abu-abu itu. Tanpa sadar aku mengangguk. Mata indahnya seolah menghipnotisku.

Deal?” tanyanya sambil mengulurkan tangan di depanku.

Aku menatap tangan itu meyakinkan keputusanku. “Deal,” ucapku sambil menggenggam tangannya.

“Oke, gue akan ikut. Mana naskahnya?” tanyanya.

Aku memberikan naskah di tanganku padanya sambil tersenyum puas. “Hafalin, ya. Kita akan latihan mulai besok,” ucapku padanya. Dia mengangguk dan mengambil naskah itu dari tanganku.

“Romeo dan Juliet? Cerita klasik,” komentarnya. Aku mencoba tetap tersenyum walau dalam hati rasanya sangat ingin mencekik cowok itu saat ini juga.

“Gue jadi siapa?” tanyanya lagi.

“Romeo,” jawabku singkat.

“Julietnya?”

“Gue.”

Dia menaikkan sebelah alisnya menatapku bingung. “Gak ada tokoh yang lebih cantik lagi?”

What? He say what? Dia barusan menghina gue? Aku menarik napas pelan berusaha sabar.

“Sayangnya gue cewek paling cantik di sekolah ini. Dan perlu lo catet, gue ketua ekskul ini,” ucapku.

“Modus,” ucapnya sambil sibuk membaca naskah.

“Apa?” tanyaku bingung.

“Lo modus. Karena lo pemeran Juliet, lo minta gue buat jadi Romeo. Modus banget, sih, pengen dekat-dekat gue,” ujarnya tepat sasaran. Aku yakin sekarang wajahku sudah semerah tomat.

Up to you, Baby,” ucapku lebih dingin darinya lalu membalikkan tubuh meninggalkan mejaku untuk bergabung dengan keempat sahabatku. Arin ikut beranjak mendekati kami. Adit masih menatapku dengan senyuman licik karena berhasil menangkap maksudku yang sebenarnya.

Ya. maksudku memang ingin mendekatinya. Kalau pun aku tak bisa mendapatkan hatinya, minimal aku punya kenangan, kan? Aku menghembuskan napas lelah menghadapi cowok yang satu ini.

***

Sweet Story 4 | Love Stuck in The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang